Hantu Balibo – Simbol Kelam di Hari Pers

Aboeprijadi Santoso, 10 Feb. 2007

Tigapuluhsatu tahun setelah pembantaian lima wartawan asing di 
Balibo, Timor Leste, puluhan laporan investigatif, buku dan laporan 
polisi PBB dan komisi parlemen Australia telah menghimpun bahan untuk 
membongkar kasus tsb. Kini, giliran keluarga korban memburu para 
pelaku `Balibo' melalui peradilan. Pekan silam, menyusul tuntutan 
kerabat salah satu wartawan yang tewas, Brian Peters, pengadilan di 
Sidney, Australia, mendengar keterangan saksi-saksi baru. Lagi-lagi 
muncul nama beken seperti "Mayor Andreas", yang tidak lain adalah 
mantan Menteri Penerangan Letjen pur. Yunus Yosfiah. 

Suatu hari, pertengahan Oktober 1975, sebuah satuan RPKAD memasuki 
Balibo, di ujung barat Timor Leste, waktu itu Timor-Portugis. 
Portugal baru setahun menyiapkan dekolonisasi jajahan-jajahannya. Di 
Jakarta, Timor-Portugis menjadi "ancaman komunis di pekarangan 
Indonesia" yang harus "dipasifikasi" ke dalam negara kesatuan. Menlu 
Adam Malik bersedia mengakui hak kemerdekaan Timor-Portugis, tapi 
kalangan militer memilih operasi klandestin. Di Canberra, PM Gough
Whitlam gagal melobi Lisbon agar Timor tetap di bawah Portugal dengan 
harapan meraih minyak bumi di Celah Timor, lantas berharap Jakarta 
dapat menyelesaikan gejolak Timor. Para jenderal di Jakarta 
menafsirkannya sebagai "lampu hijau" Australia meski dubesnya di 
Jakarta, Richard Woolcott, tahu benar apa yang sebenarnya terjadi 
berkat hubungan baiknya dengan Mayjen. Benny Moerdani.

Di tengah konspirasi dan ketidakpastian itu, para arsitek "TimTim" - 
Ali Moertopo, Yoga Sugama dan Benny Moerdani - cuek saja. Dan 
Canberra mengutamakan hubungan baik dengan Soeharto. Akibatnya, tidak 
hanya rakyat Timor terjepit, tapi pers bebas juga.

Ketiga arsitek BAKIN dan Opsus itu melanjutkan Operasi Komodo dari 
Atambua, Timor Barat (NTT), untuk menyulut perang saudara di Timor-
Portugis. Komandan-nya, Kol. RPKAD Dading Kalbuadi, mengaku bermimpi 
dapat menguasai Timor Portugis dengan metode bujuk dan gertak semacam 
ulah Inggris menguasai Transjordania. "Seperti (cara) Lawrence of 
Arabia itu, lho, mas," tutur Dading (Radio Nederland 1995) yang 
membawahi tiga satuan RPKAD, Tim Umi, Tim Tuti dan Tim Susi. "Mereka 
masuk Timor (Timur), menyamar sebagai turis, dengan nama-nama berbau 
Portugis dan membawa kamera dan peta," ungkap Jose Martins (1992), 
mantan pembantu Ali Moertopo.

Mendengar kehadiran lima wartawan televisi asing, Komandan Tim Susi, 
Mayor Andreas, bertopi turis, berrambut gondrong dan dibantu kelompok 
Apodeti yang pro-Jakarta, menuju Balibo. Beberapa jam sebelumnya, 
menurut sadapan intelejens Australia, Benny Moerdani berpesan kepada 
Dading Kalbuadi "We can't have any witness". Dading menjawab "Don't 
worry!" (Jill Jollife, Cover Up, The Inside Story of the Balibo Five, 
2001, h. 312)

Apa yang terjadi kemudian, kita tahu. Pada 16 Oktober 1975 kelima 
wartawan asing itu - Gary Cunningham, Gregory Shackleton, Tony 
Stewart, Brian Peters and Malcolm Renie - mati konyol. Mereka bukan 
korban "di tengah baku tembak" (cross fire) antara tentara Indonesia 
dan gerilya Fretilin seperti diklaim Jakarta. Jakarta menyiarkan 
gambar-gambar mereka setelah jasad mereka diberi baju seragam
Fretilin (untuk memberi pembenaran pada pembunuhan kepada wartawan 
tak bersenjata), kemudian dibakar di sebuah toko Cina.

Banyak laporan jurnalistik investigatif telah menunjukkan bahwa 
mereka ditembak dengan telak (cold blood). Empat mati ditembak, satu 
ditusuk. Mantan Konsul Australia James Dunn, mantan Presiden Fretilin 
Xavier do Amaral, pemimpin Apodeti Raja Guilherme Gonzalves, anaknya, 
Thomas, dan mantan Komandan Fretilin Paulino "Mouk Mouruk" Gama 
menceritakannya (Radio Nederland, media Australia, 1990-1995).

Tapi baru sejak Timor Leste merdeka, saksi mata mulai bicara. Jill 
Jollife dalam bukunya Cover Up tsb mengungkap secara rinci latar 
seputar peristiwa keji itu. Menurut J. Martins, di antara satuan 
RPKAD, ada "beberapa yang kejam, termasuk Mayor Andreas dan Sinaga". 
Jill Jolliffe memastikan, "Mayor Andreas" adalah Kapten RPKAD Yunus 
Yosfiah dan sumber lain menyebut satuan Susi menembak dari jarak 10 
meter. Tahun 1999 Yunus membantah, dia mengaku tak pernah bertemu
wartawan, tapi membenarkan, satuannya pada Oktober 1975 berada di 
Balibo selama 10 hari. Di kota sekecil Cimahi selama itu tidak 
mendengar insiden lima warga asing yang menyandang kamera?

