TEMPO
Edisi. 26/XXXIIIIII/20 - 26 Agustus 2007

      Roger, Roger, Intel Sudah Terkepung

      Sidang peninjauan kembali kasus Munir bakal menyeret petinggi Badan 
Intelijen Negara (BIN). Polisi akan menghadirkan sejumlah saksi kunci yang 
memastikan keterlibatan lembaga spion itu. Di depan hakim, para saksi berencana 
membeberkan pelbagai skenario untuk melenyapkan sang aktivis. Pelan-pelan 
keping demi keping misteri itu terkumpul. Tapi bisakah puzzle raksasa itu 
akhirnya utuh dan sang dalang diseret masuk bui?  


DUA pria itu berbeda latar belakang. Yang satu mantan direktur utama sebuah 
perusahaan milik negara, yang lain bekas aktivis yang mengaku pernah jadi 
fotografer. Datang dari "gunung" dan "laut", keduanya pada Kamis pekan lalu 
bertemu dalam "belanga" bernama Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Di ruang 
tunggu lantai III mahkamah itu mereka dikelilingi enam polisi berpakaian safari 
dengan senapan M-16 terhunus: dua menjaga pintu, dua berdiri di tengah ruangan, 
dan dua lainnya mengawasi tangga. Puluhan anggota Satuan Tugas Antiteror 
bersiaga di luar ruang.


Pria pertama adalah Indra Setiawan, mantan Direktur Utama Garuda Indonesia. Di 
usia 56 tahun, wajahnya segar dan badannya tetap tegap meski sejak April lalu 
ditahan di Markas Besar Polri. Yang lainnya, pria gering 35 tahun, bernama 
Raden Muhammad Patma Anwar alias Ucok. Kepada polisi, ia mengaku sebagai agen 
muda Badan Intelijen Negara (BIN).


Sidang peninjauan kembali perkara pembunuhan aktivis Munir, yang digelar satu 
lantai di bawah ruang tunggu itu, rencananya bakal mempertemukan Indra dan Ucok 
dalam satu panggung. Keduanya sama-sama menyebut peran BIN dalam operasi 
pelenyapan Munir, 7 September tiga tahun silam. Sayang, menjelang makan siang, 
hakim menskors sidang atas permintaan tim pembela. Di bawah kawalan ketat 
polisi, keduanya digelandang meninggalkan mahkamah. 


Pengakuan keduanya menjadi dasar Kejaksaan Agung mengajukan peninjauan kembali 
atas perkara ini. Sebelumnya, Oktober tahun lalu, Mahkamah Agung membebaskan 
Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot senior Garuda terdakwa kasus ini, dari 
hukuman 14 tahun yang dijatuhkan pengadilan di bawahnya.



l l l


JULI 2004, dua bulan sebelum Munir mangkat. Di Restoran Bengawan Solo di lantai 
dasar Hotel Sahid, Jakarta, Indra Setiawan yang baru saja bertemu dengan 
beberapa kolega bergegas menuju meja Pollycarpus. Keduanya lalu bersalaman. Ia 
punya janji bertemu dengan sang pilot yang dikenalnya sejak 2003 itu. "Ia 
meminta waktu kepada saya untuk membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan 
operasi penerbangan," kata Indra kepada penyidik, 4 Juni lalu, seperti 
ditirukan sumber Tempo. 


Setelah berbasa-basi sejenak, Pollycarpus memaparkan pelbagai kelemahan operasi 
penerbangan Garuda. Menurut Indra, Pollycarpus, misalnya, menyebutkan banyaknya 
penumpang yang menghilangkan paspor agar bisa mencari suaka ke negara lain. 
Pollycarpus juga menyebut adanya penumpang gelap tanpa tiket serta awak pesawat 
yang kerap menyelundupkan barang terlarang.


Pollycarpus, masih menurut Indra kepada polisi, menyatakan bersedia membantu 
menangani masalah itu. Lalu ia menyodorkan amplop tertutup kepada Indra. Isinya 
surat berkop dan distempel Badan Intelijen Negara, berklasifikasi rahasia, yang 
ditujukan kepada Direktur Utama Garuda itu.


