TEMPO
Edisi. 26/XXXIIIIII/20 - 26 Agustus 2007 

Pertaruhan Terakhir

KEPADA Munir kita berutang: ia mangkat 7 September 2004 dan hampir tiga tahun 
setelah itu belum terang siapa pembunuh sang aktivis.


Kini ada penemuan baru. Untuk sementara, mungkin, bolehlah kita menaruh harap. 
Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali atas kasus Pollycarpus Budihari 
Priyanto, pilot Garuda yang pernah dituding meracun Munir. Sebelumnya, oleh 
Mahkamah Agung, Polly dibebaskan dari segala tuduhan. 


Dibacakan di pengadilan pekan lalu, memori Peninjauan Kembali itu disusun untuk 
menjelaskan dua hal. Pertama, Kejaksaan ingin meyakinkan Mahkamah Agung bahwa 
Pollylah pembunuh Munir. Dasarnya adalah keterangan Raymond J.J. Latuihamallo 
alias Ongen, penumpang pesawat Garuda GA 974 yang bersama Munir terbang dari 
Jakarta menuju Belanda pada malam jahanam itu. Ketika transit di Bandara Changi 
Singapura, di restoran Coffee Bean, Ongen melihat Polly membawa dua gelas 
minuman: satu untuknya dan satu lagi untuk Munir. Setelah Munir tewas, 
laboratorium forensik Amerika Serikat memastikan racun masuk ke tubuhnya ketika 
ia singgah di Changi. Gelas yang disajikan Polly diduga kejaksaan telah 
mengantarkan Munir ke alam baka. 


Kedua, Kejaksaan ingin mengatakan bahwa Badan Intelijen Negara (BIN) secara 
institusional terlibat dalam operasi melenyapkan Munir. Jaksa, misalnya, 
menyertakan keterangan bekas Direktur Utama Garuda Indra Setiawan bahwa 
perintah untuk menjadikan Pollycarpus sebagai petugas pengamanan pesawat, agar 
ia bisa satu pesawat dengan Munir, datang dari BIN. Di sini nama Wakil Kepala 
BIN, M. As'ad, muncul. Dalam pengadilan sebelumnya, Polly diketahui juga 
bertelepon-teleponan dengan Muchdi P.R.-ketika itu ia Deputi V BIN. Setelah 
kematian Munir, Indra juga pernah bertemu petinggi BIN untuk membicarakan 
"langkah selanjutnya". 


Dari pemeriksaan terhadap agen BIN, Raden Muhammad Patma Anwar, diperoleh 
keterangan bahwa ia pernah melihat Polly di lapangan parkir lembaga intel itu. 
Dalam pengadilan sebelumnya, Polly selalu membantah punya hubungan dengan 
lembaga telik sandi tersebut. 


Dari Patma pula diperoleh informasi bahwa BIN menyiapkan lebih dari satu 
skenario untuk menamatkan sang aktivis. Patma, misalnya, diminta oleh agen 
bernama Sentot Waluyo untuk meledakkan mobil yang dikendarai Munir, menyantet 
atau meracun lelaki kurus itu. Namun, belum lagi rencana itu terlaksana, Munir 
sudah keburu tewas. Memori Peninjauan Kembali mencatat bahwa baik Patma maupun 
Sentot tak tahu-menahu tentang racun di Bandara Changi tersebut. Dalam 
keterangannya kepada polisi, Patma menyebut aksinya diketahui Manunggal Maladi 
dan Wahyu Saronto, Deputi II dan Deputi IV Badan Intelijen Negara. 


Memori Peninjauan Kembali itu memang tidak sepenuhnya sempurna. Ada lubang 
kecil di sana-sini. Kesaksian Ongen bahwa ia duduk di meja yang berbeda dengan 
Polly dan Munir di Coffee Bean dibantah oleh Asrini Utami Putri, penumpang GA 
974 lainnya. Menurut Asrini, ia melihat ketiganya duduk semeja. Kejaksaan 
tampaknya ingin mengedepankan kesaksian Ongen, yang melihat Polly membawa dua 
gelas, seraya mengabaikan kesaksian Asrini. Anehnya, entah tak sengaja atau 
kejaksaan menyimpan skenario lain, keterangan Asrini itu juga dicantumkan di 
memori PK. 


Katakanlah Ongen benar-dan ia konsisten dengan keterangan itu hingga kelak ia 
hadir di pengadilan-tapi kejaksaan praktis tak punya peluru lain. Mereka, 
misalnya, tak punya barang bukti, misalkan gelas atau sisa racun. Itu sebabnya 
kejaksaan memilih menggunakan model sebab-akibat (conditio sine quanon) untuk 
menjerat Pollycarpus. Maksudnya, kejaksaan menguraikan aspek "sebab" untuk 
menjelaskan unsur "akibat", yakni tewasnya Munir. 


Selesai? Belum. Memori PK juga memunculkan sejumlah pertanyaan, misalnya 
mengapa keterangan Patma baru dimunculkan sekarang, padahal kepada polisi ia 
telah bersaksi pada Juni 2005. Peninjauan Kembali juga tidak mengelaborasi 
motif pembunuhan itu-sesuatu yang wajib ada agar Polly bisa dijerat. Sentot, 
seperti dikutip Patma, hanya menyebutkan, "Munir harus mati karena sebentar 
lagi pemilihan presiden".


Dengan memori PK yang lusuh itu, kejaksaan bergerak-sesuatu yang, bagaimanapun, 
harus kita sokong, karena untuk mengungkap kematian Munir tampaknya itulah 
satu-satu jalan. Tapi ini sebuah usaha dengan konsekuensi besar: jika kejaksaan 
gagal menjerat Polly, praktis kematian Munir akan selamanya menjadi misteri. 
Peninjauan Kembali adalah upaya hukum terakhir. Polly tak bisa diadili dua kali 
untuk kasus yang sama. Menjerat tersangka lain-Indra Setiawan, Patma, atau 
petinggi BIN lainnya-sulit dilakukan jika pelaku utama pembunuhan itu tidak 
ditemukan.


Maka, pekan-pekan depan ini kita akan menyaksikan sebuah pengadilan penting 
yang seru sekaligus mencemaskan. Sebuah pertaruhan: mampukah misteri pembunuhan 
Munir diungkapkan, mampukah kita melunaskan utang kepada mendiang.

Kirim email ke