KOMPAS
Selasa, 28 Agustus 2007 

  
LINGKUNGAN
15 Tahun Lagi NTT Tak Miliki Hutan 


Kupang, Kompas - Sejumlah hutan lindung di wilayah Nusa Tenggara Timur mulai 
dirambah, terutama setelah pasokan kayu dari provinsi lain terhenti. Aksi 
penebangan ilegal itu dikhawatirkan membuat hutan NTT musnah dalam waktu 15 
tahun mendatang. 

Savana mendominasi daratan NTT yang luasnya 47.749,5 kilometer persegi. Adapun 
hutan hanya sekitar 30 persen, tetapi pepohonannya terus ditebang. 

Berdasarkan hasil penelitian Universitas Nusa Cendana Kupang, kebakaran hutan 
terjadi di banyak bagian di NTT saat kemarau akibat perladangan berpindah dan 
anggapan masyarakat bahwa setelah lahan dibakar akan tumbuh rumput muda yang 
merupakan pakan ternak. 

Kondisi hutan makin memprihatinkan akibat pembalakan. "Penebangan liar terjadi 
setelah sejumlah provinsi yang selama ini mengirim kayu olahan ke Kupang dan 
sekitarnya menghentikan pasokan. Sementara pembangunan perumahan dan kantor 
terus berjalan," kata Kepala Subdinas Rehabilitasi Hutan Dinas Kehutanan NTT 
Markus Karaeng, Senin (27/8) di Kupang. 

Peningkatan jumlah penduduk dinilai Karaeng turut memacu aksi pembalakan karena 
kebutuhan akan perumahan terus meningkat. Pada 1999, penduduk NTT sekitar 3 
juta jiwa dan menjadi 4,3 juta jiwa pada 2006. 

Kualitas lingkungan yang memburuk juga dialami Kota Palembang, Sumatera 
Selatan. Penelitian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) 
Palembang selama Juli-Agustus 2007 menyimpulkan, kualitas udara kota itu masuk 
kategori buruk akibat penambahan jumlah kendaraan bermotor, terutama yang 
pembakarannya tidak sempurna. 

Menurut Kepala Bapedalda Palembang Kemas Abubakar, indikator kualitas udara 
adalah kandungan NOx, SOx, karbon monoksida (CO), dan partikel debu (PM10). 
Kandungan PM10 di Palembang berkisar 174-202, padahal batas normal adalah 150. 
"Polutan disebabkan kendaraan berbahan bakar solar," katanya. 

Di Makassar, Sulawesi Selatan, Staf Ahli Menteri Bidang Sosial Budaya dan 
Kemitraan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Henri Bustaman dan Asisten Deputi 
Urusan Kelembagaan Lingkungan Chairuddin Hasyim menilai, sejak otonomi daerah 
diterapkan enam tahun lalu, tingkat kerusakan lingkungan hidup kian parah. 

"Pemda yang punya kewenangan lebih besar lebih banyak mengeksploitasi sumber 
daya alam tanpa memerhatikan konservasi dan rehabilitasi. Mereka butuh uang 
untuk membangun infrastruktur. Paling mudah mendapat uang dengan 
mengeksploitasi sumber daya alam," ujar Henri di sela-sela Rapat Koordinasi 
Regional Revitalisasi Kelembagaan Lingkungan Hidup Daerah. 

Menurut Henri, eskalasi kerusakan kian besar pasca-1999. Misalnya, tingkat 
vegetasi hutan Kalimantan yang sebelum 1999 masih 63 persen, pasca-1999 tinggal 
40 persen. Saat ini terumbu karang yang betul-betul baik tinggal enam persen. 
(KOR/REN/WAD)

Kirim email ke