Menjaga Hasil Karya Anak Bangsa Sebelum Diambil Negara lain & Kampanye Penggunaan Barang Indonesia 11 Nopember 2006
Ironis sekali nasib bangsa Indonesia saat ini. Ketika tingkat pengangguran begitu tinggi & kondisi keuangan negara yang kritis, impor barang dari luar negeri malah meningkat sehingga begitu banyak devisa negara yang terkuras dan mengalir ke luar negeri. Barang-barang impor begitu merajai pasar retail & grosir sehingga barang produksi dalam negeri malah tidak punya tempat di negeri sendiri karena kalah bersaing. Akibatnya, industri dalam negeri banyak gulung tikar & pengangguran makin menjadi. Kondisi ini semakin kritis ketika ada "kabar angin" bahwa beberapa produk budaya Indonesia, seperti angklung, batik, ukiran Jepara bahkan tempe, sudah atau akan dipatenkan oleh negara-negara lain demi kepentingan komersial maupun ikon-ikon promosi pariwisata negara-negara tersebut. Untuk membahas hal tersebut, National Integration Movement (NIM) menghadirkan Bapak Poltak Ambarita-Kasub P3PL Departemen Perdagangan dan Bapak Iwan Irawan Soeprapto-Kasub Direktorat Hak Cipta sebagai narasumber Diskusi Kebangsaan NIM, Sabtu 11 Nopember 2006, di padepokan One Earth, Ciawi. Muhammad Dian Martin seperti biasa mengisi posisi Moderator. Sebagai wakil pemerintah, Bapak Poltak mempresentasikan Program Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN) yang merupakan program pemerintah untuk memicu konsumsi barang-barang produksi dalam negeri. Barang-barang modal yang kemudian dapat diolah oleh industri dalam negeri tentu bisa diatur oleh pemerintah lewat peraturan-peraturan. Tapi barang-barang konsumsi tidak bisa begitu saja diatur pemerintah karena itu harus ada pendekatan emosional untuk mengajak rakyat Indonesia untuk lebih menggunakan produk lokal ketimbang produk impor. Dengan beberapa dasar pemikiran bahwa <1> Pasar Dalam Negeri (PDN) merupakan bagian dari Pasar Global, <2> Era Pasar Bebas, <3> Produk Dalam Negeri (PrDN) sulit bersaing, <4> Semakin membanjirnya Produk Impor di PDN, dan <5> Perlu Nasionalisme, cinta & bangga terhadap PrDN, maka Program P3DN menetapkan beberapa tolak ukur, diantaranya : (a) 200 merek lokal mampu bersaing di pasar bebas sebelum tahun 2010, (b) meningkatkan kualitas PrDN, (c) mengurangi impor barang jadi, (d) meningkatnya peredaran PrDN, dan (e) bergesernya persepsi masyarakat terhadap PrDN. Merek lokal dalam hal ini didefinisikan sebagai PrDN yang diedarkan dan didaftarkan pertama kali di Indonesia. Tanggal 20 Desember 2006 nanti, Departemen Perdagangan akan menyelenggarkan Pameran PrDN Merek Lokal di JCC, Jakarta. Program P3DN ini bertujuan untuk mendorong masyarakat Indonesia agar peduli dengan PrDN sehingga mampu meningkatkan produksi dan volume perdagangan dalam negeri dengan langkah-langkah seperti (1) sosialisasi langsung maupun lewat media elektronik, (2) iklan, (3) menjadikan PrDN sebagai kurikulum sekolah dasar, (4) pameran dagang, (5) melaksanakan kegiatan apresiasi, (6) mengadakan lomba penulisan & pidato tentang kecintaan PrDN, dan (7) memfasilitasi pengembangan Desain Power. Desain Power adalah memproduksi produk-produk dengan kreatifitas khas Indonesia. Strategi yang diterapkan dalam Program P3DN ini antara lain : (1) melakukan pendekatan logis ketimbang indoktrinisasi yang biasanya dilakukan di masa lalu, (2) menginformasikan pada masyarakat bahwa PrDN lebih berkualitas daripada Produk Impor, (3) bekerjasama dengan KADIN, dunia usaha, LSM maupun dunia pendidikan untuk selalu