Bait terakhir "Puisi untuk Rakyat" karya Tuan Andrinof di bawah, mengingatkan saya kepada puisi Rendra "Sajak Orang Kepanasan". Sangat persis daya ungkapnya! Kenapa orisinalitas tidak diperjuangkan, ya? Baca sajak berikut. SAJAK ORANG KEPANASAN Karena kami makan akar dan terigu menumpuk di gudangmu ... Karena kami hidup berhimpitan dan ruangmu berlebihan ... maka kita bukan sekutu. Karena kami kucel dan kamu gemerlepan ... Karena kami sumpeg dan kami mengunci pintu ... maka kami mencurigaimu. Karena kami terlantar di jalan dan kamu memiliki keteduhan ... Karena kami kebanjiran dan kamu berpesta di kapal pesiar ... maka kami tidak menyukaimu. Karena kami dibungkam dan kamu nrocos bicara ... Karena kami diancam dan kamu memaksakan kekuasaan ... maka kami bilang TIDAK kepadamu. Karena kami tidak boleh memilih dan kamu bebas berencana ... Karena kami cuma bersandal dan kamu bebas memakai senapan ... Karena kami harus sopan dan kamu punya penjara ... maka TIDAK dan TIDAK kepadamu. Karena kami arus kali dan kamu batu tanpa hati maka air kali akan mengikis batu. Rendra Universitas Indonesia, Salemba 1 Desember 1979 Salam kreatif, Lee Ben
Andrinof Chaniago <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Serial Puisi-puisi Kritik Politik Oleh Andrinof A Chaniago Senjata (untuk Dek Pendi alias Effendi Gazali di Republik Mimpi) Semenjak ranah politik tidak lagi berbau mesiu rakyat memang tidak lagi perlu waspada pada desing peluru karena senjata tidak lagi leluasa membuat luka ataupun menjemput nyawa Tetapi janganlah lekas puas hanya karena politik telah bebas senjata logam Sebab, di tangan para pemburu harta dan kuasa ada senjata yang lebih tajam bunyinya tidak mendesing mebuat bulu kuduk merinding juga tidak meledak membuat telinga kita pekak bentuknya tidak runcing sehingga nyali bergeming Tetapi senjata itu tetap tajam tatkala menghujam Ranah politik memang sudah tidak lagi menumpahkan darah karena senjatanya kini tidak membuat luka atau mencabut nyawa tetapi ia membunuh nalar ajar yang telah dibangun lewat program wajib belajar Jangan cari senjata tajam itu di gudang peluru Atau di kendaraan prajuritmu Dia ada di genggamanmu Yang pernah kau buka, kau lihat dan kau baca Bentuknya adalah iklan setengah atau satu halaman Kadang-kadang berisi angka-angka ekonomiterika dan statiska Kadang-kadang berisi potret orang cerdas berkacamata Yang disertai kata-kata bergaya prosa Itulah dia senjata di ranah politik kita Senjata itu tidak menggores luka dan menumpahkan darah Juga tidak langsung mencabut nyawa berbilang jumlah Tetapi ia membuat kebodohan menjadi abadi Kemiskinan massal menjadi tersembunyi Politik hampa etika di balik slogan gagah efisiensi dan demokrasi Iklan setengah halaman atau satu halaman media massa Dengan angka-angka ekonometrika dan statistika Atau foto orang pintar berkaca mata Itulah senjata para pemburu harta dan kuasa Dampak senjata itu nyata ketika harga BBM naik rakyat kecil tercekik ramalan pemilik senjata itu terbalik menjanjikan angka kemiskinan akan turun menukik ternyata malah melonjak naik Dampak senjata itu masih terasa ketika pilkada rampung suara rakyat selesai ditelikung sementara pemburu kuasa dan harta kembali berhitung untuk membagi untung Senjata itu adalah iklan dengan sedikit dusta anak kandung perselingkuhan modal dan tahta yang kini menular dalam spanduk-spanduk di ruang terbuka di bawah lindungan sistem demokrasi pura-pura ditemani sistem ekonomi pasar yang tidak sempurna yang melahirkan korban dalam jumlah berjuta mereka yang tidak kelebihan harta dan tidak ikut berkuasa (Suatu pagi di jalan Kemangi, 24/08/07) Sang Birokrat Sang Birokrat