Menurut Indra, surat itu ditandatangani oleh M. As'ad, Wakil Kepala BIN, dan 
ditembuskan ke Kementerian BUMN. Di situ tertulis, Garuda merupakan perusahaan 
yang vital dan strategis sehingga keamanannya perlu ditingkatkan. "Untuk itu, 
Pak As'ad meminta agar Pollycarpus ikut diberi tugas sebagai aviation 
security," kata Indra kepada polisi. 


Kepada Tempo, Pollycarpus membantah adanya pertemuan itu. "Pilot dan direktur 
utama itu jaraknya sangat jauh, tak gampang saya bertemu Pak Indra. Apalagi 
bertemu di Hotel Sahid, bukan di kantor," ujarnya. Pertentangan bos dan anak 
buah ini membuat Mohammad Assegaf mundur dari posisinya sebagai pengacara 
Indra. Kini ia hanya mendampingi Pollycarpus.


Adapun pada 11 Agustus 2004 Indra mengeluarkan surat penugasan kepada 
Pollycarpus untuk menjadi staf perbantuan di unit corporate security. Ada empat 
tugas yang diberikan kepada Pollycarpus, antara lain memberikan rekomendasi 
solusi atas berbagai masalah, khususnya yang berkaitan dengan keamanan 
penerbangan dan urusan internal Garuda. Penugasan ini di luar kelaziman Garuda, 
karena diberikan tanpa melibatkan bagian personalia.


Berdasarkan surat itu, Pollycarpus mengubah jadwal penerbangan pada 6 September 
2004. Semula ia dijadwalkan terbang ke Peking, Cina, pada tanggal itu, namun 
pindah ke penerbangan Garuda 974 menuju Singapura. Pesawat inilah yang 
ditumpangi Munir dalam perjalanannya menuju Amsterdam, Belanda. Di atas 
pesawat, Pollycarpus menawarkan tempat duduk eksekutif miliknya kepada Munir 
yang bertiket ekonomi.


Polisi menuduh Pollycarpus memindahkan Munir ke kursi eksekutif agar sang 
aktivis bisa cepat turun ketika transit di Bandara Changi, Singapura. Dengan 
begitu, tersedia waktu lebih panjang untuk mengakhiri hidup Munir. Jika tetap 
di kursi kelas ekonomi, penumpang butuh 10-15 menit untuk keluar pesawat.


Di pengadilan, Pollycarpus mengaku segera menuju Hotel Novotel Apollo bersama 
awak lainnya setelah pesawat mendarat di Changi. Tapi, seperti tertulis dalam 
memori peninjauan kembali, ada dua saksi yang melihat ia tetap berada di ruang 
transit bersama Munir. Mereka adalah Asrini Utami Putri, mahasiswi Indonesia di 
Jerman penumpang kursi 2J, dan Raymond "Ongen" Latuihamallo, pemusik yang duduk 
di kursi 50H.


Kepada polisi, Asrini mengatakan melihat Pollycarpus, Munir, dan Ongen di 
Coffee Bean. Mereka duduk menghadap ruang merokok dan money changer. Adapun 
Ongen menyatakan melihat Pollycarpus meninggalkan tempat pemesanan sambil 
membawa dua gelas minuman. Setelah itu, menurut Ongen, Pollycarpus dan Munir 
berbincang-bincang sambil minum.


Keterangan Asrini dan Ongen itu juga dijadikan bukti baru oleh kejaksaan untuk 
menjerat Pollycarpus. Jamuan di Coffee Bean itu diduga sebagai saat masuknya 
racun arsenik ke tubuh Munir. Itu sebabnya, setengah jam kemudian, ketika 
pesawat hendak lepas landas menuju Amsterdam, ia mulai merasa mual. 


Di ketinggian 40 ribu kaki di langit Rumania, tujuh jam setelah pesawat 
mengudara, Munir tergolek di lantai beralaskan selimut. Dari bibirnya keluar 
air liur tak berbusa. Telapak tangannya dingin dan membiru. Malaikat menjemput 
ketika ia jauh di angkasa.



l l l


TELEPON Raden Patma berdering pada 7 September 2004 sore. Seorang aktivis 
mengabarkan bahwa Munir tewas di dalam pesawat Garuda. Ia segera meneruskan 
kabar ini ke Sentot Waluyo, seorang agen muda BIN, yang dijawab rekannya itu, 
"Biarin Munir meninggal." 


