Sumber: http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20070825185910
   
          Kredo Alternatif Wilson Lalengke – MESJID DI GEDUNG WAKIL RAKYAT: 
Etiskah?
Oleh : Wilson Lalengke 

25-Aug-2007, 18:59:10 WIB - [www.kabarindonesia.com]

      KabarIndonesia - Gambar di atas adalah sebuah foto gedung Dewan 
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Propinsi Riau yang terletak di Jl. Jendral 
Soedirman – Pekanbaru, dengan latar belakang sebuah masjid yang berada tepat di 
samping kanan, di dalam kompleks gedung dewan itu (inset: gambar utuh mesjid). 
Sebenarnya, tidak ada yang salah dari keberadaan gedung wakil rakyat bersama 
“Rumah Tuhan” itu dalam satu komleks. Juga sudah sangat jamak di pemandangan 
kita, bahwa keberadaan sebuah masjid dan mushala di dalam kompleks perkantoran 
di negeri ini adalah hal biasa dan justru didukung eksistensinya oleh banyak 
pihak. Sehingga tidak mengherankan jika di hampir semua kompleks perkantoran 
dan juga sekolah-sekolah, bahkan di Istana Negara, terdapat mesjid atau mushala.

Jika di daerah yang berpenduduk mayoritas Muslim, ada masjid-masjid di 
lingkungan perkantoran pemerintahnya, hal serupa mungkin juga terjadi di 
wilayah-wilayah yang dominan masyarakatnya penganut Kristen atau Hindu; 
perkantoran di sana memiliki gereja atau pura di sebelah gedungnya, seperti di 
Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Bali. Bila pun tidak kita jumpai 
gereja dan pura, atau tempat ibadat lainnya, boleh jadi hal ini disebabkan oleh 
intensitas kegiatan do’a atau sembahyang umatnya yang tidak sesering umat 
Muslim, sehingga tidak perlu dibangun gereja dan pura di dekat kantor.

Ditilik dari kegunaan tempat-tempat ibadah di dalam kompleks perkantoran 
pemerintah dan sebagian perkantoran swasta, hal ini tentulah amat positif, 
terutama bagi para pekerja yang dengan tekun dan rajin menjalankan ibadah 
sesuai dengan agama dan keyakinannya. Melalui penyediaan sarana ibadah seperti 
itu, kesempatan untuk melaksanakan “kewajiban agama” masing-masing pegawai 
dapat dipergunakan semaksimal mungkin dan lancar. Keberadaan bangunan keagamaan 
itu sekaligus juga memberi inspirasi dengan nuansa keagamaan yang kuat bagi 
sebuah kompleks perkantoran. Dari “interaksi” antar bangunan rumah ibadah di 
dalam kompleks dengan gedung-gedung perkantoran yang ada, tercipta harmonisasi 
yang bersifat religius, yang selanjutnya dapat membawa rasa damai dan 
ketentraman jiwa.

Implikasi yang ditimbulkan oleh keberadaan bangunan-bangunan keagamaan itu 
diharapkan akan “mewarnai” dan senantiasa “memelihara” rasa damai dan jiwa yang 
tentram dari seluruh “penghuni” kompleks, yakni para pegawai dan karyawan 
perkantoran dimaksud. Bukan hanya itu, diharapkan juga agar tingkah pola-laku 
setiap pegawai di kantor merupakan refleksi dari keberadaan kantornya yang 
memiliki rumah ibadah. Hasil real-nya tentu saja harus terlihat dari setiap 
sikap dan tindakan para pegawai yang penuh damai, tenang, murah senyum, penuh 
welas asih, dan seterusnya, sesuai tuntunan yang didapatkan dari ajaran agama.

Lebih jauh, keberadaan masjid atau mushala atau rumah ibadat lainnya di dalam 
kompleks perkantoran pemerintah akan mewarnai setiap kebijakan publik yang 
dihasilkan oleh para abdi negara yang bekerja di kantor berkenaan. Berbagai 
keputusan yang diambil selayaknya akan mengacu kepada koridor “moral agama” 
yang diyakininya, yakni antara lain sebagai manusia yang amanah, manusia yang 
bertaqwa, manusia yang memegang janji, manusia yang tidak pendusta, tidak 
pembohong, manusia yang penuh kasih sayang, manusia yang tidak suka menipu, 
manusia yang tidak doyan memiliki harta dengan jalan yang tidak halal, tidak 
suka korupsi, dan seterusnya. Agama yang disimbolkan dengan kehadiran rumah 
ibadat di sebelah kantor sang pegawai, terutama sang pejabat, seharusnya 
menjadi tuntunan bagi semua orang di perkantoran tersebut.

Kenyataannya, di lapangan kita jumpai tingkah pola-laku para anggota korps 
pegawai negeri kita, dari hampir semua level, ibarat jauh panggang dari api 
bila dibandingkan dengan idealisme yang dipaparkan di atas. Keberadaan masjid 
dan mushala tidak serta-merta mampu membentuk jiwa dan karakter pegawai 
kantoran pemerintahan di negeri ini menjadi baik dan patut dicontoh. Berbagai 
kasus korupsi yang terjadi, baik yang sudah terungkap dan diproses di 
pengadilan, maupun yang masih “menghilang” adalah bukti kongkrit yang seakan 
menjadi hantu gentayangan di seantero nusantara. “Korupsi berjamaah”, demikian 
istilah sebagian orang menyebut kegiatan pencurian uang negara yang notabene 
uang rakyat oleh para pegawai negeri di kantor-kantor pemerintah dan sebagian 
lagi terjadi di perusahaan-perusahaan swasta.

