http://www.antara.co.id/arc/2007/8/20/dilema-wartawan-pelapor-korupsi/

20/08/07 12:00

Dilema Wartawan Pelapor Korupsi
Oleh Edy M Ya`kub

Surabaya (ANTARA News) - Almarhum Herlyanto (40) adalah wartawan lepas yang 
ditemukan tewas di kawasan hutan jati Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Kleneng, 
Desa Tarokan, Kecamatan Banyuanyar, Probolinggo pada 29 April 2006.

Kematian itu berlatar belakang pemberitaan dugaan korupsi plengseng sungai yang 
baru saja dibangun di Desa Tulupari, Kecamatan Tiris, yang kini sudah rusak.

Almarhum juga memberitakan dugaan korupsi dana biaya operasional sekolah (BOS) 
di sebuah SD di Kecamatan Tiris yang dilakukan pejabat dan tokoh masyarakat 
setempat.

Nasib malang Herlyanto membuktikan dilema bagi seorang wartawan untuk 
memberitakan kasus-kasus korupsi, bahkan penjara juga menunggu akibat pelaporan 
yang dituduh sebagai pencemaran nama baik.

"Wartawan tidak dilindungi sebagai pelapor kasus korupsi, karena UU 13/2006 
tentang Perlindungan Saksi dan Korban hanya melindungi saksi yang menjadi 
korban. Itu bukan kata saya, tapi kata Undang-undang," kata Penasehat Komisi 
Pemberantasan Korupsi (KPK) H Abdullah Hehamahua.

Ketika berbicara di hadapan sekitar 30 wartawan Surabaya yang menjadi peserta 
"Lokakarya Antikorupsi Bagi Jurnalis" di Surabaya (14/8), ia menjelaskan 
wartawan sebagai pelapor tetap dapat selamat bila bersikap profesional.

"Saya yakin, kalau wartawan tetap memakai kode etik, bersikap profesional dan 
memiliki integritas, maka dia akan selamat juga," katanya.

Bahkan, katanya, UU 13/2006 juga menguntungkan wartawan yang memberitakan kasus 
korupsi yakni wartawan sebagai pelapor korupsi dapat memperoleh dua per-mil 
dari uang negara yang dikorup sebagai penghargaan.

Namun, sikap profesional itu bukan perkara mudah. Ketua PWI Jatim Dhimam Abror 
mengakui bahwa wartawan memang rawan dengan gugatan, karena mereka seringkali 
menerima data dari LSM tanpa melakukan konfirmasi.

"Wartawan seringkali melakukan konfirmasi untuk sekedar menggugurkan kewajiban, 
karena itu konfirmasi seringkali diabaikan atau hanya ditulis bahwa narasumber 
tak dapat dihubungi atau handphone-nya tidak aktif ketika dikonfirmasi," 
katanya tersenyum.

Namun, kata wartawan senior di Surabaya itu, ancaman terhadap wartawan itu 
bukan hanya datang dari koruptor yang merasa dicemarkan nama baiknya, melainkan 
juga dari pemodal pemilik media massa yang terkait dengan iklan.

"Diakui atau tidak, pers sekarang sudah bersifat oligarkhis, karena ribuan 
media massa yang ada di Indonesia hanya dimiliki empat orang yakni seorang di 
Surabaya dan tiga orang di Jakarta, sehingga wartawan mungkin tak ditelepon 
pejabat, tapi ditegur pemodal," katanya.

Mitra Strategis

Kendati berada dalam dilema yang tidak sederhana, sosiolog Unair Surabaya Prof 
DR Hotman Siahaan MA menilai wartawan termasuk mitra strategis dalam 
pemberantasan korupsi.

"Tapi ada yang lebih strategis dalam pemberantasan korupsi yakni reformasi 
birokrasi, karena struktur korupsi bersumber dari birokrasi yang mewarisi 
sistem sejak era kerajaan hingga penjajahan Belanda," ucapnya.

Menurut dia, reformasi sudah mulai berjalan, termasuk di kalangan pers, tapi 
kalangan birokrasi justru "jalan di tempat" akibat struktur korupsi yang 
sistemik di dalam birokrasi.

"Kuncinya, birokrasi kita lahir dari masyarakat yang belum dapat membedakan 
antara masalah privat dan publik, sehingga mereka mengalami konflik 
kepentingan, misalnya kasus Lapindo," tegasnya.

Oleh karena itu, pers hendaknya dapat mendorong reformasi di tubuh birokrasi 
agar terjadi upaya pemberantasan korupsi yang lebih optimal di masa mendatang.

"Hal yang mungkin dapat dilakukan pers antara lain mendorong pelayanan publik 
dilakukan dengan satu pintu untuk mengurangi banyak meja, kemudian mendorong 
pelayanan publik untuk dilakukan dengan kuitansi yang jelas," katanya.

Pengakuan senada juga ditegaskan Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) H 
Abdullah Hehamahua.

Menurut dia, wartawan merupakan mitra strategis dari KPK untuk memberantas 
korupsi melalui pelaporan kasus korupsi, karena itu KPK menjalin hubungan 
kemitraan dengan pers untuk mengungkap kasus-kasus korupsi.

"Kemitraan itu antara lain kami lakukan juga dengan mengeluarkan surat edaran 
yang strategis kepada polisi dan jaksa untuk menyelamatkan rekan-rekan 
wartawan," katanya.

Surat edaran itu, katanya, meminta polisi dan jaksa agar pelaku korupsi yang 
menuduh wartawan melakukan pencemaran nama baik itu disidang lebih dulu.

Dengan cara itu, katanya, jika koruptor terlapor terbukti melakukan korupsi, 
maka kasus pencemaran nama baik yang melibatkan wartawan dapat dihentikan.

"Tapi, kalau koruptor yang disidang tidak terbukti melakukan korupsi, maka 
kasus pencemaran nama baik dapat dilanjutkan," ungkap mantan wartawan itu.

Kirim email ke