----- Original Message ----- 
From: nesare
To: [EMAIL PROTECTED]
Cc: HKSIS
Sent: Saturday, 5 May, 2007 22:08
Subject: [HKSIS] RE: [t-net] Pertanyaan kepada Pak Nasare


Bung terima kasih mengingatkan kita semua bahwa topik ini memang belum 
banyak yang memahami dan mendalaminya seperti juga banyak sejarah bangsa 
Indonesia yang kurang dipelajari dan dipahami. Data inflasi bung dari 1952 - 
1962 itu sudah menunjukkan bahwa perekonomian RI yang baru merdeka itu dalam 
keadaan susah.

Dengan data itu kita lihat yang menarik adalah indeks bahan pokok itu hanya 
melonjak 4 kali selama 8 tahun, dari tahun 1952 sampai 1960. Itu adalah 
jaman Demokrasi Parlementer. Tapi dalam 2 tahun berikutnya, dari 1960 ke 
1962 melonjak 5 kali. Itu awal dari jaman Demokrasi Terpimpin, paska Dekrit 
5 Juli 1959. Mengapa selama Demokrasi Parlementer relatif harga setabil? 
Sedangkan dalam Demokrasi Terpimpin jadi tak terkendali? Siapa yang memegang 
kekuasaan nyata selama Demokrasi Terpimpin?

Konteks politiknya bisa dipahami dari urutan peristiwa ini: SOB (Negara 
Dalam Bahaya) mulai April 1957, Kampanye Sita Modal Asing mulai Desember 
1957, Jalan Tengah Nasution yang diumumkan November 1958, Dekrit 5 Juli 
1959, Trikora dan Rasialisme 1962/63. Kelima peristiwa ini berurutan. 
Mula-mula SOB diumumkan pada awal bulan April 1957, karena di beberapa 
daerah sudah ada pergolakan. Dengan diumumkannya SOB praktis kekuasaan di 
daerah-daerah berada dalam tangan militer. Kegiatan politik, ekonomi, 
penerbitan media, buka-tutup usaha, dsb itu semua berada dalam kekuasaan 
militer.

Kampanye Sita Modal Asing mulai Desember 1957 dalam kondisi SOB. Yang mulai 
sebenarnya KBM, ormas buruhnya PNI. Semua kelompok politik waktu itu 
(termasuk militer yang menjadi penguasa) setuju kampanye sita modal asing 
karena konteksnya adalah perjuangan membebaskan Irian Barat. Modal-modal 
besar milik Belanda dan pendukungnya harus disita. Yang paling aktif dalam 
kampanye itu selain ormas buruh PNI itu, diikuti juga oleh SOBSI, ormas 
buruhnya PKI. Tapi setelah perkebunan besar, pabrik-pabrik, pertambangan, 
perminyakan, perusahaan perkapalan, dll itu secara simbolis disita oleh 
ormas-ormas buruh itu, yang kemudian mengambil alih managemennya adalah para 
perwira Angkatan Darat. Dengan memiliki kekuasaan politik memakai SOB dan 
dengan memiliki kekuatan ekonomi setelah mengambil alih modal asing, bulan 
November 1958 Nasution mengumumkan Jalan Tengah: Militer bukan hanya 
kekuatan hankam tetapi juga kekuatan politik-ekonomi. Nasution.

Semua perkembangan ini bisa diterima Bung Karno dan juga kelompok politik 
lain karena pada tahun 1957-58 terjadi pemberontakan PRRI/Permesta yang 
didukung AS dan Inggris. Dalam situasi kritis, okelah militer bergerak, 
mereka berdiri di depan, bertempur, dsb. Semua kelompok politik sikapnya 
sama, kompak mendukung militer. Dan operasi menumpas PRRI/Permesta memang 
sukses besar. Perang Saudara di Sumbar dan Sulut memang berlangsung keras 
tetapi waktunya singkat sekali dan korbannya minimal.

Tapi sejak AS dan Inggris mendukung PRRI/Permesta dan mendukung Belanda yang 
tidak mau menyerahkan Irian Barat sesuai dengan persetujuan KMB, maka sikap 
Non Blok yang dicetuskan Bung Karno itu mulai berobah. BK menjadi lebih 
condong ke pihak Timur dalam Perang Dingin. Selama PRRI/Permesta kota-kota 
di Indonesia dibom oleh pesawat AS, salah satu pilotnya berhasil ditembak 
jatuh dan ditangkap. Ribuan senjata didrop oleh kapal selam dan juga pesawat 
AS untuk membantu PRRI/Permesta. Perobahan sikap BK dari Non Blok menjadi 
condong ke kiri, menjadi lebih dekat dengan Uni Soviet dan RRT, itu proses 
yang berlangsung perlahan-lahan selama akhir 1950an dan awal 1960an.

