Sebagai orang luar, saya melihat tindakan AJI memang
tidak ada kearifan. Setiap kali nama AJI muncul, itu
selalu berarti demo, padahal jurnalis itu dianggap
intelektual.Koq gak pakai (adu) otak saja, mengapa
harus adu oto (demo), kuat-kuatan. Di manakah
intelektualitas jurnalis? Salam kebangsaan. RA



--- dimastakha <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Ada rekans yang mendengar, ada  media kini ogah
> menerima wartawan
> (baru) anggota AJI? 
> Mohon konfirmasi dan semoga tidak benar.
> salam
> dimast
> 
> berikut dari http://www.insidekompas.blogspot.com :
> 
> Aji Mumpung AJI
> "O-Te"
> 
> KALA Soeharto berkuasa, wartawan wajib menjadi
> anggota Persatuan
> Wartawan Indonesia (PWI), satu-satunya organisasi
> profesi wartawan
> yang diakui pemerintah. Di luar itu, selain haram
> hukumnya, juga harus
> menghadapi kematian sejak dalam kandungan. Harmoko,
> menteri penerangan
> sejak 1983 yang mantan Ketua PWI, adalah penjaga
> gawang pers yang
> kelewat sadis, sehingga apa yang termuat di media
> massa adalah hasil
> dari saringannya.
> 
> Untuk itulah, salut kita serukan pada para pendiri
> Aliansi Jurnalis
> Independen (AJI) yang berani mendobrak benteng
> tirani rezim saat itu
> dengan mendirikan organisasi profesi wartawan di
> luar PWI. Tekanan
> demi tekanan dari penguasa pasti datang dengan
> sendirinya. Majalah
> bawah tanah "Independen", majalah yang dicari-cari
> saat itu khususnya
> pascabreidel Tempo, Editor dan Detik.
> 
> Salut diberikan pada pendirinya yang gagah berani.
> Dari Kompas,
> tercatat nama Satrio Arismunandar (RIO) dan Dhia
> Prakesa Yudha (DPY)
> sebagai pendirinya, plus beberapa simpatisan
> lainnya. Mereka berani
> menyatakan keluar dari Kompas, setelah mendapat
> kompensasi tentunya,
> atas perjuangannya itu. Pendeknya, salut diberikan
> kepada mereka,
> sekaligus kepada organisasi profesi wartawan yang
> mereka dirikan, AJI.
> 
> Tatkala Soeharto tumbang dan rezim datang silih
> berganti, nyatalah
> bahwa AJI memetik hasil dari perjuangannya itu. Ia
> menjadi organisasi
> wartawan yang tiada tandingnya. PWI tenggelam dengan
> sendirinya, meski
> tetap eksis di bawah kepemimpinan Tarman Azzam. AJI
> menjulang
> sendirian, menenggelamkan organisasi-organisasi
> profesi wartawan
> lainnya. AJI kini di bawah kepemimpinan.... (maaf
> tidak tahu), masih
> berkibar di atas langit dengan seruan-seruannya.
> 
> Bedanya, dulu seruan AJI menyejukkan dan memberi
> solusi, sekarang
> seruan AJI lebih mirip provokasi, beropini,
> memelintir fakta, tunduk
> pada kehendak seseorang, dan membuat seruan sepihak
> tanpa berupaya
> mengecek ulang, yang hakikinya kewajiban wartawan
> untuk melalukan
> cover both side. Bukankah organisasi ini
> beranggotakan
> wartawan-wartawan hebat yang seharusnya tahu "hukum"
> pers yang paling
> dasar itu.
> 
> Ambil contoh kecil saat AJI meng-condem bahwa satuan
> pengamanan
> (Satpam) Kompas "memiting", "meringkus", dan
> "membopong" Paulus
> Bambang Wisudo, wartawan Kompas yang dipecat dengan
> tidak hormat, yang
> tidak pernah menghubungi Satpam Kompas. AJI begitu
> percaya kepada
> ocehan mulut satu orang, langsung membuat pernyataan
> provokatif,
> menyulutkan Total War, yang justru sangat
> berkebalikan dengan semangat
> AJI selama ini yang mengusung "peace journalism".
> Dimana sekarang
> jurnalisme damai diletakkan saat Total War langsung
> dimuntahkan?
> 
> Saat ditanyakan kepada Satpam Kompas yang katanya
> "memiting" dan
> "meringkus" Wisudo, jawabnya hanya senyum dikulum
> saja. Salah seorang
> di antara Satpam itu bilang, "Si Wisudo itu pinter
> main sandiwara,
