FYI
________



Bangkitnya Jurnalisme Advokasi 



 



Oleh Ari
Satriyo Wibowo*)



 



 



“It is now clear that we face a
deepening global climate crisis that require us to act boldly, quickly and
wisely.”



 



Al Gore dalam “An Inconvenient Truth” (2006)



 



Kata-kata itu mungkin dapat mewakili presentasi Al Gore, mantan Wapres AS
di masa pemerintahan Bill Clinton,  yang
sungguh mempesona sekaligus mencekam dalam film dokumenter “An Inconvenient 
Truth”.  Tayangan berdurasi 100 menit karya sutradara
David Guggenheim itu  memikat karena disampaikan
sarat dengan data dan tabel  hasil
penelitian bertahun-tahun. Sudah begitu, Al 
Gore sengaja memberikan ilustrasi dengan animasi kartun dan selingan
humor sehingga penyajiannya terasa segar. Menyaksikan film dokumenter produksi 
Paramount Classic --- yang keping DVD-nya dapat
diperoleh dengan mudah di kawasan Glodok, Jakarta ---  seolah membawa penonton  
mengikuti sebuah kuliah terbuka dari seorang
maha guru ulung di bidang lingkungan dengan dukungan efek multimedia yang
menawan.





Ancaman pemanasan global memang nyata. Setiap peningkatan
suhu sebesar 1 derajat di wilayah Khatulistiwa akan menciptakan peningkatan suhu
sebesar 12 kali lipat  di wilayah kutub
Utara dan Selatan. Kekuatiran mencairnya es di kedua kutub semakin terlihat.  
Harian Indopos, 4 November 2006 lalu ,
misalnya, melaporkan bahwa sedikitnya 100 gunung  es mengapung di Samudra 
Selatan, di sebelah
Selatan Selandia Baru. Setelah menerima laporan tersebut, pihak Maritim
Selandian Baru segera mengeluarkan peringatan navigasi kepada seluruh pengguna
jalur perkapalan tersebut. Berdasarkan pengamatan Angkatan Udara Selandia Baru
bongkahan es tersebut berukuran 2 x 1,5 kilometer persegi dengan tinggi sekitar
130 meter.





AS dan Australia adalah dua negara yang menolak
menandatangani Protokol Kyoto 2002. Pemerintahan AS dibawah Presiden Bush
berkilah bahwa menandatangani protokol  itu akan mengakibatkan penggangguran  
besar di negaranya. Protokol  itu mewajibkan 40 negara untuk mengurangi
emisi karbon dioksida sedikitnya 5,2 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990
sebelum tahun 2008-2012. AS secara global menyumbang sekitar 30,3 persen dari
pemanasan global sementara Eropa sebesar 27,7 persen 

dan  Asia sejumlah 12,2 persen. Emisi karbon  per kapita AS mencapai  5 persen 
sementara sumbangan emisi karbon AS
berdasarkan wilayah mencapai 5,47 persen.





Selama ini, bumi
menjadi hangat karena dipanasi oleh matahari melalui gelombang cahaya. Namun,
cahaya matahari yang masuk tidak begitu saja diterima oleh bumi. Cahaya
matahari harus melalui lapisan atmosfir yang menyelebungi dan melindungi bumi.



 



Cahaya yang masuk
diserap oleh kehidupan di bumi. Sisanya dipantulkan kembali ke angkasa melalui
radiasi. Atmosfer terdiri dari campuran dari berbagai gas. Beberapa jenis gas
mempunyai kemampuan menahan panas matahari yang masuk dan mencegahnya kembali
ke angkasa. Ini menyebabkan permukaan Bumi tetap hangat.



 



Fungsinya mirip dengan
panel kaca di rumah kaca sehingga gas-gas tersebut  disebut Gas Rumah Kaca 
(GRK).  Tanpa proses ini, Bumi akan menjadi tempat
yang dingin bahkan terlalu dingin untuk ditinggali mahluk hidup . Namun,  
terlalu banyak GRK  akan menyebabkan suhu Bumi naik terlalu
banyak.



 



Saat ini jumlah GRK di
atmosfer adalah yang paling besar daripada sebelumnya karena polusi yang
disebabkan manusia.  Itu  menyebabkan Bumi jadi makin panas yang memicu
perubahan iklim global yang ekstrem. Gletsyer di Kilimanjaro, Italia, Swiss,
Peru dan Argentina dari tahun ke tahun makin menyusut dan menghilang.  Di 
mana-mana terjadi badai,  topan kencang termasuk Badai Katrina dahsyat
yang melanda New Orleans, AS pada 29 Agustus 2005. Gelombang udara panas telah
menewaskan 15.000 orang di Perancis, 14.000 di Belanda, 13.000 di Portugal dan
1400 orang Andhar Pradesh, India. Hujan dengan curah hujan di atas rata-rata
juga terjadi dimana-mana. Akibat cairnya es di kutub maka kota-kota besar dunia
seperti New York, Shanghai dan Calcutta terancam  tenggelam dan ratusan juta 
manusia bakal
kehilangan tempat tinggal.