Setelah PRRI/Permesta berhasil ditumpas, Angkatan Darat dibawah Nasution 
menjadi sangat berkuasa. Nasution minta Konstituante dibubarkan dan 
mendesakkan Dekrit 5 Juli 1959, kembali ke UUD-45. Sebelumnya kita memakai 
UUD-50 yang berlandaskan sistim kepartaian, ada perdana menteri yang harus 
didukung partai, dst. Tapi dengan UUD-45, kita kembali ke sistim 
presidensial. Kekuasaan presiden besar sekali. Sejak Dekrit 5 Juli itu 
Indonesia mulai masuk jaman Demokrasi Terpimpin.

Kampanye politik berikutnya adalah Trikora, pembebasan Irian itu, mulainya 
tahun 1960. RI didukung penuh oleh Blok Timur dan dilawan oleh Blok Barat. 
Militer RI yang dikerahkan untuk merebut Irian, terutama Angkatan Laut dan 
KKO pasukan penggempurnya AL, begitu juga AURI, mulai mendapat latihan dan 
perlengkapan dari Blok Timur. Kapal-kapal perang kita dan juga pesawat 
pembom itu didapat dari Uni Soviet. Operasi Trikora sukses bukan hanya 
karena operasi militernya tetapi terutama karena operasi politiknya. RI 
mendapat banyak dukungan dari dunia internasional.

Setelah Trikora sukses, RI menjadi lebih dekat dengan Blok Timur (Soviet dan 
RRT). Untuk menjauhkan RI dengan RRT terjadi rasialisme di Jawa Barat pada 
tahun 1962/63. Toko-toko Tionghoa di Bogor, Bandung, Sukabumi, dll diserbu 
dan dirusak. Warga Tionghoa dianiaya. Beberapa kelompok mahasiswa di Bandung 
menjadi penggerak (mereka kemudian diadili) tapi dibalik kampanye ini ada 
kelompok Angkatan Darat yang ingin menjauhkan hubungan RI-RRT. Tapi akibat 
rasialisme awal 1960an ini sebagian warga Tionghoa mengungsi, balik lagi ke 
RRT, dan terjadi modal terbang dalam skala besar. Dampaknya ke ekonomi 
terasa sekali. Setelah modal asing disita, dan kemudian dikelola oleh 
militer yang tidak paham ekonomi, lalu sebagian modal domestik terbang 
akibat rasialisme, inflasi melonjak.

Sebagai catatan: ketika pimpinan mahasiswa penggerak rasialisme di Jabar itu 
ditangkap (al. Muslimin Nasution, dkk) tidak ada yang berani membela mereka 
karena kesalahannya begitu jelas. Yang tegas mengatakan mereka harus diadili 
dan dibela itu Aidit. Yang kemudian berani maju menjadi pembela mereka 
adalah Paul Moedikdo, salah satu kerabatnya Aidit yang waktu itu dosen 
kriminologi di Unpad (sekarang pensiunan profesor hukum di Utrecht, 
Belanda). Tapi Moedikdo hanya berani maju setelah ada omongan langsung dari 
Aidit, mereka harus dibela. Pembelaan Paul Moedikdo itu bagus karena dia 
jelaskan rasialisme itu bisa muncul akibat kesenjangan sosial.

Perkembangan politik dalam negeri dan politik luar negeri (Perang Dingin) 
dalam tahun 50an dan awal 60an itu perlu kita pahami untuk mengerti 
kerusakan ekonomi kita. Kerusakan ekonomi lebih hebat lagi pada akhir 
pemerintahan Bung Karno. Tapi siapa yang mengurus perkebunan, pertambangan, 
pabrik-pabrik, perminyakan, dsb yang menjadi sumber devisa waktu itu? 
Angkatan Darat, kan? Usaha Bung Karno untuk menata kembali ekonomi itu baru 
mulai kembali dengan dikeluarkannya Deklarasi Ekonomi (Dekon) pada tahun 
1962. Kelompok PSI (Partai Sosialis Indonsia) adalah partai yang merumuskan 
Dekon. Konsep perekonomian versi Bung Karno itu baru selesai 1962, setelah 
Indonesia baru saja selesai Perang Saudara dan Pembebasan Irian.

Ekonomi akhir pemerintahan Bung Karno itu dibahas mendalam dalam disertasi 
Jeffrey Winters, "Power In Motion" ("Modal Bergerak, Modal Berkuasa"). 
Mungkin bagus buat yang berminat mengetahui ekonomi Indonesia  masa masa 
akhirnya BK. Ini topik penting tapi banyak orang tidak paham sama sekali 
konteks politik-ekonominya.

Masalah politik ekonomi jaman akhirnya BK dan pembunuhan massal 1965 yang 
penting ini perlu kita pahami bersama. Tetapi jangan anggap gara-gara 
ekonomi susah lalu terjadi Pembunuhan Massal. Karena pembunuhan itu memang 
dirancang, diorganisir, direncanakan, dikendalikan. Kemarahan orang 
direkayasa dengan fitnah Lubang Buaya yang disiarkan terus menerus selama 
beberapa bulan, melalui media yang sepenuhnya dikontrol oleh Pak harto cs. 
Yang dijadikan pembunuh itu dilatih, dipersenjatai, disiapkan angkutan, 
dikasih 'daftar mati' yang dibikin tentara sendiri, dst. Kesukaran ekonomi 
itu cuma latar belakang. Jangan kita kemudian beranggapan begitu ekonomi 
susah orang Indonesia lalu bunuh tetangganya sendiri.