menggunakan dan mempromosikan merek-merek lokal. Merek-merek lokal yang terdaftar di Indonesia misalnya adalah Buccheri, Hammer, Annie & Robert, Polytron, Sanken, Giordano, Tira Jeans, Elizabeth, dll. Menurut Bapak Poltak, Jogjakarta adalah pusat pengrajin atau produksi handicraft utama di Indonesia, sedangkan Bali adalah pusat penjualan atau distribusi handicraft Indonesia. Setelah Bencana Gempa di Jogja beberapa waktu yang lampau, ada indikasi bahwa tetangga terdekat Malaysia berusaha membujuk para pengrajin-pengrajin dan para seniman Jogja yang menjadi korban bencana untuk bekerja dan memproduksi karya-karya mereka nanti di Malaysia. Bila usaha Malaysia ini berhasil, maka di kemudian hari, Bali akan kehilangan pasokan & kesenian khas Indonesia akan diambil-alih Malaysia. Pemerintah Indonesia pun di era globalisasi sekarang ini tidak bisa melarang produk-produk impor secara hukum dari luar negeri karena Indonesia telah menjadi salah satu anggota World Trade Organization (WTO), ataupun menjalin kerjasama bilateral maupun multilateral dengan negara-negara lain dalam soal perdagangan. Bila pemerintah Indonesia melanggar kesepakatan-kesepakatan ini, maka produk-produk negara Indonesia akan dikenakan pajak yang tinggi di negara-negara lain sebagai aksi balas dendam (perang dagang). Untuk itu, hanya kesadaran masyarakat akan pentingnya menggunakan PrDN yang dapat menyelamatkan Indonesia dari ancaman produk-produk Impor. Di Indonesia, ketika seorang pemahat mempunyai ide kreatif atau inspirasi tertentu pada patung yang dipahatnya, maka pemahat tersebut dengan senang hati akan membagi ide kreatif tersebut kepada tetangga maupun pemahat-pemahat lain. Tapi di dunai barat, hal seperti ini tidak akan terjadi. Malah bila seseorang yang mencoba meniru ide kreatif orang lain, orang tersebut harus membayar sejumlah uang pengganti kepada penemu pertama ide kreatif tersebut. Konsep individualistik dunia barat inilah yang akan melahirkan sebuah organisasi seperti WIPO (World Intellectual Property Organization), sebuah badan di bawah naungan PBB yang mengurusi administrasi masalah perlindungan intelektual dan hak cipta di seluruh dunia. Demikian penuturan Bapak Iwan Iriawan selaku Kepala seksi Hak Cipta & Hak terkait, Ditjen HaKI, Direktorat Hak Cipta. Karena berangkat dari konsep individualistik, maka saat ini, hak cipta tidak bisa diregistrasi atau didaftarkan atas nama sebuah komunitas atau daerah regional, tapi harus secara perseorangan atau atas dasar sebuah entitas bisnis. Memang belakangan ini ada ide dari beberapa negara, seperti Brasil, Canada, India, Argentina, Indonesia, dll untuk menggolkan UU Folklore (Hak Cipta atas nama Nenek Moyang atau regional) dengan menggelar Gerakan Access for Knowledge (A2K Movement). Gerakan A2K ini prihatin dengan regulasi-regulasi hak cipta yang mempengaruhi akses-akses seimbang akan pengetahuan yang sangat diperlukan oleh sebuah masyarakat, demi kelangsungan hidup dan peningkatan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Selain itu, gerakan A2K ini sangat mendukung kreatifitas dan inspirasi-inspirasi yang dihasilkan oleh komunitas-komunitas. Gerakan A2K mencoba melindungi sumber-sumber dari penciptaan dan managemen pengetahuan atau kekayaan budaya sebuah peradaban. Sayangnya, di Indonesia sendiri yang merupakan salah satu negara terkaya di dunia dalam hal keanekaragaman seni & budaya, UU Folklore belum-belum juga disahkan oleh DPR RI. Indonesia sendiri dikenal sebagai salah satu surga bagi