Pemanasan global
mengakibatkan perubahan iklim gobal yang ekstrem diantaranya akan membuat musim
kering yang berkepanjangan di berbagai belahan dunia yang berakibat terhadap
kegagalan panen. Amerika Serikat yang selama beberapa dekade  dikenal sebagai 
lumbung gandum dunia mungkin
kelak akan lebih memprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan domestik daripada
mengekspornya. Australia, salah satu lumbung gandum dunia lainnya yang tidak
menandatangi Protokol Kyoto juga telah merasakan dampak pemanasan global berupa
kemarau terburuk dalam 100 tahun terakhir ( Kompas, 3 November 2006, “Australia
Inginkan ‘Kyoto Baru’ di Asia”). 





Bangkitnya Jurnalisme Advokasi



Andaikata 
Al Gore terpilih sebagai Presiden AS pada tahun 2000 lalu  maka penulis buku 
laris Earth in the Balance : Ecology and the Human Spirit (1992)
pasti  akan meratifikasi Protokol Kyoto
sehingga dampak pemanasan global tidak memburuk seperti saat ini ketika
Presiden AS George W. Bush menolak untuk meratifikasi perjanjian itu pada 2002
karena lebih berpihak pada kepentingan para industrialis AS.



Melalui kuliah dan ceramahnya tentang
dampak pemanasan global yang tak kenal lelah dari kota ke kota di hampir
separuh negara bagian di AS mulai dari Nashville di Tennesse, Los Angeles, San
Fransisco, Washington DC, New York, Columbus, Mineapolis hingga Ann Arbor di
Michigan, ia menuai dukungan publik dan pers yang amat kuat. Berkat
presentasinya yang sarat data ilmiah yang akurat publik diyakinkan akan bencana
global yang bakal terjadi jika manusia mengabaikannya.





Apa hasilnya? Sekalipun di tingkat negara
AS, menolak meratifikasi Protokol Kyoto tetapi negara bagian dan kota-kota di
AS secara bertahap akan dengan patuh menaati Protokol Kyoto tersebut. Dimulai
dari negara bagian California, Oregon, Pensylvania dan diikuti pula negara
bagian dan kota-kota di AS lainnya. Sesuatu yang ironis, bukan?





Langkah Al Gore bukannya tanpa halangan.
Seorang ilmuwan bernama Philip Cooney yang semula bekerja pada American
Petroleum Institute dan kemudian diangkat Presiden George W. Bush  sebagai 
Kepala Staf Bidang Lingkungan di
Gedung Putih berkali-kali melakukan pemutarbalikkan fakta tentang pemanasan
global dalam laporan-laporan yang dikeluarkan Gedung Putih. Al Gore menyebut
itu sebagai tindakan Gedung Putih yang memalukan sambil menyindir, “It is 
difficult to get a man to understand
something when his salary depends upon his not understanding it.” 





Ceramah Al Gore tidak hanya sebatas di
dalam negeri, ia pun mengunjungi puluhan kota di luar negeri dari Toronto,
London, Wina, Stockholm, Helsinki, Brussel, Geneva, Munich, Tokyo, Seoul
hingga  Beijing. Sambutan yang diperolehnya
umumnya sangat hangat. Tidak mengherankan bila David Carr, seorang kolumis
harian Times berpendapat, film dokumenter “An Incovenienth Truth” atau produksi
National Geographic semacam “March of the Penguins” bakal menjadi kendaraan yang
ampuh bagi bangkitnya jurnalisme advokasi baik di media cetak maupun
elektronik. Film dokumenter  semacam itu
mampu menggantikan isu-isu yang membosankan sekaligus menampilkan figur
seseorang menjadi tontonan yang menghibur.





Tampaknya jurnalisme advokasi bakal
menjadi  genre jurnalisme baru yang  didasarkan pada fakta namun didukung dengan
data-data yang akurat dan spesifik  atas
isu tersebut dan disajikan secara memikat. Jurnalisme advokasi umumnya berfokus
pada kisah-kisah yang berhubungan praktik bisnis perusahaan, korupsi politik
dan isu sosial lainnya. Sudah sepatutnya media-media di Indonesia melakukan
terobosan-terobosan inovatif agar dapat menghadirkan pula sajian atau tayangan
jurnalisme advokasi yang menghibur di tengah carut-marutnya situasi sosial,
ekonomi, politik dan hukum di negeri  ini. Misalnya, soal ketahanan pangan kita 
bila
terjadi krisis pangan global? Masih bisakah kita mengonsumsi mi dan tahu bila
bahan terigu dan kedelainya masih saja diimpor? Masih latahkah  kita dengan 
budaya impor beras di saat petani
panen ketimbang menggalakkan  program
swasembada beras / pangan?  ***





*) Penulis adalah pengamat masalah sosial,tinggal di Jakarta. 



 



 




 
____________________________________________________________________________________
The all-new Yahoo! Mail beta
Fire up a more powerful email and get things done faster. 
http://new.mail.yahoo.com

Kirim email ke