"Ruang kerja Pak Sentot di Gedung K Direktorat 22 lantai 2, dekat toilet, dekat 
dengan kandang rusa. Saya sering membuat laporan di tempat kerjanya," kata 
Raden alias Ucok kepada polisi, seperti disampaikan sumber Tempo. Ia berusaha 
meyakinkan polisi bahwa dirinya benar-benar mengenal lingkungan BIN.


Ucok tak kaget atas kematian Munir. Kepada polisi, ia mengaku sudah terlibat 
sebelumnya dengan rencana pembunuhan Munir. Caranya, dengan pengamatan dan 
monitor, meneror, menyantet, dan meracun. "Munir harus dibunuh sebelum 
pemilihan presiden karena membahayakan," tuturnya, seperti tertulis dalam 
berita acara pemeriksaan polisi.


Operasi itu, menurut Ucok, melibatkan antara lain Manunggal Maladi, Deputi 
Kepala BIN Urusan Penyelidikan Dalam Negeri, dan Wahyu Saronto, Deputi Urusan 
Kontra-Intelijen. Ia bahkan mengatakan pernah bersama-sama Wahyu Saronto dan 
Sentot mencari rumah paranormal Ki Gendeng Pamungkas di Baranangsiang, Bogor. 
"Tapi tidak bertemu," katanya. Kepada Koran Tempo, Februari 2005, Manunggal 
membenarkan mengenal Sentot dan Ucok. "Sentot memang anak buah saya. Tapi 
secara kelembagaan baik saya maupun Sentot tidak berencana melenyapkan Munir. 
Ucok hanya informan dari Sentot. Pada 2003, dia pernah berniat mengganggu 
Munir. Tapi Sentot melarangnya," kata Manunggal. Adapun Wahyu Saronto tak bisa 
dikontak untuk dimintai konfirmasi.


Kepala BIN Syamsir Siregar membantah pengakuan Ucok. "Ia bukan orang BIN. 
Tangkap saja dia, bikin cerita saja," ujarnya menegaskan. Abdullah Makhmud 
Hendropriyono, Kepala BIN pada September 2004, juga menyangkal. 
"Santet-menyantet tidak ada dalam kultur kami," ujarnya.


Nama Ucok dan Sentot sebenarnya sudah muncul dalam pembicaraan internal tim 
pencari fakta (TPF) kasus Munir, sebuah badan yang didirikan Presiden Susilo 
Bambang Yudhoyono untuk menuntaskan misteri itu. Syahdan, seorang pensiunan 
jenderal yang kini jadi petinggi negara membocorkan kepada TPF empat skenario 
yang disiapkan intelijen untuk membunuh Munir. Keempatnya adalah meracun, 
menyantet, menabrak, mengebom aktivis itu. Sayangnya, "Kami tidak dapat 
mengidentifikasi secara konkret skenario itu, termasuk orang-orang yang disebut 
terlibat," kata Asmara Nababan, wakil ketua tim pencari fakta. Apalagi saat itu 
polisi masih "ogah-ogahan" menuntaskan kasus Munir. Walhasil, nama-nama baru 
itu lenyap begitu saja.


Sumber Tempo di BIN menyebutkan, Ucok direkrut oleh Sentot yang waktu itu KAUP 
I BIN. Tapi, menurut sumber itu, kredibilitas Ucok diragukan karena beberapa 
kali mengusulkan operasi palsu kepada atasannya. Untuk menangkis pengakuan 
Ucok, BIN kabarnya akan mengirimkan kesaksian tertulis Sentot kepada polisi. Di 
mana Sentot sekarang berada? Tak jelas. Seorang sumber mengabarkan Sentot kini 
bertugas di Gunung Kidul, Yogyakarta. Tapi pelacakan Tempo di kawasan itu hanya 
menemui jalan buntu. Adapun Ucok, yang ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta 
Pusat, menolak berkomentar. Ia mengunci bibir ketika Tempo melempar pertanyaan.



l l l


INDRA Setiawan mulai panik dua bulan setelah kematian Munir, ketika sang 
aktivis dipastikan tewas karena racun arsenik. Kepada Pollycarpus, ia 
mengatakan ingin bertemu dan berkenalan dengan M. As'ad. "Baik, Pak, nanti saya 
hubungi dan mintakan waktu untuk Pak Indra agar bisa bertemu," kata Polly 
seperti dikutipkan Indra kepada polisi.