“Bekerjasamalah kamu satu sama lain”, kira-kira demikianlah salah satu intisari 
ajaran setiap agama kepada penganutnya. Anjuran bekerjasama dengan baik ini 
telah benar-benar diterapkan dengan nyaris sempurna oleh para pegawai. Namun 
kerjasama ini dilakukan di jalan yang salah, bertentangan dengan ketentuan 
ajaran lainnya dari agama-agama tersebut. Prinsip bekerjasama itu justru 
digunakan dalam merampok harta rakyat dengan jalan korupsi dalam berbagai 
bentuk dan besarannya. Kepemilikan ribuan “rekening liar” oleh berbagai 
departemen atas nama pribadi sang pejabat adalah bentuk lain dari korupsi 
berjamaah ini. Pemilik rekening liar itu sesungguhnya bekerja tidak sendirian. 
Mereka beroperasi layaknya para mafia atau kartel obat bius, bekerja dengan 
memanfaatkan jaringan kerjasama di antara sesama pejabat maupun dengan bawahan 
dan atasan. Keberadaan ribuan rekening liar itu mengindikasikan bahwa 
kepemilikan “rekening liar” adalah sesuatu yang wajar dan mungkin wajib 
dilakukan
 oleh para pejabat dan pegawai pemerintahan di Indonesia selama ini. Dan 
masing-masing pemilik rekening liar ini sudah “tahu-sama-tahu” kelakuan mereka 
satu sama lainnya.

Kembali ke persoalan masjid, mushala, atau rumah ibadah di komplek perkantoran 
pemerintah. Pada pemahaman awam masyarakat, gedung perkantoran pemerintah 
termasuk gedung dewan perwakilan seperti pada gambar di atas tadi, adalah 
fasilitas milik negara. Sebagai milik negara, semua gedung dan wilayah 
pekarangan gedung-gedung tersebut adalah milik publik, milik masyarakat, milik 
rakyat. Ketika kita bicara rakyat di negeri yang plural ini, maka mestinya 
diingat bahwa rakyat Indonesia berasal dari berbagai latar belakang yang 
berbeda satu dengan yang lain, termasuk berbeda agama dan kepercayaannya.

Sampai pada diskursus perbedaan agama dan kepercayaan, selanjutnya setiap kita 
seharusnya mampu melihat realitas tersebut dan menempatkannya pada koridor 
pluralitas di setiap sudut, setiap tempat, setiap waktu, dan setiap masa, 
termasuk pada setiap sisi kehidupan dan persoalan kenegaraan kita. Dengan kata 
lain, keberagaman manusia Indonesia harus menjadi pertimbangan dalam setiap 
pembuatan kebijakan publik di negeri ini. Hal tersebut sangat penting agar 
kenetralan institusi negara dapat terjaga, antara lain dengan memperlihatkan 
secara fisikal bahwa instansi pemerintah benar-benar milik semua golongan, 
tidak diperuntukkan bagi satu kelompok masyarakat saja.

Gedung perkantoran pemerintah adalah milik negara, yang juga berarti merupakan 
representasi negara dengan rakyat yang plural. Sehingga ketika pemerintah 
berkeinginan untuk membangun rumah ibadah di dalam kompleks perkantoran itu, 
mereka seharusnya tidak terjebak dalam kolom sektarianisme dengan hanya 
membangun masjid dan mushala gara-gara mayoritas pegawai adalah Muslim. 
Seseorang dapat saja beralasan bahwa gedung peribadatan adalah juga fasilitas 
umum, fasilitas publik yang dapat digunakan oleh sesiapa saja, dan itu berarti 
telah membantu masyarakat banyak dalam menjalankan aktifitas keagamaan dan 
keyakinannya. Artinya, dengan penyediaan tempat ibadah di perkantoran 
pemerintah dapat dipandang sebagai pemenuhan kebutuhan publik, kebutuhan 
bersama. Lagi, dengan kebijakan pembangunan rumah ibadat itu, berarti juga 
memanfaatkan “lahan tidur” yang ada di dalam area milik negara. Hal tersebut 
tidaklah salah. Namun inti persoalannya adalah ketika rumah ibadah yang 
dibangun di
 kompleks perkantoran pemerintah, yang adalah milik semua golongan itu, hanya 
dari golongan agama tertentu saja. Hal ini tentu saja merupakan sebuah 
kebijakan yang keliru: memanfaatkan fasilitas negara, apalagi secara permanen, 
untuk kepentingan sesuatu golongan tertentu saja.

Jika pemerintah tetap ingin membangun rumah ibadah, yang tentu saja dananya 
diambil dari uang rakyat yang beragam agamanya itu, maka dapat ditempuh 
beberapa alternatif semisal membangun rumah ibadah di luar pagar perkantoran. 
Bisa juga dengan membangun berbagai macam rumah ibadat dari berbagai agama di 
dalam kompleks perkantoran itu. Dengan demikian, pemerintah dapat menempatkan 
dirinya sebagai pengayom dan pekerja untuk rakyat yang tidak parsial, sektoral, 
dan sektarian. Jika pihak pemerintah saja, apalagi DPR, memiliki paradigma 
sektarian, bagaimana kita bisa mengharapkan sebuah masyarakat yang berpikiran 
universal?***

Wilson Lalengke - Pekanbaru

Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com 
Email: [EMAIL PROTECTED] 
Big News Today..!!! Let's see here www.kabarindonesia.com

   
   
   


Big News Today..!!! Let's see here www.kabarindonesia.com
       
---------------------------------
Are you a hoarder? Then you'll love Yahoo! Mail with unlimited storage.

Kirim email ke