Jadi memang BK tidak menghancurkan ekonomi Indonesia. Data data inflasi bung 
itupun terlihat jelas bahwa selama Demokrasi Parlementer ekonomi memang 
susah tapi masih terkendali. Setelah Kampanye Sita Modal Asing tahun 1957 
sumber devisa di perkebunan, pertambangan, minyak, pabrik, dll itu mulai 
dikuasai militer yang nggak ngerti sama sekali soal ekonomi, perdagangan, 
seluk beluk eksport-import, perbankan, dll. Dan siapa yang bisa mengontrol 
militer waktu itu? PKI menjuluki mereka kapitalis birokrat (kapbir).

Tanpa kontrol mereka pakai untuk korupsi, membiayai pasukan atau kesatuan 
dengan dana non-budgeter, kongkalikong dengan pengusaha, political funding 
para jenderal, dsb. Karena itu yang dihantam keras oleh PKI adalah para 
kapbir itu. Dan itu maksudnya ya para manager perkebunan, pertambangan, 
pabrik, dll itu. Kebanyakan memang perwira AD atau kroni-kroninya. Bung 
Karno sudah menyadari akibat Kampanye Sita Modal Asing ini. Karena itu dia 
mau menata kembali perekonomian dengan mengeluarkan Dekon tahun 1962. Tapi 
belum bisa berbuat banyak. Ketika peristiwa 65 terjadi sumber-sumber devisa 
waktu itu sudah 8 tahun berada di tangan para KapBir.

Ini kenyataan pahit dalam lembaran sejarah Indonesia yang kelam. Masih 
banyak sejarah Indonesia yang belum dipahami oleh bangsanya sendiri. Orang 
Indonesia kebanyakan suka berpolemik tentang bangsanya kadang kala kurang 
didukung oleh pengetahuan yang cukup. Polemik ini bersumberkan dari data dan 
informasi yang kerap kali dari dalam Indonesia ini tingkat distorsi nya 
cukup tinggi. Mengapa? Mengingat adanya kepentingan politik rejim penguasa. 
Oleh karena itu jangan heran banyak sejarahwan muda, ahli politik dan ahli 
ilmu sosial yang belajar diluar negeri dimana perpustakaan tentang Indonesia 
tersimpan dalam archives yang rapi dapat dipelajari demi kemajuan bangsa 
Indonesia. Kita sudah mengetahui bersama bahwa di Indonesia ilmu sosial itu 
dianggap sampah. Yang didengung dengungkan adalah ilmu pasti. Ini ada 
kaitannya dengan penguasa rejim yang takut rakyat nya mengerti akan ilmu 
sosial  dan ilmu ilmu politik yang dapat menjelaskan keadaan sosial dan 
politik jamannya. Jikalau rakyat pintar dan paham situasi dan kondisi 
epoleksosbudhankam, mereka ini menjadi faktor penekan rejim yang berkuasa. 
Oleh karena itulah rejim yang berkuasa ini mempunyai kepentingan untuk 
mendendangkan lagu "ilmu pasti adalah segala galanya" dalam membangun 
negara.

Salam,
nesare


  -----Original Message-----
  From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Behalf Of Yohanes Sulaiman
  Sent: Friday, May 04, 2007 6:07 PM
  To: [EMAIL PROTECTED]
  Subject: RE: [t-net] Pertanyaan kepada Pak Nasare


  Harga barang sudah hancur lebur dari sejak jaman Ali Sastroamidjojo.

  Misalnya, index harga 12 bahan kebutuhan pokok:

  1952: 100

  1953: 111

  1958 (Ali II) 263

  1959 (Dekrit) 307

  1960: 388

  1961: 1,243

  1962 (Maret): 1,910

  Dari tahun 1952 ke 1962, harga 12 bahan kebutuhan pokok naik duapuluh kali
  lipat. Datanya ini dari Aidit sendiri. Saya harus cari lagi index dari 
tahun
  1962-1965, entah ada di catatan yang mana.

  Tahun 1959-1965 sendiri di Indonesia ada tiga pucuk kekuasaan:
  Presiden-TNI-PKI. Sukarno mati-matian berusaha menyeimbangkan TNI dan PKI,

  YS

  Yohanes Sulaiman

  Department of Political Science

  The Ohio State University

  2043 Derby Hall

  154 North Oval Mall

  Columbus, OH 43210

  In Italy for 30 years under the Borgias they had warfare, terror, murder 
and
  bloodshed, but they produced Michelangelo, Leonardo da Vinci and the
  Renaissance. In Switzerland they had brotherly love--they had 500 years of
  democracy and peace, and what did that produce? The cuckoo clock.

  The Third Man

  _____

  [Non-text portions of this message have been removed]



 

Kirim email ke