Beberapa hari setelah itu, Pollycarpus mengabarkan bahwa Indra akan diterima di 
kantor BIN, Pejaten Timur, Jakarta Selatan. Di markas spion itu, Indra mengaku 
ditemui seseorang yang belakangan ia ketahui sebagai Muchdi Purwoprandjono, 
Deputi Kepala BIN Urusan Penggalangan. Baru beberapa saat kemudian As'ad ikut 
bergabung.


Indra mengatakan sebenarnya ingin menanyakan kepada As'ad soal surat penugasan 
untuk Pollycarpus. Tapi, karena ada Muchdi, ia membatalkan niatnya. "Saya tidak 
kenal dengan beliau, jadi saya tidak menyinggung surat untuk Pollycarpus itu," 
kata Indra menjelaskan.


Setelah diperiksa polisi sebagai saksi pada awal 2005, Indra menyatakan pernah 
menghubungi As'ad. Ia bertanya, "Pak, kok jadi begini? Garuda dibawa-bawa." 
Menurut Indra, As'ad menjawab, "Nggak apa-apa, tenang saja. Pak Indra nggak 
usah khawatir, nanti bisa diselesaikan."


Kepada polisi, Indra mengatakan juga pernah menghubungi As'ad menanyakan arsip 
surat yang dikirim kepadanya. Pertanyaan itu dijawab As'ad dengan janji untuk 
mengecek. Beberapa hari kemudian, ketika bertemu di Hotel Shangri-La, Jakarta, 
As'ad memastikan kepada Indra bahwa arsip surat soal Polly sudah dimusnahkan.


Indra juga mengaku beberapa kali menelepon Muchdi-ketika para pejabat Garuda 
diperiksa, tatkala Pollycarpus ditahan, dan sewaktu Pollycarpus dituntut 
hukuman seumur hidup. Menurut Indra, semuanya dijawab Muchdi dengan kalem, 
"Nggak apa-apa, nanti bisa selesai, Pak Indra."


Di mana surat rahasia dari As'ad kepada Indra Setiawan itu disimpan? Menurut 
Indra, surat itu ikut raib pada saat mobil BMW-nya dibobol maling di Hotel 
Sahid, Jumat 31 Desember 2004. Ia mengatakan, surat itu disimpan di dalam tas, 
ditumpuk dengan aneka tagihan, majalah, alat tulis, juga tongkat pendek dan 
batu-batuan. 


Diterima Indra dari Pollycarpus di Hotel Sahid, surat itu hilang di hotel yang 
sama. Hotel bintang lima itu memang tempat favorit Indra untuk menerima 
koleganya. "Ia datang ke tempat itu dua-tiga kali dalam sepekan," kata 
Antawirya J. Dipodiputro, pengacaranya.


Seorang anggota satuan pengamanan Hotel Sahid yang bertugas pada tanggal itu 
membenarkan adanya pencurian. "Saya langsung menghubungi Polsek Tanah Abang, 
karena itu tindakan kriminal. Selain polisi, petugas keamanan dari Garuda yang 
dihubungi Pak Indra kemudian juga datang," katanya kepada Tempo.


Sayang, Tempo belum berhasil memperoleh konfirmasi dari As'ad dan Muchdi. 
Telepon keduanya tak diangkat ketika dikontak. Orang-orang yang dikenal dekat 
dengan mereka pun tak bersedia menghubungkan Tempo dengan keduanya. Suara 
bantahan datang dari M. Luthfie Hakim, penasihat hukum Muchdi P.R. "Dari Pak 
Muchdi saya dengar bahwa pertemuan itu tidak pernah ada," katanya. Kepala BIN 
Syamsir Siregar bersuara lebih nyaring. "Surat dari Pak As'ad itu tidak ada. 
Masak, kami berani memerintahkan (direktur utama) BUMN," katanya.


Kesaksian Indra dan Ucok yang menjadi senjata andalan jaksa dipastikan akan 
mendapat tangkisan dari para pejabat BIN dan pengacara Pollycarpus di 
pengadilan. Untuk sementara, mereka juga akan terus dikelilingi beberapa lelaki 
dengan M-16 terhunus.


Budi Setyarso

Kirim email ke