berbaju cokelat sepatu sedikit mengkilat kerja dari rapat ke rapat berlomba mengejar naik pangkat Sang Birokrat jarang berkeringat merasakan nikmat dari persembahan hormat dapat jaminan hidup sepanjang hayat tapi lupa daulat rakyat Kampus UI, 24/08/2007. Puisi untuk Wakil Rakyat Oleh Andrinof A Chaniago Di masa pemilu dahulu Kami lihat gerak bola matamu seperti radar angkatan perang Yang dapat melacak suara jangkrik di waktu siang Sehingga, kami sempat percaya bahwa Tuan-tuan tahu apa yang kami mau Kami pun sempat percaya bahwa Tuan-tuan akan menjadi pelindung kami dari orang-orang yang hanya ingin memperkaya diri sendiri yang hanya ingin menjadikan kuasa dan harta sebagai senjata Lewat retorikamu di saat kampanye dulu Kami percaya Tuan-tuan akan akan bersiaga untuk kami sepanjang waktu Menunggu keluh kesah rakyatmu Menampung dan merundingkan aneka kehendak kami diantara sesama para politisi Tetapi setelah masa kampanye jauh berlalu Kursi berputar menyambut sibukmu Rumah rakyat yang sejuk mememelukmu Birokrasi menjadi penyaring tamu-tamumu Kita pun berjarak seperti tak pernah saling tahu Jauh di luar ruang kerjamu ada pagar kekar berteralis baja Di sana kami berdiri berharap akan sapaanmu dan bersiap dengan pertanyaan: Mengapa diammu bukan lagi perenungan? Mengapa tidurmu bukan lagi jeda pengabdian? Mengapa retorikamu menjadi tanpa logika? Di kejauhan pun kami mendengar Suara tinggi mu menggelegar menggertak usulan rakyatmu sendiri yang tengah berharap tegaknya demokrasi sejati lewat Pemilu dan Pilkada yang bisa menghasilkan pemimpin sejati (Kami pun bertanya, Mengapa tuan-tuan tidak berkenan ketika ada orang ingin menjadi pemimpin sejati negeri ini?) Dengan sigap tuan-tuan berujar, Calon perorangan merusak sistem! Calon perorangan harus didukung 15% suara sah! Dan seterusnya.. dan seterusnya Kami menjadi teringat ketika berjalan menuju ruangan kantormu Di sana kami melintasi para penjaga berseragam bak bala tentara Kaisar Romawi Yang sigap menyuruh kami memarkir kendaraan jauh dari halaman parkirmu Sehingga kami harus berlari menghindari sengatan terik matahari Masih bisakah kami percayai janjimu Ketika acungan telunjukmu bukan lagi tanda janji Tetapi pengawal ucapanmu bahwa wakil rakyat adalah pemilik kekuasaan legislasi Kami pun mulai sadar bahwa wakil rakyat di zaman kini sudah membedakan antara penyalur aspirasi dan kekuasaan legislasi sudah membedakan antara kompetisi dan demokrasi Di media massa kami membaca Retorika-retorika barumu yang merobek makna dan jawaban-jawabanmu yang makin jauh dari logika mencampuradukkan energi sekumpulan partai dengan energi seorang manusia yang tidak ada contohnya di mancanegara Kini kami merasa seperti orang-orang yang ditinggal pergi Oleh Tuan-tuan yang dulu mengaku ingin menjadi wakil-wakil kami dan dulu pernah memberi janji bahwa engkau akan menampung suara hati kami Tetapi ternyata waktu itu kami hanya bermimpi Retorika dan olah mimikmu tentu saja membuat banyak orang terpesona melumpuhkan niat orang-orang muda yang akan berdemonstrasi Bahkan membuat para lansia mengangguk-angkuk sambil tertawa Yang memberi pertanda bahwa akal sehat tidak lagi berdaya Karena logika menjadi tidak berguna Sementara politik dilanda krisis etika dan kebijakan-kebijakan tercerabut dari kedaulatan rakyat maka hari ini kami menyapamu dengan puisi Depok, 21 Agustus 2007 __________________________________________________________ Boardwalk for $500? In 2007? Ha! Play Monopoly Here and Now (it's updated for today's economy) at Yahoo! Games. http://get.games.yahoo.com/proddesc?gamekey=monopolyherenow Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com