Bagaimana kalau dikatakan bahwa Pak Harto adalah pahlawan Crook ? 

  ----- Original Message ----- 
  From: ati gustiati 
  To: [EMAIL PROTECTED] ; mediacare@yahoogroups.com 
  Sent: Wednesday, April 11, 2007 4:37 PM
  Subject: [mediacare] Re: Soeharto, Pahlawan atau "Crook?


  Menurut saya, Suharto adalah keduanya, dia seorang pahlawan juga seorang 
crook.
  bisakah dibuktikan? yes absolutely ! 
  Suharto telah mampu merubah the country from what was basically a feudal 
society to a democratic state in a matter of years, and there is yes no daubt 
that Indonesia membutuhkan seorang strong stable leadership to set it on path 
of progress and development, Suharto telah berhasil membangun negri ini walau 
dnegan curahan IMF dan dengan segala money politik nya, bagi saya itu yg 
membuat dia sebagai pahlawan pembangunan dalam negrinya.
  Lalu apakah dia juga seorang CROOK ? hell yes !
  Dunia sendiri sudah mengungguli indonesia sebagai salah satu negara terkorup 
didunia, dan Suharto was the one who responsible for that.

  Orang seperti Suharto selalu meyakinkan social cohesion di indonesia, but 
that does not excuse his excesses, pembuhunan di timur timor yg membuat Clinton 
hrs membuat LIST utk indonesia sebagai negara yg perlu di awasi dengan 
pelanggaran HAM nya, do not forget that ( 1993) itu bukan sekedar kejahatan 
nyolong ayam dan kriminal2 kecil lain nya, itu kriminal yg sangat berbahaya 
bagi kehidupan massall manusia.
  ( darah saya mulai mendidih nih...) dalam admisnitarsi indonesia memang tidak 
bisa di sebutkan bahwa Suharto adalah pembunuh berdarah dingin, tetapi The 
Commission (UN) finds the Army guilty " of excessive force" dan itu dibawah 
kontrol Suharto, Ok kita bisa melupakan pembantaian 1965 karena banyak yg masih 
meragukan keterlibatan nya, tetapi Pentagon dan UN telah mengkoleksi kejahatan2 
RI terhadap penyalah gunaan uang negara ( KKN) dan pelanggaran2 HAM terhadap 
rakyat nya, dan ini semua dosa2 yg sengaja di lakukan dibawah hidung Suharto .

  Suharto is an embodiment of all that worst in asia for the 20th century, He 
combines the bloodthirstiness of cambodia's Pol Pot dan keserakahan 
phillipine's Ferdinand Marcos.

  "pagi2 udah sport jantung nih, dari kemarin saya coba utk gak membaca artikel 
ini, liat judulnya saja saya udah berfikir, bego masih tanya2 pulak....)

  selamat berdiskusi teman2 maya

  omie lubis




  Soeharto crook or not baru bisa dijawab setelah semua kesalahannya (kalau 
  ada) tertuang jelas diatas lembaran kertas.
  Selama itu tidak terjadi, selama tidak ada pengadilan atas dirinya seperti 
  sekarang ini selama 9 tahun, maka selama itu juga hanya jadi polemik, 
  'Crook' or 'Hero'
  Melihat dari umur dan kesehatannya, polemik itu akan abadi.

  Kalau ' "hanya" mengkhianati sebagian terbesar warga bangsa Indonesia' tidak 
  termasuk crook, then crook itu apa? Maling ayam-kah? Pick pocket-kah?

  Kutipan:
  //Jawaban yang disampaikan Lee Kuan Yew sangat menarik. "Sebagai Presiden 
  Indonesia, Soeharto merasa dirinya seperti seorang sultan besar dari 
  kerajaan besar. Ia merasa wajar apabila putra-putrinya mendapatkan privilese 
  seperti halnya para pangeran dan putri pangeran di Kerajaan Solo. Dia 
  melihat dirinya sebagai seorang patriot. Saya juga tidak mengklasifikasikan 
  dia sebagai seorang penjahat (crook)."
  //Akhir kutipan

  Privilese untuk anak Sultan... dapat dimengerti. Tapi batasannya tetap saja 
  ada.
  Seorang Sultan Besar pun tidak membiarkan anak-anaknya membuat susah 
  rakyatnya dan membiarkan anak-anaknya berbuat kesalahan terlalu jauh, 
  kecuali Sultan lalim.