> wong dia menjatuhkan dirinya sendiri lalu
> teriak-teriak seakan-akan
> dianiaya, padahal kita mencoba menyuruhnya berdiri.
> Tetapi tidak mau
> dan meronta-ronta seperti anak kecil. Ya kita
> boponglah."
> 
> Main sandiwara? Itulah bahasa Satpam. Barangkali
> bahasa kerennya
> adalah "happening art", sebuah seni teatrikal yang
> biasa dimainkan
> pendemo di jalan-jalan. Main sandiwara tentu saja
> bermakna pura-pura,
> bukan kejadian sesungguhnya. Kita tentu tidak akan
> menemukan
> pernyataan Satpam dengan puluhan saksi di
> koran-koran, di blog, atau
> media lainnya (rekaman video kelak mungkin akan
> menjelaskan secara
> gamblang hal ini). Yang ada hanyalah pernyataan
> Wisudo sepihak. Dan,
> itulah yang dijadikan kesimpulan banyak orang,
> termasuk AJI, membawa
> kata kunci "penganiayaan" ini kemana-mana,
> menjualnya demi menarik
> simpatik massa, sekaligus mengibarkan bendera Total
> War.
> 
> Padahal, tidak ada asap kalau tidak ada api. Ambil
> contoh kecil lagi
> yang tidak pernah terungkap. Beberapa saat sebelum
> pemecatan
> berlangsung, Wisudo mengundang puluhan aktivis untuk
> mengadakan
> pertemuan di Gedung Kompas. Tidak ada bahasa, tidak
> ada cerita,
> apalagi sopan-santun kepada pengelola gedung untuk
> meminta izin, meski
> memang saat itu Wisudo masih tercatat sebagai
> karyawan Kompas.
> Bayangkan, dimana sopan-santun diletakkan oleh
> seorang terpelajar dan
> hero seperti Wisudo? Memangnya Gedung Kompas itu
> punyanya? Punya
> mbahnya? Lalu dengan seenaknya dia menempelkan
> selebaran dimana-mana,
> di seluruh lantai di Gedung Kompas.
> 
> Cobalah AJI belajar berempati, lantas sesekali
> menempatkan dirinya
> sebagai Satpam (bukan sebagai wartawan yang hebat?).
> Sebagai Satpam,
> apa yang Anda akan lakukan ketika menghadapi ulah
> seseorang seperti
> Wisudo di tempat yang menjadi tanggung jawab Anda.
> Membiarkan dia
> seenaknya menempelkan selebaran? Membiarkan satu
> atau beberapa ruang
> kantor itu untuk diduduki tanpa izin sebelumnya?
> Atau menegurnya
> sesuai kapasitas Anda? Jika yang ditegur tidak mau,
> berontak dan
> menjatuhkan dirinya sendiri (happening art?), apa
> pula yang Anda akan
> lakukan. Membiarkan dia meronta-ronta seperti anak
> kecil di tengah
> keramaian suasana kerja?
> 
> Mestinya, sebagai organisasi profesi wartawan yang
> sudah berada di
> atas angin dan nyaris tanpa ada saingan berarti, AJI
> (atau orang-orang
> AJI), sering-seringlah melakukan advokasi sehingga
> menarik simpatik
> banyak wartawan berbagai media massa untuk masuk
> menjadi anggotanya,
> bukan malah melakukan provokasi dan menghasut.
> 
> Tidak pernah AJI bayangkan, hampir seluruh wartawan
> Kompas dan
> wartawan media massa lainnya yang segrup dengan
> Kompas, langsung
> antipati terhadap AJI (kecuali simpatisan Wisudo),
> dimanapun AJI
> berada. Bagaimanapun, setiap individu yang bergabung
> dalam komunitas
> tertentu (baca Kelompok Kompas Gramedia/KKG),
> memiliki l'esprit de
> corps, semangat kelompok, sendiri-sendiri secara
> alamiah. Ketika
> kelompok itu ditekan dan dihina, memang menghasilkan
> beberapa personil
> yang cuwek, tidak mau tahu, dan merasa bukan
> urusannya.
> 
> Tetapi ingat, dari kelompok ini juga akan
> menghasilkan orang-orang
> "fundamentalis", yang siap bertahan dengan seluruh
> jiwa-raga tatkala
> 
=== message truncated ===


 



 
____________________________________________________________________________________
Now that's room service!  Choose from over 150,000 hotels
in 45,000 destinations on Yahoo! Travel to find your fit.
http://farechase.yahoo.com/promo-generic-14795097

Kirim email ke