http://www.balipost.com/balipostcetak/2007/6/14/o2.htm
Semua komponen bangsa menjadi sibuk dan menghabiskan energi untuk melaksanakan pemilu sehingga lupa akan segalanya termasuk banyak kehilangan kesempatan untuk memikirkan kualitas kehidupan. Kualitas pendidikan, kesehatan, pengangguran dan berbagai aspek pembangunan lainnya akhirnya juga akan ikut terabaikan. Implikasi lain dari rumit dan beragamnya pemilu ini adalah alokasi anggaran pemerintah, baik melalui APBN maupun APBD. Untuk sistem pemilu yang cukup rumit ini perlu kita pertanyakan siapa sebenarnya yang berpesta? Karena masyarakat terbukti banyak kehilangan kesempatan untuk memikirkan dirinya seperti kesehatan, pendidikan, mata pencarian bahkan keselamatannya. -------------------------------------- Mahalnya Dunia Politik Indonesia Oleh I Nyoman Subanda DALAM dunia bisnis sering kita dengar bahwa mahal itu relatif. Artinya walaupun jumlah uang yang kita keluarkan banyak namun jika barang yang beli bagus/berkualitas atau jasa pelayanan yang kita terima memuaskan maka barang dan jasa tersebut akan menjadi murah. Namun sebaliknya walau jumlah uang yang kita keluarkan sedikit jika barang yang kita beli berkualitas jelek atau pelayanan jasa yang kita terima tidak memuaskan maka barang dan jasa tersebut bisa dikonotasikan mahal. Dalam dunia politik, dikotomi mahal dan murah juga bisa muncul dalam berbagai helatan atau event politik. Untuk mengetahui kegiatan politik itu mahal atau tidak dapat dilihat dari political effect yang dihasilkan apakah bermanfaat bagi masyarakat banyak atau elite. Saat ini politik Indonesia identik dengan politik mahal. Ada beberapa penyebab kenapa dunia politik Indonesia tergolong mahal. --------------------------- Sistem Pemilu Rumit Di era Reformasi ketika rakyat diberi kebebasan untuk memilih secara langsung (presiden, gubernur, bupati/wali kota) maka masyarakat dihadapkan kepada berbagai ragam pemilu yang banyak menyita perhatian, tenaga, waktu dan biaya. Saat ini masyarakat diwajibkan mengenal dan melaksanakan berbagai ragam pemilu yakni : pemilihan legislatif (DPR/DPRD), pilpres, pilgub, pilbup, pilkades bahkan mungkin pilkadus dan di Bali akan ditambah lagi dengan pemilihan kelian desa adat/pakraman. Dalam satu kegiatan pemilu saja tenaga, waktu dan biaya telah banyak terkuras karena berbagai rangkaian atau tahapan pemilu yang kita laksanakan memang cukup banyak, mulai dari penataan penduduk, verifikasi partai, kampanye partai dan lain sebagainya sampai dengan pelantikan anggota Dewan atau pejabat politik yang dipilih. Jika kita ingin melaksanakan pemilu yang baik dengan hasil yang berkualitas, maka tiap komponen bangsa harus melaksanakannya dengan sungguh-sungguh dengan mengarahkan segala potensi, daya dan upaya. Itu artinya semua komponen bangsa, masyarakat, pemerintah, TNI/POLRI dan lain-lain akan menjadi sibuk dan menghabiskan energi untuk melaksanakan pemilu sehingga lupa akan segalanya termasuk banyak kehilangan kesempatan untuk memikirkan kualitas kehidupan. Kualitas pendidikan, kesehatan, pengangguran dan berbagai aspek pembangunan lainnya akhirnya juga akan ikut terabaikan. Implikasi lain dari rumit dan beragamnya pemilu ini adalah alokasi anggaran pemerintah, baik melalui APBN maupun APBD. Para politisi memang sering mengatakan bahwa pemilu itu pesta demokrasi, namun jika seringnya berpesta akhirnya kita akan menjadi pemabuk bukan penikmat demokrasi. Untuk sistem pemilu yang cukup rumit ini perlu kita pertanyakan siapa sebenarnya yang berpesta? Karena masyarakat terbukti banyak kehilangan kesempatan untuk memikirkan dirinya seperti kesehatan, pendidikan, mata pencarian bahkan keselamatannya. Saatnya kita berpikir cerdas sehingga kita bisa 'merdeka' dan tidak 'dijajah' oleh sistem yang kita buat sendiri. Masih banyak yang perlu kita pikirkan di luar pemilu di era modernisasi dan globalisasi sekarang ini. Pemilu memang penting untuk menentukan wakil rakyat dan pemimpin di masa depan. Namun kesehatan, kesejahteraan, pendidikan penduduk yang dipimpin jauh lebih penting dan prinsip untuk kemajuan, citra serta harkat dan martabat bangsa yang kita cintai. ''Money Politics'' Salah satu penyebab mahalnya aktivitas politik di Indonesia adalah adanya tradisi money politics pada tiap event politik. Jual beli suara, membeli nomor urut jadi (kecil) dalam pemilu legislatif serta membeli kendaraan politik untuk menjadi calon kepala daerah (bupati/gubernur) merupakan contoh kongkret telah berjangkitnya penyakit money politics dalam dunia perpolitikan kita. Bagi kaum berduit, dengan mudah dapat memilih partai mana pun, nomor urut berapa pun serta dari daerah pemilihan mana pun untuk menjadi calon legislatif di level mana pun yang dia inginkan (DPR, DPRD Propinsi maupun DPRD Kabupaten), tanpa harus berkarier dan ikut membesarkan partai politik. Bahkan untuk menjadi pemimpin partai politik pun saat ini sangat memungkinkan dengan sejumlah uang tanpa harus menjadi kader partai sebelumnya. Demikian juga halnya dengan calon kepala daerah. Dengan tidak dimungkinkannya calon independen maju sebagai calon kepala daerah (harus melalui partai politik) maka partai politik mempunyai posisi tawar yang kuat untuk dijual kepada calon berduit sebagai 'kendaraan politik' dalam pilkada. Dengan posisi tawar yang kuat ini akhirnya kendaraan politik identik dengan kompensasi finansial yang besar. Dengan demikian suksesi kepemimpinan daerah lebih menjadi pertarungan sejumlah uang, bukan relevansi program yang ditawarkan dan kapabilitas calon. Sehebat apa pun kemampuan calon dan sebagus apa pun program yang ditawarkan jika tidak diimbangi dengan kemampuan finansial akan mustahil untuk maju menjadi calon kepala daerah. Praktik money politics yang telah mewabah ini tidak hanya membawa mahalnya dunia politik tetapi juga mengikis nilai-nilai demokrasi yang sedang kita rintis. Indikatornya adalah partai politik menjauh dari konstituen dan mendekat pada kaum berduit (borjuis). Penulis, adalah dosen Fisipol dan Pascasarjana Undiknas Denpasar ------------------------------ * Salah satu penyebab mahalnya aktivitas politik di Indonesia adalah adanya tradisi money politics pada tiap event politik. * Untuk menjadi pemimpin partai politik pun saat ini sangat memungkinkan dengan sejumlah uang tanpa harus menjadi kader partai sebelumnya. * Dengan tidak dimungkinkannya calon independen maju sebagai calon kepala daerah (harus melalui partai politik) maka partai politik mempunyai posisi tawar yang kuat untuk dijual kepada calon berduit sebagai 'kendaraan politik' dalam pilkada. * Dengan posisi tawar yang kuat akhirnya kendaraan politik identik dengan kompensasi finansial yang besar