  Salam,
  a

  ----- Original Message ----- 
  From: "HINU E. SAYONO" 
  To: "Nasional" ; "Sastra Nusantara" 
  ; "Rumah Kita Bersama" 

  Sent: Wednesday, April 11, 2007 12:24 PM
  Subject: [RumahKita] Soeharto, Pahlawan atau "Crook?

  Soeharto seorang pahlawan?

  Operasi pendudukan ibukota RI, Yogyakarta, selama enam jam, diotaki oleh 
  Sultan Hamengku Buwono IX. Hal ini dilihat kembali dalam film Usmar Ismail 
  yang berjudul "6 Jam di Yogya". Bandingkan dengan fiilm "Janur Kuning" yang 
  dibuat dalam era rezim Orde Baru.

  Juga film tentang "G30S/PKI" yang memutar-balikkan sejarah dengan tujuan 
  utama memojokkan Bung Karno pada posisi "memberontak" terhadap dirinya 
  sendiri.

  Perjuangan Trikora adalah perjuangan diplomasi yang cangat lihay yang 
  dilakukan oleh Bung Karno. Irian Barat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi bukan 
  oleh operasi Mandala yang dipimpin oleh Soeharto yang menggantikan Omar 
  Dhani.
  Walter Modale diutus oleh Presiden Clinton tidak untuk menghalangi upaya 
  Soeharto mem-"peg"-kan Rupiah dengan Dollar AS, melainkan minta agar 
  Soeharto segera "turun tahta", dengan ancaman "otherwise the market will 
  vote with their dollars".

  Berapa juta insan Indonesia yang dihabisi? Berapa banyak lagi yang ditahan 
  dan disengsarakan hidupnya dengan "label" ET?

  Bagaimana kerusakan alam yang terjadi selama tiga dasawarsa kekuasaan 
  rezim Orde Baru? Pembabatan hutan, penambang pasir untuk di ekspor ke 
  Singapura, penjarahan kekayaan alam Indonesia oleha sanak saudara, anak, dan 
  kroninya. Dan yang lebih parah lagi adalah pemlintiran habais-habisan makna 
  Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

  Soeharto "crook"?
  Tidak! Karena diia tidak pernah mengkhianati dirinya sendiri dan ambisinya 
  serta para taukenya. Dia "hanya" mengkhianati sebagian terbesar warga bangsa 
  Indonesia saja.

  Otobiografi
  Soeharto, Patriot atau "Crook"

  Suryopratomo
  KCM - 11 April 2007

  Tidak bisa disangkal salah satu keberhasilan yang dicapai Presiden 
  Soeharto selama 32 tahun menjadi orang nomor satu di Indonesia adalah 
  mengubah Indonesia dari negara miskin menjadi negara yang beranjak ke negara 
  industri baru.

  Namun, sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan 
  pertanian, Soeharto paham betul kehidupan rakyatnya. Walaupun Indonesia 
  hendak beranjak menuju negara industri, sebagian besar rakyat Indonesia 
  tetap menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian.

  Ketika perjalanan hidup membawa dirinya menjadi seorang tentara yang sarat 
  dengan penugasan yang menantang dan akhirnya membawa dirinya menggapai 
  jenjang tertinggi, yakni meraih jenderal bintang empat bahkan kemudian 
  bintang lima, Soeharto tetap tidak lupa akan kehidupan yang sebenarnya dari 
  rakyatnya. Demikian pula ketika kemudian arus besar politik dalam negeri 
  pada tahun 1965 menarik dirinya ke arena politik dan pengabdian sipil, hal 
  yang pertama dilakukan adalah melakukan perbaikan kehidupan rakyat. 
  Kebutuhan pangan yang tidak memadai sehingga membuat tingkat inflasi 
  melambung sampai 650 persen membuat ia tidak bisa lain kecuali yang pertama 
  dilakukan adalah memperbaiki sistem produksi pertanian.

