Kalau orang Islam menyatakan bahwa Quran itu adalah wahyu Allah dan bukan produk budaya, tentunya orang lain seharusnya menghormati pendapat tersebut. Meskipun orang tersebut tidak harus percaya bahwa Quran itu wahyu Allah. Sebagaimana orang Islam juga menghargai keyakinan orang lain.
Upaya Abu Zayd untuk mendekonstruksi Quran yang diikuti oleh barisan JIL kurang laku bagi kebanyakan umat Islam, karena metode yang dipakai misalnya hermeneutika yang berasal dari Jerman itu memang tidak sepantasnya dipakai untuk Quran: "We should, however, be aware of the fact that German hermeneutics was not made for Islamic studies as such. It was originally a product of Protestant theology. Schleiermacher applied it to the Bible. Later on, Heidegger and his pupil Gadamer were deeply imbued with German literature and antiquity. When such people say "text" they mean a literary artifact, something aesthetically appealing, normally an ancient text which exists only in one version, say a tragedy by Sophocles, Plato's dialogues, a poem by Hölderlin. This is not necessarily so in Islamic studies." (Josef van Ess, profesor emeritus dan pakar sejarah teologi Islam dari Universitas Tuebingen, Jerman) Bahwa metode ini cocok untuk Bible, memang bisa jadi. Karena Quran dan Bible memiliki sejarah, textual integrity dan reliability level yang sangat jauh berbeda. Kaum liberalis pendukung Abu Zayd itu tak ada bedanya dengan liberalis Kristen yang mengatakan bahwa Jesus gay, homoseks OK. Di kompas kemarin, salah satu murid Abu Zayd juga bikin artikel yang menunjukkan seolah-olah Islam itu tidak menentang homoseks. (Sorry para homo disini). Malah sebelumnya mereka sudah membuat buku yang mengendorse perilaku homoseks, yang notabene dikutuk semua agama. Ini yang dibilang agama realistis? --- In mediacare@yahoogroups.com, Wielsma Baramuli <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Salah satu jalan untuk menolong agama menjadi agama pada dirinya (sesuai hakikatnya) adalah dengan memikirkan dan memahami agama secara lebih realistik. Pemikiran Abu Zayd yang memicu kontroversi ini adalah tawaran yang brilian untuk memahami agama secara realistik. Pendapat beliau berlaku bagi semua kitab suci agama > > Jelas bahwa semua agama dan kitab suci agama itu adalah produk budaya di mana agama itu terbentuk. Katakanlah ada dimensi wahyu dalam agama, namun tetap saja, bahwa wahyu itu dirumuskan dalam konteks budaya manusia di mana agama itu tebentuk. Jadi, memang harus diterima kebenaran bahwa tidak ada satu agamapun di dunia ini yang punya hak monopoli kebenaran. Kebenaran yang diyakini setiap agama mestinya saling melengkapi. Begitulah cara mengembalilkan agama pada dirinya sebagai agama. > > Salam, > wedekabe