para pelanggar HaKI (Hak Kekayaan Intelektual), sehingga sering kali masuk daftar hitam USTD (Departemen Perdagangan Amerika Serikat). Hanya baru-baru ini saja, Indonesia dikeluarkan dari daftar hitam tersebut dan hanya masuk daftar negara-negara yang perlu diperhatikan (Watchlist) setelah pemerintah Indonesia berhasil meyakinkan pemerintah Amerika bahwa para pelanggar HaKI di Indonesia bisa dijerat dengan hukum perdata maupun pidana, di samping usaha-usaha pemerintah menutup pabrik-pabrik yang melakukan upaya-upaya pembajakan atas produk-produk film, musik maupun pirant lunak komputer. Padahal di negara-negara barat sendiri, pelanggaran HaKI hanya bisa dijerat dengan hukum perdata. Bapak Iwan juga sempat mengklarifikasi sejumlah "kabar angin" tentang telah dipatenkannya sejumlah produk budaya Nusantara oleh negara lain. Beliau mengatakan bahwa memang Malaysia misalnya pernah mencoba untuk mempatenkan beberapa motif batik, maupun batik itu sendiri di WIPO, tapi tidak berhasil karena pemerintah Indonesia mampu membuktikan produk batik sebagai produk asli budaya Indonesia. Bahkan kata "Batik" sendiri berasal dari bahasa Jawa. Demikian pula Jepang yang menurut "kabar angin" telah mempatenkan tempe. Ternyata yang benar adalah Jepang memang telah mempatenkan metode (bukan proses-ed) menghasilkan tempe, tapi Jepang tidak akan bisa mempatenkan tempe sebagai produk ciptaan mereka karena di Candi Borobudur, yang dibangun pada abad ke-6 Masehi, telah terukir proses-proses dan cara-cara pembuatan tempe. Tempe sendiri adalah produk makanan tersehat di dunia karena mengandung zat-zat anti kanker dan anti biotik, yang sampai kini dalam berbagai penelitian, belum ditemukan efek sampingnya bagi kesehatan manusia. Sejarah dunia masa lalu pun mencatat bahwa Angkor Vat di Kamboja dirancang dan dibuat oleh arsitek-arsitek dari Indonesia. Itulah salah satu bukti tingginya teknologi nenek moyang bangsa Indonesia. Demikian pula sistem pembuatan Keris. Ternyata berdasarkan proses pengujian metalurgi, Keris asli terbuat dari baja yang bercampur dengan Titanium, unsur yang banyak terdapat pada meteor maupun bulan. Padahal titik didih (titik lebur) baja dengan titanium sangat berbeda, tapi para empu (pembuat keris) jaman dulu telah berhasil meleburkan baja dan titanium menjadi sebuah keris dengan menggunakan teknik teknologi pendinginan mendadak. Bangsa-bangsa barat sendiri baru mampu mengenal dan mengetahui cara mengolah Titanium (Ti) beberapa abad kemudian. Hanya sayang cara-cara teknik peleburan milik para empu-empu ini ternyata sudah banyak dilupakan oleh orang-orang Indonesia sendiri. Ketidaktahuan itu juga yang membuat orang Indonesia mudah sekali ditipu oleh bangsa-bangsa lain. Misalnya masalah Batu Apung (pumice). Batu Apung biasanya diekspor dalam jumlah besar ke Amerika Serikat sebagai bahan untuk mencuci bahan celana jins. Ternyata selain itu, batu ini digunakan NASA sebagai pelapis badan-badan pesawat ulang-aling, atau pelapis untuk melindungi reaktor-reaktor nuklir di Amerika Serikat. Demikian pula yang terjadi pada ekspor pasir silika yang banyak ditemukan di Kalimantan. Harga pasir silika dijual sedikit lebih tinggi dibandingkan pasir biasa, padahal pasir silika adalah bahan dasar pembuatan mikroprosesor komputer yang harga jualnya sangat tinggi. Demikian pula pernah terjadi penolakan ekspor ukiran Jepara dari Indonesia di sebuah negara Eropa karena ternyata ada sebuah katalog yang terdiri dari beberapa motif ukiran Jepara yang