  Bersama para ahli ekonomi dari Universitas Indonesia yang dipimpin Prof 
  Widjojo Nitisastro dan Prof Ali Wardhana, Soeharto merancang sebuah konsep 
  pembangunan ekonomi jangka panjang yang terprogram. Konsep pembangunan yang 
  di zaman Presiden Soekarno berada di bawah bendera "Demokrasi Terpimpin" 
  diubah menjadi "Garis Besar Haluan Negara" yang diterjemahkan dalam rencana 
  pembangunan lima tahunan (repelita).

  Setelah dua tahun mengemban tugas sebagai Penjabat Presiden, Soeharto 
  menjalankan Repelita I-nya pada tahun 1969. Arah yang ingin dicapai 
  sangatlah sederhana, yakni bagaimana bangsa Indonesia bisa memenuhi 
  kebutuhan pangan dan juga sandang sendiri.

  Pelibatan dari semua komponen bangsa dilakukan agar program pembangunan 
  bisa berjalan dan berhasil. Mahasiswa Institut Pertanian Bogor, misalnya, 
  dilibatkan untuk turun ke lapangan, mendampingi para petani agar bisa 
  menjalankan program bimbingan massal.

  Konsistensi dalam menjalankan program pembangunan itulah yang akhirnya 
  membawa Indonesia menggapai swasembada pangan pada tahun 1984. Prestasi 
  besar itu membawa Presiden Soeharto meraih penghargaan dari Badan Pangan dan 
  Pertanian Dunia (FAO).

  Barulah setelah berhasil memenuhi kebutuhan perut, arah pembangunan bisa 
  dilakukan ke bidang lain. Setelah itu repelita diarahkan ke bidang 
  perumahan, pendidikan, kesejahteraan sosial, dan kemudian pembangunan 
  industri.

  Tidak tertulis

  Pencapaian pembangunan ekonomi yang dilakukan Indonesia selama 32 tahun 
  kepemimpinan Presiden Soeharto sangatlah luar biasa. Tidak hanya pujian yang 
  diberikan, tetapi konsep pembangunan banyak yang ditiru oleh negara-negara 
  lain.

  Soeharto mengakui bahwa keberhasilannya membangun perekonomian Indonesia 
  tidak bisa juga dilepaskan dari faktor keberuntungan. Antara lain adanya 
  bonanza minyak pada tahun 1974 yang memungkinkan Indonesia memiliki 
  kesempatan untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk mempercepat 
  laju pembangunan.

  Sayang, landasan pembangunan yang bagus itu tidak tercatat dengan baik. 
  Konsentrasi yang berlebihan kepada pelaksanaan pembangunan membuat semuanya 
  seperti terlupa untuk membuat catatan tertulis yang bisa dijadikan sejarah 
  bagaimana Orde Baru membangun perekonomian bangsa ini.

  Itulah yang disayangkan oleh Soeharto. Kerja keras yang dilakukan tidak 
  cukup bisa dijadikan bahan pembelajaran bagi generasi yang akan datang. 
  Padahal catatan seperti itu penting bagi generasi mendatang untuk mengetahui 
  kekuatan sekaligus kelemahan dari pembangunan ekonomi di zaman Orde Baru.

  Di samping hal-hal yang positif, seperti bimas, puskesmas, posyandu, dan 
  pengendalian tingkat kelahiran, ada hal-hal yang membuat perjalanan bangsa 
  sempat oleng, seperti kasus Pertamina dan korupsi di Bulog. Bahkan, yang 
  terakhir ketika perekonomian Indonesia terempas oleh krisis keuangan yang 
  melanda Asia Tenggara tahun 1997 yang ditengarai disebabkan juga oleh 
  ditinggalkannya Soeharto oleh para konglomerat yang ia besarkan.