Pekan silam, Pengadilan Glebe Coroner di Sidney tidak menambahkan 
detil baru yang penting. Sejumlah saksi anonim, Glebe Two, Glebe Four 
dan Glebe Five kembali menegaskan bahwa Yosfiah sendiri tidak pernah 
melepas tembakan. Sebagai komandan dia memberi perintah "Tembak saja, 
Tembak saja!" "Bohong, bohong!" bantah Yosfiah dari Jakarta pekan 
lalu. Seorang saksi mata baru mengatakan, tentara Indonesia mengejar 
kelima wartawan tsb. Rakyat memperingatkan mereka agar lari, tapi 
mereka menolak karena yakin wartawan tak akan dilukai. Mereka hanya 
berseru "Australia, Australia!". Seorang saksi memperingatkan anggota 
Tim Susi, wartawan tak boleh ditembak.

Kelima wartawan na'as itu "berdosa" karena ingin meliput operasi 
militer, sebuah hot item, agresi yang melanggar Piagam PBB – juga 
melanggar mukadimah konstitusi Indonesia sendiri. Mereka menjadi 
korban dari sebuah halaman pengantar (prelude) menuju perang besar 
nan kotor.

Kurang dari dua bulan kemudian, lengkaplah agresi tsb dengan lampu 
hijau Presiden AS Gerard Ford dan invasi besar 7 Des. 1975.Selebihnya 
kita tahu: TimTim jadi jajahan, ditelan tragedi kemanusiaan, kita 
menjadi penjajah, asas politik luar negeri Non Blok menjadi 
hipokrisi, dan solidaritas Asia-Afrika (Bandung 1955)pudar.

Pemerintahan PM Gough Whitlam pada Oktober 1975 tahu benar bahwa 
tentara Indonesia tengah menyusup. Mereka tahu ada operasi Komodo dan 
kelima wartawannya ada di Balibo, tapi Canberra hingga kini berkelit. 
Komisi Parlemen Sherman (1996) hanya meragukan klaim Jakarta 
tentang "baku tembak". Akhirnya, tim polisi PBB Civpol yang mengusut 
kasus Balibo kandas karena Jakarta menolak mengirim para saksi dan 
tersangkanya ke Dili.

Sisi Indonesia dari Operasi Komodo tetap gelap. Banyak nama beken 
selain Yunus Yosfiah, terlibat operasi, seperti Krisbiantoro, Bibit 
Waluyo (Cagub DKI) dan Soetiyoso (Gub. DKI). Pers Indonesia diam, ada 
yang menjadi bagian propaganda militer (worse than embedded) dan 
sebagian besar dipasung Orde Baru. Belakangan, ketika wartawan film 
media Jepang, Agus Muliawan, dan sejumlah wartawan lokal dan asing 
tewas di masa bumi hangus Tim-Tim Sept. 1999, pers Jakarta juga tak 
banyak bersuara. Di Indonesia, kebanyakan wartawan jadi korban di 
masa damai. Baru ketika wartawan RCTI Ersa Siregar tewas semasa tugas 
di Aceh, Des. 2003, pers ramai, tapi hasil penyelidikan TNI yang 
dijanjikan Jen. Ryamirzard Ryacudu tak pernah terdengar.

Kasus Balibo 1975 adalah tragedi wartawan perang di tengah Perang 
Dingin. Yunus Yosfiah pernah mengaku "ABRI mungkin menakutkan, tapi 
saya seorang demokrat." (Kompas 27 Juni 1999). Tapi 'Balibo' juga 
kasus pembunuhan wartawan terbesar sejauh ini.

Bagi pers Indonesia pasca-SIUPP, apalagi di Hari Pers 9 Februari 
ini, 'Balibo' mustinya pedih, sebuah ironi, karena melibatkan seorang 
mantan Menpen di bawah Presiden B.J. Habibie yang pernah berjasa 
mencabut SIUPP. 'Balibo' pantas menjadi simbol masa kelam pers dunia 
dan dunia pers di masa Orde Baru.

Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi Timor Leste CAVR (2006) dalam 
laporannya kepada PBB menyarankan agar menyelidiki kembali sejumlah 
kejahatan HAM, di Timor Leste, termasuk 'Balibo'. Menarik pula, 
Komisi-Bersama Indonesia dan Timor Leste untuk Kebenaran dan 
Persahabatan CTF hanya mencakup seputar bumi hangus 1999. CTF 
melanggengkan impunitas dengan menjanjikan amnesti bagi mereka yang
mengaku terlibat pelanggaran HAM, tapi mengabaikan kasus kasus 
historis sebelumnya. Jadi, kedua negara masih harus menghadapi kasus 
Balibo - idem dito kasus pembantaian Kraras 1983 (Letnan Kopasandha 
Prabowo) dan yang lain.

Walhasil, bagi banyak pihak, kisah Timor masih panjang. Hantu Balibo 
dan sejenisnya masih akan terus membayang-bayangi mereka yang 
bertanggungjawab.


Dikembangkan dari sumber:

http://www.ranesi.nl/tema/temahukdanham/pembantaian_balibo070209

Kunjungi www.ranesi.nl


Kirim email ke