http://www.suarapembaruan.com/News/2006/12/23/Nasional/nas07.htm

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Cacatan Akhir Tahun YLBHI 

Masyarakat Miskin Belum Memperoleh Keadilan

[JAKARTA] Sampai sekarang ini, terutama sepanjang tahun 2006, pemerintahan 
Susilo Bambang Yu-dhoyono menegakkan hukum secara tebang pilih. Kondisi 
tersebut, bisa dilihat dari peradilan yang adil (fair trial) masih jauh dari 
harapan, belum ada perlindungan yang nyata terhadap para penggiat HAM, akses 
masyarakat miskin atas keadilan masih tertutupi oleh sistem hukum yang belum 
berpihak terhadap masyarakat miskin. 

Demikian cacatan akhir tahun 2006, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia 
(YLBHI) yang disampaikan sejumlah oleh Ketua Badan Pengurus YLBHI, A Patra M 
Zen dan jajarannya di kantor YLBHI Jakarta, Jumat (22/12). 

Patra mengatakan, masyarakat miskin, marginal, terpinggirkan dan dipinggirkan 
belum mempunyai akses maksimal terhadap peradilan dan keadilan. Keterbatasan 
tersebut disebabkan beberapa faktor, seperti masih rendahnya pengetahuan dan 
kesadaran masyarakat tentang sistem peradilan, sistem peradilan yang belum 
transparan dan akuntabel serta birokrasi peradilan yang mahal dan berbelit- 
belit. Masyarakat terkadang hanya jadi objek terhadap kasus yang dihadapi yang 
tentunya berimplikasi pada hak-hak mereka. 

Dalam proses peradilan pidana, kata dia, paradigma yang terjadi selama kurun 
waktu 2006 masih mencerminkan lemahnya penerapan prinsip fair trial sebagai 
pedoman pelaksanaannya. Masih banyak terjadi diskriminasi dalam penegakan hukum 
di Indonesia yang sering kali dilakukan aparat penegak hukum itu sendiri. 

Padahal, Konstitusi dan Undang-Undang telah dengan tegas mewajibkan proses 
peradilan yang adil belum terkecuali bagi siapa pun. "Perintah peraturan 
perundang-undangan tersebut memperjelas bahwa negara menjamin perlindungan hak 
warga negara proses peradilan pidana yang adil tanpa ada kecualinya," kata 
Patra. 

Hal yang menjadi catatan penting, kata Patra, adalah tindak penyiksaan yang 
masih kerap terjadi dalam proses hukum. Padahal Indonesia telah meratifikasi 
Convention Against Torture sejak tahun 1998. Namun hingga kini Indonesia belum 
melakukan harmonisasi hukum yang efektif untuk mencegah tindak penyiksaan dan 
menjadikan penyiksaan menjadi kejahatan yang luar biasa. Praktik-praktik 
penyiksaan masih kerap terjadi namun belum ada tindak penghukuman yang nyata, 
dan mekanisme praperadilan-pun belum mampu mengakomodir persoalan ini. 

Menurut Patra, dari segi implementasi, pengalaman-pengalaman YLBHI dan 
Kantor-Kantor LBH di seluruh Indonesia menunjukkan masih minimnya pengetahuan 
dan kesadaran aparat penegak hukum akan hak-hak tersangka/terdakwa dalam proses 
peradilan pidana dan masih belum terjamin hak-hak tersangka/terdakwa dalam 
penerapannya di lapangan, termasuk hak untuk memperoleh bantuan hukum, terutama 
bagi masyarakat miskin, buta hukum dan tertindas. 

Amendemen UUD 1945, ratifikasi Kovenan Ekosob dan UU HAM telah cukup tegas 
memberikan kewajiban hukum bagi pemerintah untuk melaksanakan kewajiban 
(obligasi) memenuhi hak-hak ekosob masyarakat. 

Namun, pemerintah seolah lari dari tanggung jawab tersebut. Sabotase komitmen 
politik Yudhoyono masih terjadi, aparat birokrasi dan kabinet belum mendukung 
sepenuhnya iktikad untuk membela kepentingan masyarakat kebanyakan. Kabinet 
Indonesia Bersatu yang dipimpin Presiden dapat dikatakan belum prorakyat 
miskin, dan masih gagap menjalankan obligasi pemenuhan hak ekosob ini. 

Beberapa hal ekosob antara lain, hak atas pendidikan. Meskipun pemerintah telah 
mencanangkan program pendidikan dasar gratis, namun implementasinya di lapangan 
masih jauh dari harapan. Anak-anak usia sekolah masih belum mampu difasilitasi 
oleh pemerintah untuk mendapatkan haknya atas pendidikan dasar. [E-8] 


Last modified: 23/12/06 

Kirim email ke