Refleksi: Polisi bukan koboi, tetapi kalau penguasa negeri mengehendaki adanya koboi-koboi demikian, pasti ada saja polisi koboi yang sulit diberantas seperti halnya dengan korupsi.
http://www.indomedia.com/bpost/082007/27/opini/opini3.htm Polisi Bukan Koboi MISTER 'Brown'. Sebut saja begitu. Seorang opsir muda di Los Angeles Police Departement (LAPD), tak pernah bisa melupakan peristiwa paling pahit dalam karir kepolisiannya. Sebutir peluru dari pistol yang dipegangnya, secara tidak sengaja merenggut nyawa seorang bocah. Tragedi itu tetap membekas di benak Mr Brown. Pria tambun itu pun 'mengharamkan' pistol menjadi teman bertugasnya. Dia memilih 'diapkir' ke bagian lalulintas, ketimbang ke divisi pembunuhan atau narkoba --yang dikenal paling berpengaruh dan memiliki pamor di lingkungan institusi kepolisian di Amerika. Cerita di atas adalah cuplikan film dari salah satu skuel Die Hard yang legendaris itu. Senjata api memang tidak bisa dipisahkan dari polisi. Bahkan, boleh dikatakan benda pencerabut nyawa itu adalah istri kedua bagi seorang petugas hamba hukum. Apalagi polisi yang bertugas di bagian tindak kejahatan, senjata api menjadi suatu keharusan plus kewajiban. Sejatinya, cerita polisi di Amerika dan Indonesia tidak jauh-jauh amat. Bedanya, polisi di negeri ini dikenal paling suka mengobral peluru. Bahkan, hanya untuk melumpuhkan seorang penjahat kelas teri, belasan butir peluru dihamburkan secara percuma. Fakta yang sering kita lihat, bagaimana seorang pencuri sendal harus 'dihiasi' beberapa lubang bekas peluru di tubuhnya. Fakta itu jauh berbeda dengan petugas kepolisian di negeri Paman Sam. Petugas di sana baru akan meletuskan senjata api, jika memang benar-benar mendesak dan diperlukan. Keahlian beladiri menjadi yang utama, sebelum akhirnya menggunakan senjata api. Itu sering kita lihat di layar televisi, bagaimana seorang detektif bergumul bahkan harus luka-luka untuk melumpuhkan seorang penjahat. Dari berbagai kasus 'obral' peluru oleh polisi di negeri ini, membutikan pengetahuan dan penguasan beladiri di jajaran kepolisian bukan menjadi hal yang prioritas. Artinya, pistol jauh lebih efektif melumpuhkan ketimbang harus bersakit-sakit adu kebolehan kanuragan dengan penjahat. Akibatnya, kita menyaksikan sosok polisi di tempat kita dikenal lebih mirip koboi jalanan. Bagaimana begitu mudahnya seorang polisi main tembak hingga salah tembak. Kasus peluru nyasar di sebuah kompleks polisi di Bandung, Pondok Pesantren milik Gus Dur di Ciganjur, terakhir seorang Polwan tertembak peluru rekannya yang anggota Brimob di Semarang. Itu baru secuil kasus. Masih sejibun kasus sejenis yang tidak sedikit merenggut korban jiwa. Kasus yang menghebohkan ketika seorang tersangka teroris, Abu Dujana, yang sudah tak berdaya didor di depan anak-anaknya. Benar-benar profesionalkah polisi di negeri ini? Sulit untuk kita mengatakan; sudah atau belum. Faktanya, kita masih sering menyaksikan 'obral' peluru yang tidak pada tempatnya oleh polisi. Dari sekian kasus yang terjadi, seharusnya petinggi kepolisian di negeri ini mengubah paradigma sistem pendidikan di kepolisian. Alangkah lebih bagus, jika standar profesionalisme seorang polisi terukur dari kemampuan diri personalnya. Keahlian beladiri atau kanuragan harus menjadi bagian yang paling elementer. Menjadi sangat percuma program tebar pesona yang digulirkan petinggi kepolisian, sementara prilaku polisi di lapangan justru lebih suka cara paling mudah; main tembak. Kalau hal itu tetap menjadi domain kepolisian, artinya sebuah kesia-siaan intitusi ini membangun citra di mata masyarakat. Polisi adalah pengayom dan pelindung rakyat, bukan sosok penebar teror mirip koboi.