GALAMEDIA
SENIN, 20 AGUSTUS 2007

      Perjalanan Pahit Anak-anak Korban G-30-S/PKI (6)  
      Akhirnya, Aku Sanggup
      Membuktikan Kemampuanku  
     
      PADA kisah yang lalu diceritakan, untuk mempertahankan hidupnya, Elvi 
terpaksa menjadi pembantu rumah tangga saudara-saudaranya sambil sekolah. 
Selepas sekolah, dia menikah dalam usia dini. Rumah tangganya tidak bahagia dan 
dia dituduh sebagai biang kerok kehancuran rumah tangganya itu. Setelah 
menjanda, Elvi menikah lagi. Kembali ujian menimpanya. Ia difitnah telah 
berzina dengan pria lain. Selesaikan sampai di situ penderitaannya? Inilah 
akhir kisahnya yang ditulis M. rfan Ar.  
     
RUPANYA nasib baik belum berpihak padaku. Perjalanan hidupku sejak kecil hingga 
kini selalu diwarnai penderitaan. Rumah tanggaku dengan suamiku yang kedua 
terus-menerus diguncang fitnah. Bahkan mertuaku sempat menyumpahiku, Aing mah 
cadu kaunggahan ku si Elvi (Saya bersumpah tidak ingin si Elvi menginjakkan 
kaki ke rumahku).

Pada puncak penderitaan, rumah tanggaku betul-betul hancur. Kami bercerai 
setelah punya anak tiga. Ini sangat menyakitkan. Aku bercerai secara 
menyakitkan, setelah menjadi janda lebih menderita lagi. Semua orang 
mencemoohkanku.

Ah, dasar anak PKI. Orangtuanya PKI, anaknya pun PKI. Susah diajak berbuat 
baik. Saya yakin sampai kapan pun dia tidak akan pernah baik. Begitu mereka 
bicara, termasuk saudara-saudaraku.

Aku menjerit dalam batin. Air mataku tak bisa lagi keluar. Mengapa kesalahan 
orangtuaku selalu ditimpakan padaku. Kuakui, ayahku memang seorang anggota PKI, 
tapi aku bukan PKI, aku tidak pernah tahu apa yang diperbuat ayahku. Mengapa 
mereka selalu mengaitkanku dengan kesalahan orangtuaku? Aku merasa orang-orang 
itu tidak adil. Mereka tidak pernah berintrospeksi, apa yang akan mereka 
rasakan seandainya mereka berada dalam posisiku? Aku juga tak habis pikir, 
mengapa aku dipandang begitu hina hanya karena ayahku terlibat partai 
terlarang? Mengapa aku dianggap sebagai sampah hanya secara kebetulan aku 
adalah anak dari anggota PKI? Ya Allah, kapan akan Kau akhiri ujian ini?

Akibat perceraian, anak-anakku juga tercerai-berai. Si cikal tinggal bersama 
mertuaku, yang kedua tinggal bersama Kang Praja, dan yang ketiga tinggal 
bersama ayah ibuku (mereka menikah kembali setelah ayahku pulang dari Pulau 
Buru). Sementara aku pergi ke Bandung untuk mencari pekerjaaan. Alhamdulillah 
aku diterima di sebuah perusahaan garmen karena sebelumnya aku sempat kursus 
menjahit di rumah bibiku (dari ibuku). Ia memang agak berbeda dari yang lain, 
meski mengaku sangat benci pada ayahku, tapi tidak pada diriku. Selama enam 
bulan tinggal bersamanya, aku disuruhnya kursus menjahit hingga mahir, sebagai 
tanda terima kasih aku menjadi pembantu di rumahnya. Nah, dengan bekal itulah 
aku akhirnya diterima bekerja di Bandung.

Ketika aku di Bandung, ibuku meninggal. Saudara-saudara dari pihak ibuku 
kembali menghujatku, bahkan aku dituduh sebagai penipu karena terlambat 
mengembalikan pinjaman uang untuk biaya perawatan ibuku. Lagi-lagi kata, Dasar 
anak PKI ditujukan padaku.

Suatu ketika mantan suamiku mengajakku rujuk. Kupikirkan secara matang dan 
mendalam kebaikan dan keburukannya. Akhirnya, ajakannya kuterima. Kami menikah 
lagi, demi masa depan anak-anakku. Aku tak ingin mereka telantar seperti aku 
yang telantar sejak kecil.

Aku bertekad akan mengurus dan mendidik anak-anakku secara baik sesuai dengan 
ajaran agama agar mereka tumbuh menjadi anak yang soleh, bertanggung jawab, dan 
memiliki masa depan yang cerah. Aku akan mengusahakan pendidikan mereka 
setinggi mungkin, karena aku merasakan dengan rendahnya pendidikan agak susah 
untuk mengubah nasib.

Niat baikku ini disambut oleh suamiku. Kami bekerja sesuai dengan kecakapan 
kami. Tetapi saudara-saudaraku, baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, 
hanya mencibir dan berkata sinis mendengar tekadku untuk menyekolahkan 
anak-anakku itu.

Sekolah itu mahal, orang yang banyak uang saja kewalahan, apalagi yang kurang 
mampu, kata mereka. 

Aku tahu kata-kata itu ditujukan padaku, tapi aku tak peduli. Aku ingin 
membuktikan peda mereka bahwa aku dan suamiku yang hanya tamatan SD mampu 
menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi.

Meskipun dengan susah payah, alhamdulillah, anak-anakku dapat menyelesaikan 
sekolah dengan baik. Mereka juga tumbuh menjadi anak-anak yang soleh, berakhlak 
mulia, dan hormat pada orangtua. Kini mereka telah menjadi sarjana dan bekerja 
sesuai dengan kemampuan dan ilmu pengetahuan mereka.

Saudara-saudaraku yang semula mencibir dan menganggap remeh akhirnya mengakui 
dan terlihat kagum, meskipun tetap menyembunyikan kekaguman mereka. Aku merasa 
puas dan bangga telah menunjukkan kemampuan kami. Yang lebih bangga, ternyata 
aku yang mereka hina sukses menjadi orangtua dalam mendidik anak, sementara 
mereka yang terhormat dan ningrat serta kaya raya banyak yang gagal mendidik 
anak mereka.

Segala puji bagim-Mu, ya Allah. Kau telah memberikan kebahagiaan yang tiada 
tara padaku. Aku telah menjadi orang sukses, meskipun harus mengalami 
perjalanan yang sulit dan menyakitkan. Berkahilah hidup kami di dunia dan di 
akhirat. Jangan Engkau cabut kebahagiaan ini dari kami dan jangan pula Engkau 
jadikan kami menjadi orang yang sombong, kataku dalam doa.(tamat)*

Kirim email ke