*http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15740&cl=Berita*
*Meutia Hatta Minta Depag Ikut Cegah Diskriminasi Terhadap Perempuan
*[16/11/06]

*Negara-negara anggota ASEAN membahas kemajuan dari implementasi Convention
on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW dalam
rangka menentukan rencana aksi menekan tindak kekerasan terhadap perempuan.*

**

**

Hari pertama *acara ASEAN High Level Meeting on Gender Mainstreaming within
The Context of CEDAW, BPFA and MDG's* ini membahas secara komprehensif
hasil-hasil implementasi CEDAW di seluruh Negara anggota ASEAN. Dalam
pembukaan acara, Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta Swasono
mengatakan implementasi *mainstreaming *gender sampai saat ini terus
mendapat tantangan. Faktanya, masih banyak yang salah persepsi tentang
gender sehingga tetap saja terjadi pelanggaran atas hak-hak perempuan.
Gender lebih ditekankan pada tanggung jawab, peran dan fungsi dari perempuan
dan laki-laki, jadi gender bukanlah dilihat dari sisi jenis kelamin.



Baginya, saat diwawancarai *hukumonline*, proses mainstreaming gender ini
bisa diterapkan dalam seluruh sektor kehidupan. Hal ini memerlukan sinergi
dari banyak pihak termasuk dari para pemuka agama. Hendaknya, Departemen
Agama pun ikut berperan aktif dalam proses ini. "Melalui ceramah-ceramah
agama juga harus menanamkan tentang kesetaraan gender dan jangan merendahkan
perempuan. Nilai-nilai ini sebenarnya ada tapi tidak pernah diungkapkan",
tuturnya.



Lebih lanjut Meutia mengatakan CEDAW, BPFA dan MDG's merupakan rangkaian
langkah sebagai alat untuk menekan diskriminasi terhadap perempuan. CEDAW
lebih berfokus pada cara mengatasi berbagai bentuk diskriminasi terhadap
perempuan. BPFA (*Beijing Platform For
Action<http://72.14.235.104/search?q=cache:8eE28OoShA0J:www.un.org/womenwatch/daw/beijing/platform/+Beijing+Platform&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=1>
*) lebih menekankan pada strategi menangani 12 wilayah kritis yang harus
ditempuh dalam upaya pemberdayaan perempuan di negara-negara anggota
PBB. Kemudian
MDG's (*Millenium Development
Goals*)<http://72.14.235.104/search?q=cache:DYvNBetmflkJ:www.undp.org/mdg/+Millenium+Development+Goal&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=4>merupakan
tujuan dengan titik berat pada peranan perempuan yang akan dicapai
pada 2015. "melalui ketiga alat itu maka diharapkan diskriminasi hilang, 12
area kritis dapat diatasi sehingga peranan perempuan dalam MDG's bisa
terwujud. Ini semua satu alur", tambahnya.



Menurut Thelma Kay dari UNESCAP (*United Nation Economic and Social
Commision for Asia and The Pasific*), ada beberapa alasasan yang menyebabkan
mainstreaming gender tidak bisa berjalan dengan baik. Antara lain karena
perangkat Nasional seperti peraturan pemerintah, sumberdaya manusia dan
ketrampilan teknis masih lemah. Kemudian norma-norma lembaga yang belum di
transformasi, hokum yang belum sepenuhnya terimplementasi serta pengadilan
yang belum menggunakan hokum gender. "oleh sebab-sebab itulah proses
kesetaraan perempuan masih terkendala", ungkapnya.



Misalnya Thailand. Data statistik Menteri Kesehatan Masyarakat
mengindikasikan masih cukup tingginya tingkat kerasan pada perempuan.
Tercatat jumlah korban yang ada sebanyak 11.542 orangpada 2005 dimana 51
persen diantaranya adalah anak-anak dan 49 persen lainnya adalah perempuan.
Data tersebut juga menunjukkan bahwa agen terbesar yang melakukan tindak
kekerasan adalah suami sebesar 27,07 persen, teman atau kekasih sebesar
20,14 persen,  disusul pelaku kekerasan dari pihak keluarga termasuk orang
tua sebesar 17,64 persen dan terakhir kekerasan yang dilakukan oleh
pihak-pihak lainnya sebesar 16,46 persen.



Dalam menekan tingkat kekerasan yang terjadi disana, dalam waktu kurang dari
10 tahun Thailand merencanakan pengembangan rencana ekonomi dan social. Dan
startegi yang disusun meliputi promosi tentang sikap positif atas kesetaraan
gender, membrikan ruang partisipasi dalam keputusan politik, menekankan
aspek hak-hak dan kesehatan reproduksi, kemanan hidup dan diri serta
diikutsertakan dalam kegiatan ekonomi nasional.



Sedangkan di Malaysia, dalam proses *mainstreaming gender* ini menyusun
strategi dengan menempatkan perempuan dalam sektor-sektor  formal nasional.
Seperti sejak 2005 porsi perempuan untuk lembaga perwakilan rakyat sebanyak
9,6 persen, senat sebesar 32,3 persen, kedudukan menteri sebesar 9,4 persen,
kedudukan deputi menteri sebanyak 7,7 persen dalam sekretris parlemen
sebanyak 30 persen, disektor public sebanyak 19 persen dan beberapa posisi
formal lainnnya. Persentase tersebut menunjukkan bahwa Malaysia mulai
mengarah pada mainstreaming gender melalui jalur politik.



Dalam mewujudkan MDG's memang berbagai tantangan dihadapi Negara-negara
ASEAN. Misalnya tingkat kemiskinan masyarakat khususnya perempuan,
pendidikan kalangan perempuan yang masih rendah, adat istiadat dan tingginya
infeksi HIV/AIDS pada perempuan. Khusus untuk kemiskinan, yang terjadi di
Indonesia pun masih cukup tinggi. Sehinga kondisi ini memicu munculnya
aksi-aksi *trafficking*.



Menurut Meutia, *trafficking* dapat dihilangkan dengan membangun sinergi
diseluruh sector kehidupan. Misalnya dengan membuat peraturan lebih ketat
didepartemen imigrasi, depnakertrans harus lebih jeli untuk memantau
pertumbuhan PJTKI (Perusahaan Jasa TKI) liar serta dilakukan himbauan kepada
masyarakat bahwa praktek trafficking sangat merendahkan manusia. " yang
terpenting adalah penciptaan lapangan kerja", tegasnya. Terkait dengan ini,
Direktur Jenderal untuk ASEAN Kementerian Luar Negeri RI, Kristio Wahyono,
mengatakan belum adanya kerjasama secara hokum antar negara-negara ASEAN
dalam pencegahan dan penuntasan aksi *trafficking*. *(CRD)*

Kirim email ke