Pertama, Bpk kelihatannya lupa sama kelompok jenderal Bang Ali Sadikin, petisi 50, itu masuk grup yang mana? Kedua yg sekarang pegang kuasa itu apa menurut Bpk banyak dukungannya di TNI, pur dan yang belum pur? Dan sama-sama dengan Golkar, mereka yg dipimpin pak SBY itu menurut Bpk bagaimana masih bisa terus melewati 2009, dan apa akan ditoleransi sama Belanda dan Eropah, juga AS? Apa dua grup besar itu bisa membawa Indonesia pelan-pelan ke demokrasi yang lebih mateng? Atau menurut Bpk siapa saja yang bisa menandingi mreka di pilpres dan pemilu 2009? Analisis cukupan bagus juga tapi lalumenurut Bpk kemana Indonesia harus melangkah? Mungkin dari Negeri Blanda lebih bisa melihat jernih ketimbang yang di dalam negeri serba susah keadaanya? TSL
tossi20 <[EMAIL PROTECTED]> wrote: http://www.ranesi.nl/arsipaktua/indonesia060905/geliat_baru_jen_pur070 516 Geliat Baru Para Jendral Pur Laporan Aboeprijadi Santoso dari Jakarta Radio Nederland 16-05-2007 Setelah Hariman Siregar Januari lalu gagal menggulirkan sejumlah jenderal purnawirawan - sebutlah 'jenderal pur' - untuk menantang mantan yunior mereka, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sekarang kelompok jendral-pur yang loyal maupun yang oposisi mulai bangkit. Yang loyal sarapan dengan presiden tanpa mengajak yang oposisi, sedangkan yang oposisi membangun dua partai baru. Semuanya berlomba retorika nasionalistis dan populistis. Tiga kelompok jenderal-pur Ada tiga macam kelompok jenderal-pur yang aktif berpolitik dewasa ini. Yang pertama duduk dalam pimpinan berbagai partai politik, ikut dalam pemerintahan SBY, atau berkampanye dalam pilkada. Yang kedua, mengaku kritis namun pada hakekatnya cukup loyal kepada pemerintahan SBY. Kelompok ini lebih terorganisir dan sering berdebat dalam acara yang biasa disebut "aah, cuma silahturahmi saja!". Sedangkan yang ketiga menggalang kekuatan, mengkonsolidasi kader dan menyiapkan partai politik baru - tentu, juga menyiapkan capres 2009. Di sekitar ketiganya, sejumlah jenderal-pur giat politik informal yang mendukung salah satu dari ketiga tsb. Mereka ini kabarnya menguasai sejumlah sumberdaya, baik secara legal, ilegal atau pun semi-legal, mulai dari bisnis perhotelan, cetak uang sampai pembalakan liar. Selasa lalu, kelompok kedua tadi, yaitu Forum Komunikasi Purnawirawan TNI menggelar acara sarapan dengan presiden yang berkepanjangan sampai lima jam. Syaiful Sulun, jubir kelompok ini mengaku mendukung SBY, namun mengkritik soal nasionalisme, kemiskinan dan amandemen UUD- 45. Yang menarik, sarapan lima jam itu tidak dihadiri pentolan jenderal-pur dari kelompok Persatuan Pensiunan ABRI, Pepabri, seperti Try Sutrisno, Wiranto dan Ryamizard Ryacudu. Bukan rahasia lagi, Wiranto mengelak bertemu SBY dalam resepsi- resepsi - sama saja dengan Megawati mengelak bertemu SBY. Bahkan, dulu, Mega berpapasan dengan Gus Dur, pendahulunya yang dijatuhkannya lewat jendral-pur Ryamizard, pun ogah. Makin dekat bulan-bulan pemilu, tenggang-rasa di antara para jenderal-pur makin kentara saja. Hanura Jenderal pur Wiranto yang baru-baru ini membantah pelanggaran berat HAM di Timor Timur, sekarang getol beretorika "hati nurani" yang membuat hati nurani korban Timor tersayat-sayat. Setelah didesak, Wiranto bersedia mengubah nama partainya dari "Partai Hati Nurani" menjadi "Partai Hati Nurani Rakyat", alias Hanura. Menurut Indro Tjahjono, salah satu ketua partai baru ini, Hanura lahir dari keprihatinan orang seperti Wiranto, yang ingin memperbarui reformasi dengan semangat menegakkan kedaulatan bangsa. Indro, yang 28 tahun lalu menulis buku "Indonesia di bawah sepatu Lars" (1979), beranggapan Hanura adalah eksperimen yang akan dipimpin kaum sipil untuk meninggalkan gaya kekuasaan sepatu lars, alias membuang militerisme. Jadi, Hanura yang dipimpin tiga jenderal-pur, Wiranto, Suadi Marassabessy dan Fachrul Rozi, juga mantan KASAD Jenderal Soebagio (jenderal yang dulu dipercaya sebagai satu-satunya jenderal yang tahu di mana Soeharto tidur, sekarang tinggal tepat di belakang rumah SBY di Cikeas), bersuara seolah progresif dan nasionalistis saja -- serupa banyak kaum nasionalistis-kiri Indonesia di Eropa, misalnya. Sindrom Kelompok lain, Jenderal Ryamizard Ryacudu dkk, juga tak kalah populistis, mereka ingin menyatukan lurah-lurah Nusantara dengan mengkonsolidasi birokrasi desa, untuk menggalang kekuatan suatu partai baru. Menurut pengamat militer Aris Santoso, semua ini terjadi, karena sindrom kekuasaan militer, tetapi juga karena orang makin tak percaya akan kemampuan partai-partai politik.