Refleksi: Pak professor kurang tahu bahwa hanya orang goblok yang minum air 
laut bukan  bertambah dahaga tetapi menjadi racun. [They become, in a word, 
dehydrated. In extreme situations, dehydration will lead to seizures, 
unconsciousness, and brain damage. Meanwhile, the overworked blood cells carry 
the salt to the kidneys, which eventually become overwhelmed and shut down. 
Without functioning kidneys you die. That is why we don't drink seawater].

http://www.gatra.com/artikel.php?id=104316


PERSPEKTIF SYAFI'I MA'ARIF 

 
Air Laut

Tulisan ini bukan untuk membicarakan air laut sebagai kajian ilmiah, bukan pula 
untuk mencari rahasia ikan yang tetap tawar di lingkungan yang asin. Di samping 
kajian macam ini bukan dunia saya, juga tidak serta-merta mudah dikaitkan 
dengan kondisi mental sebagian anak bangsa yang tidak pernah puas dengan 
praktek pencurian harta bangsa, entah sudah berapa ratus trilyun yang dilalap 
tanpa rasa malu. Maka, berlakulah bagi orang ini peribahasa kuno, "ibarat 
meneguk air laut, makin diminum makin dahaga".

Dalam psikologi modern, inilah yang disebut para ahli sebagai hedonisme, "to 
have more and to eat more" (semakin banyak punya, dan semakin banyak makan). 
Perkara perut menjadi buncit sampai meletus tidak pernah dipikirkan. Pokoknya, 
mumpung masih dalam posisi untuk menggarong harta bangsa, libas terus, sampai 
masuk penjara atau mati sambil duduk, lalu dikuburkan dengan segala kebesaran 
upacara.

Pernah dulu seorang tokoh Pertamina malah dimakamkan di Kalibata sebagai 
pahlawan, ternyata kemudian diketahui cukup banyak makan harta BUMN itu, 
disimpan di luar negeri dan kemudian jadi rebutan di antara bini-bininya. Ada 
juga yang melalap uang negara dalam jumlah trilyun, lalu ditangkap, tetapi 
dengan mudah melarikan diri berkat sogokan yang diberikan kepada petugas 
penjara, tentu di belakangnya ada pejabat penting yang bermain.

Maka, berlakulah apa yang pernah dikatakan seorang teman: "Yang diburu 
(koruptor) dan yang memburu (aparat penegak hukum) sebenarnya bersahabat." 
Dalam situasi semacam ini, betapa sulitnya memperbaiki moral bangsa ini, karena 
aparat sekaligus merangkap jadi penjahat. Tentu banyak aparat yang baik dan 
jujur, tetapi tidak berdaya melawan "si peminum air laut ini".

Sebagian teman sudah putus harap, apakah ada gunanya berteriak, toh tidak ada 
telinga yang mau mendengar. Bukankah dulu telah berteriak seorang Hatta, 
seorang Wilopo, seorang Kasimo, seorang Hamka, seorang Mochtar Lubis, seorang 
Soedjatmoko, dengan wibawa dan integritas pribadinya yang prima, telah berujung 
dengan sebuah kesia-siaan untuk memulihkan martabat moral bangsa ini? Maka, 
tidaklah mengherankan rekaman Rosihan Anwar tentang pernyataan almarhum S. 
Tasrif: "Indonesia is beyond help!" (Indonesia tak dapat ditolong lagi), atau 
mengutip seorang teman alumnus ITB: "Ibarat kapal, Indonesia telah oleng!"

Dengan memberikan penghargaan tinggi kepada semua keprihatinan itu, saya setuju 
dengan lontaran Presiden SBY di depan rombongan Kopebang (Koalisi Penyelamatan 
Bangsa) dalam sebuah dialog selama dua jam di Istana Merdeka pada 29 Desember 
2006: "Kita harus bangkit." Tentu yang dimaksud agar kita bangkit dari segala 
keterpurukan, siuman dari segala dosa dan dusta selama ini yang telah 
menelantarkan sekitar 42 juta rakyat miskin di Indonesia tahun 2007 ini.

Ungkapan "kita harus bangkit" jelas jauh lebih dinamis dari ungkapan "kita akan 
bangkit", entah kapan, entah berapa puluh tahun lagi, sampai tubuh bangsa ini 
remuk disakiti anaknya sendiri, tanpa rasa salah dan dosa. Anak-anak amoral ini 
tidak semakin jera, karena keteladanan pemimpin sudah menjadi barang langka 
dalam lingkaran kultur yang serba kumuh.

Sebuah kebangkitan yang autentik hanyalah mungkin menjadi kenyataan jika 
dipimpin oleh negarawan yang punya visi jauh ke depan, melampaui umurnya dan 
umur anak cucunya. Yang terpikir olehnya bukan diri, bukan keturunannya, 
melainkan nasib 225 juta penumpang yang kini masih termangu-mangu di atas Kapal 
Republik yang lagi oleng ini, menanti tindakan perbaikan mendasar secara 
autentik pula. Biarlah peneguk air laut langsung terjun ke lautan lepas melalui 
proses hukum, agar penumpang lain yang tak berdosa selamat sampai ke dermaga 
tujuan Proklamasi Kemerdekaan berupa: "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat 
Indonesia", sebuah sila yang teramat agung dan mulia, tetapi masih saja 
dikhianati sampai hari ini.

Saya tidak yakin kebanyakan pemimpin formal sekarang ini mengacu pada sila itu 
dalam menyusun pola pembangunan di daerahnya masing-masing. Yang banyak berlaku 
adalah kenyataan ini: pihak eksekutif bergandengan tangan dengan kekuatan 
legislatif dalam membuat APBD berdasarkan kalkulasi pembagian rezeki 
masing-masing. Perkara sarana pendidikan dan kesehatan yang tak terurus tidak 
lagi singgah di otak para peneguk air laut ini.

Tetapi inilah Indonesia yang wajib kita bela dan kita perbaiki sekalipun akan 
bernasib seperti Bung Hatta dan nama-nama besar di atas. Apa boleh buat, jalan 
terjal yang berliku ini harus kita lalui dengan kepala tegak, jangan pikirkan 
entah akan terempas dan tersungkur dalam perjalanan. Bangsa ini tidak boleh 
tenggelam ke dasar lautan akibat kelalaian kita.

Ahmad Syafi'i Ma'arif
Cendekiawan muslim, guru besar sejarah
[Perspektif, Gatra Nomor 24 Beredar Kamis, 31 April 2007

Kirim email ke