telah dipatenkan oleh seseorang. Jadi ekspor kayu ukiran Jepara itu harus membayar royality kepada pemilik paten sebelum bisa dipasarkan di negara lain. Ketidaktahuan orang Indonesia membuat bangsa ini terus menerus dibodoh-bodohi untuk diekspoitasi sumber-sumber alamnya & budayanya yang sangat kaya. Serpihan-serpihan penemuan tentang kecanggihan teknologi nenek moyang bangsa Indonesia turut menyumbangkan suatu teori tentang keberadaan masa lalu yang dianggap mitos oleh seluruh dunia, yaitu The Lost Continent of Atlantis. Ada suatu teori yang mengatakan bahwa salah satu lokasi dari Atlantis adalah di Indonesia ini. Semua hal ini menandakan bahwa nenek-moyang bangsa Indonesia bukanlah terdiri dari orang-orang barbar yang berasal dari peradaban primitf, melainkan sebuah peradaban yang sangat tinggi yang bisa dijajarkan dengan bangsa Astek Indian, Firaun Mesir, Han China, Arya India, dsbnya. Bapak Rusdi Ambo Dale, mantan anggota DPR yang sekarang aktif di PDP, turut berkomentar bahwa di dunia global ini, Orang Indonesia harus tahu bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mempunyai sumbangan berarti bagi peradaban dunia. Bila tidak, maka orang Indonesia hanya mampu mengekor setiap langkah yang diambil oleh bangsa-bangsa lain. Bangsa Romawi/Yunani misalnya, mengimpor ajaran kristen dari timur tengah dan menjadikannya Katholik. Jerman mengadopsinya menjadi Protestan. Inggris menjadikannya Anglikan. Demikian pula ketika Ajaran Islam masuk ke turki, menjadi Islam sekular dengan tarian Darvish, masuk ke Arab Saudi menjadi Wahabisme, masuk ke Pakistan menjadi sufisme, masuk ke Persia menjadi Syiah, dstnya. Sementara itu Indonesia kini malah kehilangan identitas karena mencoba mengimpor segala sesuatu secara baku untuk diterapkan di Indonesia. Masalah timbul ketika sesuatu yang baku itu malah menimbulkan pertentangan dalam masyarakat Indonesia sendiri karena ketidakcocokan. Dulu, presiden Soekarno memberikan bibit-bibit pohon mangga ke Mesir. Dari Mesir, bibit-bibit ini juga disebarkan di Afrika. Saat ini, pasar-pasar swalayan di Indonesia malah mengimpor buah mangga dari Mesir dan Afrika. Sungguh ironis. Sebenarnya nenek moyang Indonesia terkenal akan keahlian mereka untuk melakukan "Glocalize," sebuah istilah yang sering diucapkan Bapak Anand Krishna tentang kemampuan kebudayaan Indonesia untuk menerima budaya bangsa asing & meramunya menjadi berciri khas lokal (local indigenous). Candi-candi di kepulauan Nusantara berbeda dengan candi-candi yang berada di India. Demikian uraian Maya Safira Muchtar, Ketua Umum NIM sambil menambahkan bahwa masyarakat Indonesia harus menolak untuk dibodoh-bodohi lagi. Dan untuk membantu mewujudkan hal ini, telah dibentuk Gerakan Pengajar, Dokter & Psikolog Bagi Ibu Pertiwi yang bertujuan untuk memantau, mendengar, berbicara secara lugas dan jelas tentang berbagai masalah pendidikan yang mengarah pada intimidasi dan indoktrinasi yang dapat menciptakan individu yang tidak mengenal jati dirinya sebagai anak bangsa. Dan, di akhir acara, NIM berinisiatif untuk menindaklanjuti diskusi kali ini dengan tindakan nyata, yakni dengan membuat Petisi kepada Pemerintah dan DPR untuk mensahkan RUU Folklore menjadi UU dalam rangka menjaga aset-aset budaya Nusantara untuk tidak jatuh ke negara-negara lain. Laporan oleh Anoop Untuk berpartisipasi dalam petisi ini silakan menghubungi : Sekretariat NIM Kompleks Ruko Golden Fatmawati Blok J No. 35 Jln. Raya Fatmawati Jakarta Selatan 12420. Telp. 021 - 75915813