Kompas 28/08/2007 send by nano_biak_papua imel: [EMAIL PROTECTED]

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0708/28/daerah/3794949.htm

Pelesetan Kata
"Hemangnya Ikke Vikirin" AIDS 

Rudy Badil 

Sobat, hati-hati bahaya HIV di Papua! 

"Ah trapapa (tidak apa-apa), HIV itu hemangnya ikke vikirin!" 

Maksa banget pelesetan kata HIV, human immunodeficiency virus atau virus 
penyebab AIDS, menjadi bahasa indo-gaul yang aslinya berbunyi "emangnya ikke 
(saya) pikirin". Bahasa gaul teman-teman Papua di Jayapura, selain seru, 
dinamis, dan ngocol dengan dialeknya, juga terkadang ngagetin penuh kocak, baik 
berupa cerita rada jorok ala mop Papua. Juga kekonyolan pelesetan dan permainan 
kata-kata, singkatan, serta penggalan abreviasi dan short word-nya. 

Makanya kalau jalan-jalan ke kota-kota di Papua harus ingat kalau "Sentani" 
(sendiri tanpa istri) bisa-bisa "Nabire" (nafsu bikin repot) hingga harus 
"Wamena" (wajib menahan nafsu) karena banyak "Waropen" (wanita romantis penuh 
nafsu) dan "Jayapura" (janda yang punya rasa). Sebab, kalau sampai "Sorong" 
(senyum oke rayu oke naik gampang) bisa-bisa "Sarmi" (saya rela meninggalkan 
istri) dan "Biak" (bila ingat ingin kembali). Makanya sebelum "Timika" (yang 
ini tak baik disebut kepanjangannya), sebaiknya bertanyalah "Merauke" (mengapa 
engkau rayu aku untuk kupas engkau). 

Kata-kata beginian memang lagi model-modelnya di kalangan anak-anak muda gaul. 
Makanya tidaklah aneh dan ajaib kalau Jack Morin MSi (39) yang pegang 
Laboratorium Antropologi di Universitas Cenderawasih (Uncen) mendokumentasikan 
daftar ratusan akronim itu sebagai bahan studi sastra lisan atau telaah folklor 
yang disebut-sebut sebagai "ilmu dongeng" yang dirintis Prof Dr James 
Danandjaja dari Universitas Indonesia, Jakarta. 

Membaca daftar dokumentasi kata-kata seru itu memang semuanya bernada melucu, 
kocak, meski beberapa terasa amat dipaksa-paksa tetapi lucu juga, seperti kata 
HIV. Malah ada beberapa istilah yang kurang patut dicantumkan dalam bacaan ini 
karena artinya yang vulgar dan terasa tembak langsung. 

"Beberapa banyak yang sama dengan kata pelesetan Jakarta. Mungkin karena kami 
juga baku kontak via e-mail," kata Jack yang menyebut rekannya, Alfasis Ap, 
sebagai kolektor aktif "kamus pelesetan HIV" itu. 

Selanjutnya, daftar kata kian terpeleset dan dirangkai menjadi, "Ambon" (anak 
manis banyak orang naksir), "Anwar" (anak Waropen) dan "Astuti" (anak Serui 
tukang tipu) suka berkata "Slank" (sudah lama aku naksir kamu) serta "Adidas" 
(ayah dan ibu doakan aku selalu). Sebab maunya "Cinta" (cari ilmu namun 
terhalang asmara), lalu terjadilah "Kelapa" (kenalan langsung paku), karena ada 
"WTS" (wanita tetangga sebelah) yang suka "Bupati" (buka paha tinggi-tinggi), 
hingga bikin "PKK" (program pusing kepala) yang katanya dekat "Puskesmas" (maaf 
tak perlu dipanjangkan). Untung "Kansas" (kami anak nakal selalu akan sadar) 
dan "TNI" (terimalah nasib itu). 

Jack Morin sebagai antropolog lapangan menganggap gejala sosial ini suatu 
demonstration effect akibat fenomena di sekitaran. "Efek latah sosial ini 
karena pemerintah juga senang bikin singkatan-singkatan yang bikin bingung, 
tidak menghibur, dan tidak lucu-lucu toh," ujarnya sambil menyebut kata-kata 
potongan dari nama instansi tinggi sampai ke kampung, termasuk kata NKRI dan 
otsus yang amat top di Papua. Makanya, dalam daftar bikinan Alfasis Ap, masih 
ada "Sekwilda" (sekitaran wilayah dada), "Pegawai" (perempuan gampang bawa 
AIDS) dan ujung-ujungnya "RCTI" alias ramainya cuma tayangan iklan. 

"Kamorang su tau" 

Apa pun yang terjadi, gejala mengembangkan kata-kata gaul ini boleh dibilang 
universal. Biasanya bersumber anonim alias tanpa nama, serta tak jelas 
penciptanya. Juga kata folklorik itu tersebar dari mulut ke kuping dan 
mulut-kuping dan seterusnya. Persebaran cepat meluas karena ngocol, menarik, 
dan gampang dituturkan tanpa banyak teori dan teknis metodik. Lebih hebat lagi, 
kata-kata gaul itu menjadi bumbu gurih pergaulan, serta mudah menjadi materi 
komunikasi dua arah yang multi-arah. 

Makanya, istilah kata pelesetan itu jadi materi penyuluhan yang akrab dan 
intim. Malah beberapa brosur kampanye AIDS (acquired immuno-deficiency 
syndrome), berani blak-blakan dan tidak jadi dipersoalkan di masyarakat umum. 
Misalnya saat menebar brosur, KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Provinsi Papua 
juga tidak malu-malu bagi-bagi kondom gratisan. Bungkus kondom itu bertuliskan, 
"tidak diperjualbelikan". Malah ada rekan tertawa melihat adanya guratan garis 
lingkaran di batang kondom kempes itu, entah apa gunanya ya. 

Yang menarik, brosur itu memakai bahasa dialek khas Papua. Misalnya cuplikan 
kalimat, Kamorang su tau kaa (kamu orang sudah tahukah)… kitorang tra (kita 
orang tidak) bisa atau yang kena virus HIV dari dong pu penampilan ka… infeksi 
menular seksual (IMS)… cara berhubungan seks atau baku naek yang tra pake 
kondom (lewat perem pu barang, dubur atau mulut)… HIV ada dalam tong pu cairan 
tubuh… makanya tra baku naek sama sekali… setia deng tong pu pasangan 
(maitua/paitua)… tra pake alat suntik atau jarum bekas… tong tra usah takut 
untuk berkegiatan sosial, bekerja atau hidup di sekitar dorang yang su kena 
HIV… HIV tra menular melalui ludah pinang, gigitan serangga… berenang atau 
mandi di kali… pake WC…, pake alat makan, minum, pakaian dengan dorang yang su 
kena AIDS… baku cium, baku gandeng, baku polo dengan dong su kena HIV... tra 
usah takut. 

Makanya, jangan takut HIV, selama orang tahu rambu-rambu dan batasan bahaya dan 
amannya penularan virus HIV, HIV bukan hemangnya ikke vikirin, tetapi kudu 
harus ikke vikir. Tingkat penularannya di Papua, wuiih bahayanya te-o-pe alias 
top abis. Save Papua kata KPA Papua, mewakili pemerintah pusat. Aksi ini jangan 
dipikir-pikir lagi untung ruginya, apalagi kalau cuma angkat-angkat pundak dan 
bilang hemangnya ikke vikirin. Lalu biarin? 

RUDY BADIL Wartawan Tinggal di Jakarta 

Kirim email ke