http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/12/24/opini.html


Pan Dogol dan Pak Try 


PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dipilih secara langsung oleh rakyat 
dalam Pilpres 2004. Tak ada mandat dari DPR, MPR, apalagi kelompok Try Cs yang 
tergabung dalam Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya (GBIR). "Pak Try tidak paham 
bahwa telah terjadi perubahan dalam sistem kenegaraan," kata Ketua DPP Partai 
Demokrat, Anas Urbaningrum, Rabu (20/12).

"Mantan anggota KPU Pusat itu tumben kedengaran suaranya sejak lembaga 
penyelenggara Pemilu 2004 itu gonjang-ganjing terkena kasus korupsi. Berbeda 
dengan nasib beberapa rekannya, termasuk ketuanya yang kini dipenjara, Anas 
yang berhenti jadi anggota KPU paska Pemilu 2004, tiba-tiba jadi petinggi 
parpol," papar Kasna.

"Jangankan Pak Try Sutrisno yang purnawirawan TNI-AD berpangkat jenderal dan 
juga mantan wapres, Pan Dogol yang profesinya sebagai penguras WC freelance 
saja ngerti, kok! Sebab, waktu Pemilu 2004, pria paruh baya yang cuma tamatan 
Sekolah Rakyat (SR) itu harus libur lebih lama dibanding Pemilu-Pemilu 
sebelumnya, untuk memilih para wakil rakyat, juga presiden dan wapres. Dia tak 
kesal meski harus tidak bekerja beberapa kali, karena dari koran dan televisi 
dia mendapat informasi bahwa Pemilu yang diikutinya saat itu bersifat 
langsung," kilah Suja.

"Apa penguras WC itu paham makna dan latar belakang pemilu langsung itu? 
Pernahkah dia membaca UUD 1945 hasil amandemen, khususnya yang mengatur 
pemilihan presiden dan wakil presiden? Tahukah dia akibat dari pilihannya?" 
tukas  Metra.

"Apalagi Pan Dogol yang cuma tamatan SR, kita yang rata-rata jebolan SMU saja 
paham makna undang-undang. Bahkan ketika paham pun, kita sering dibikin bingung 
oleh praktik-praktik politik kalangan elit di negeri ini. Pendek kata, Pan 
Dogol tahu pasti bahwa suaranya diperlukan untuk mengangkat orang biasa jadi 
orang penting, baik para wakil rakyat, wapres, presiden maupun pejabat politik 
lainnya, lewat Pemilu, Pilpres, Pilkada maupun Pilkades. Dia paham kalau MPR, 
DPR dan DPRD tidak lagi ngurus masalah itu. Tapi akhir-akhir ini Pan Dogol 
sering tampak termenung dan kadang-kadang menyumpahi diri, sikapnya jauh 
berbeda dengan saat menjelang Pemilu 2004."

"Lho, kok gitu? Apa dia khawatir usahanya akan bangkrut karena perusahaan 
sewerage segera beroperasi? Atau terlalu keras memikirkan septic tank 
masyarakat yang akan terlambat penuh karena kebanyakan orang ngirit makan 
akibat naiknya harga sembako?" tanya Subaya.

"Bukan hanya itu, dia dan keluarganya sudah merasakan sendiri terjadinya 
'perubahan' yang bertolak belakang dari yang dibayangkannya dua tahun silam. 
Sepeda motor tua buatan tahun 1970-an yang dulu biasa mengantarkannya ke tempat 
kerja, di mana ember, skop dan linggis diikatnya di jok belakang, kini sudah 
terjual. Itu lantaran harga BBM naik dua kali dalam tempo enam bulan dan pajak 
kendaraan pun ikut melonjak, sementara ongkos kuras WC sulit dikatrol. Menyusul 
kompor gasnya diganti kompor minyak tanah, lalu karena minyak tanah langka dan 
mahal, kini istrinya memasak dengan kayu bakar. Celakanya, Pan Dogol sekeluarga 
belakangan ini sulit buang air besar karena perut mereka tak biasa  
mengkonsumsi nasi aking dan gaplek," tutur Suja.

"Itulah risikonya bila politik diiklankan seperti barang dagangan. Perusahaan 
kecap saja berhenti mempromosikan  produk mereka sebagai kecap nomor satu 
karena masyarakat tahu kalau semua kecap terasa asin dan kecap manis dicampur 
gula. Sayang, akibat gempuran teknologi informasi di pengujung abad ke-20, 
masyarakat terbius sihir iklan, sekaligus menjadikan bangsa Indonesia sebagai 
masyarakat televisi yang tergila-gila dengan pencitraan. Orang-orang seperti 
Pan Dogol, yang di Tanah Air banyak jumlahnya, pun tersihir iklan," ujar Rubag.