  Mengenang ke belakang

  Buku Soeharto, The Life and Legacy of Indonesia's Second President yang 
  ditulis Retnowati Abdulgani-Knapp tidak bisa dilepaskan dari konteks 
  keinginan mantan Presiden RI itu untuk menuliskan perjalanan sejarah yang 
  telah ia lalui. Buku itu menjadi sebuah otobiografi yang hidup karena tidak 
  hanya menceritakan kejayaannya, tetapi seluruh kehidupan Soeharto mulai dari 
  lahir sampai masa tuanya sekarang ini yang tak lepas dari kecaman dan 
  berbagai tuduhan.

  Retnowati sangat beruntung karena ia putri dari tokoh kemerdekaan Roeslan 
  Abdulgani sehingga punya akses untuk mendengar langsung semua cerita itu 
  dari sang mantan Presiden. Sayang, kesempatan itu diperoleh di saat Soeharto 
  sudah berusia 86 tahun dan berulang kali keluar-masuk rumah sakit. Meski 
  tidak dimungkiri ingatannya masih sangat kuat, Soeharto tak cukup lancar 
  menyampaikan pikirannya. Akibatnya, Retnowati terpaksa untuk menerjemahkan 
  beberapa pikiran Soeharto itu agar bisa ditangkap lebih mudah oleh pembaca.

  Meski demikian, buku tentang Soeharto-yang akan diluncurkan tanggal 12 
  April di Singapura dan tanggal 25 April di Jakarta-tetap menarik untuk 
  diikuti, apalagi Retnowati secara baik mampu mengangkat isu-isu sensitif 
  yang menjadi pertanyaan banyak pihak. Seperti soal siapa orangtua Soeharto 
  yang sebenarnya, peran Ibu Tien dalam kehidupan Soeharto, para putra-putri, 
  soal yayasan yang sekarang sedang diutak-utik kembali, hubungan dengan para 
  konglomerat, serta teman-temannya yang setia dan yang mengkhianati.

  Salah satu episode yang diangkat secara baik dan menarik untuk menjadi 
  pengetahuan kita adalah saat-saat menjelang Soeharto harus lengser dari 
  kursi kepresidenan. Bagaimana ia berupaya untuk bisa mengendalikan krisis 
  ekonomi, termasuk kemungkinan mem-peg rupiah terhadap dollar AS seperti 
  diusulkan ahli moneter AS, Steve Hanke, dengan Currency Board System-nya. 
  Untuk mencegah agar Soeharto tak melakukan itu, Presiden AS Bill Clinton 
  mengirim mantan Wakil Presiden Walter Mondale untuk menemuinya di Jakarta, 
  Maret 1998.

  Dalam perjalanan pulang dan mampir di Singapura, Mondale bertemu PM Goh 
  Chok Tong dan Menteri Senior Lee Kuan Yew. Mondale sempat bertanya apakah 
  Soeharto seorang pahlawan atau penjahat (crook)?

  Jawaban yang disampaikan Lee Kuan Yew sangat menarik. "Sebagai Presiden 
  Indonesia, Soeharto merasa dirinya seperti seorang sultan besar dari 
  kerajaan besar. Ia merasa wajar apabila putra-putrinya mendapatkan privilese 
  seperti halnya para pangeran dan putri pangeran di Kerajaan Solo. Dia 
  melihat dirinya sebagai seorang patriot. Saya juga tidak mengklasifikasikan 
  dia sebagai seorang penjahat (crook)."



   


------------------------------------------------------------------------------


  No virus found in this incoming message.
  Checked by AVG Free Edition.
  Version: 7.5.446 / Virus Database: 269.2.0/756 - Release Date: 4/10/2007 
10:44 PM

Kirim email ke