"Kalau saja kalian tidak membicarakan masalah Pan Dogol, aku enggan 
menceritakan kisah yang sengaja kusimpan. Dia pernah menguras WC rumahku dua 
kali dalam tempo sepuluh tahun. Aku juga seperti Suja, melihat perubahan 
perangai Pan Dogol belakangan ini. Dia dulu sangat periang, meskipun sedang 
bekerja menguras tinja, siul dan banyolannya terus terdengar. Bahkan menjelang 
Pemilu 2004, ketika menguras WC-ku untuk kedua kalinya, siul dan lirik lagu 
Zamrud 'Pelangi di Matamu' sering dilantunkannya. Namun, baru-baru ini saat 
berjalan papasan denganku, Pan Dogol yang memanggul skop, linggis dan ember di 
bahunya tapi tetap mengenakan helem di kepalanya, menyelipkan sehelai kertas di 
kantongku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku maklum kalau dia sedang 
tergesa-gesa mengejar ojek," ungkap Gus Eka.

"Kertas apa itu? Apa kau buang?" tanya Suarnadi.

"Aku simpan, sebab isinya lirik puisi. Rupanya dia tahu kalau aku ngefans pada 
Sutardji Calzoum Bachri. Namun dia cuma ambil bait yang sesuai kata hatinya, 
'Asal sebab kembali sebab, asal tanah pulang ke tanah, asal darah ke mula 
darah, asal tahu muasal tahu, kami tahu asal jadi kau! Wahai musang berbulu 
amanah, wahai ular berkulit nalar, wahai lintah berbulu pemerintah, wahai 
taring bersungging senyum, wahai zalom berucap salam, puahh, masuk engkau ke 
telur setan! Kau jadi dari duka kami yang kau jadikan  kudakau, kau jadi dari 
hati kami yang kau niatkan sukasukakau, kau jadi dari suara kami yang kau 
nyanyikan iramakau.' Cuma itu!" ujar Gus Eka sembari memasukkan  kembali kertas 
itu ke dompetnya.

"Hebat! Siapa sangka kalau Pan Dogol yang cuma tamatan SR punya ide meminjam 
puisi Sutardji untuk membahasakan kata hatinya? Selama ini orang-orang 
cenderung menilai kecerdasan seseorang hanya dari latar belakang pendidikannya. 
Mereka lupa kalau Francis Bacon, pencetus metode ilmiah dalam ilmu pengetahuan, 
bukan seorang ilmuwan. Aku jadi yakin Pan Dogol paham atas segala peristiwa 
politik di negeri ini, meski tidak mau pusing menghafal istilah-istilah 
politik. Bukan tidak mungkin, perubahan sistem kenegaraan pun agaknya dia 
mahfum. Sayang, saking rindunya akan 'perubahan', dia ikut jadi korban iklan 
politik, hahaha...," komentar Rubag terbahak.

"Kalau Pan Dogol ngerti, bagaimana Pak Try? Bagaimana mungkin mantan orang 
nomor dua di republik ini dikatakan tidak mengerti perubahan sistem kenegaraan? 
Padahal di Bali Post Rabu (20/12) aku sempat baca berita bertajuk 'Indonesia di 
Ambang Bahaya' tentang Pak Try Cs yang tergabung dalam GKIR bertemu Ketua DPR 
Agung Laksono untuk melaporkan hasil kajian lembaga itu mengenai kondisi negara 
saat ini. Ada lima hal mendasar yang dipaparkan Pak Try tidak berhasil 
dilaksanakan pemerintahan SBY, sehingga Indonesia dinilainya berada di ambang 
negara gagal. Meski ada aktivis muda GKIR yang menyarankan DPR mencabut mandat 
Presiden SBY, namun Pak Try tak ingin hal itu terjadi. Malah dia menawarkan 
diri untuk bersama-sama mengatasi keadaan agar Indonesia kembali bangkit," 
tutur Gading.

"Ya, di antaranya adalah kehidupan dan kebutuhan pokok rakyat yang kini 
terpuruk, seperti yang dialami Pan Dogol  dan jutaan lainnya yang senasib. 
Mudah-mudahan gebrakan Pak Try Cs semata-mata karena keprihatinan mereka 
terhadap nasib Pan Dogol-Pan Dogol yang makin banyak jumlahnya di Indonesia, 
bukan untuk menurunkan kekuasaan yang sah. Sebab, rakyat akan makin susah 
menanggung akibatnya," ujar Manik

Kirim email ke