Salam,

Berikut saya kirim laporan TEMPO tentang Utan Kayu International Literary 
Biennale yang telah dilaksanakan di Jakarta dan Magelang 23-30 Agustus 2007. 
Saya bagi laporan TEMPO ini dalam tiga email. Pertama tentang tiga profil 
sastrawan peserta Utan Kayu International Literary Biennale: Edmundo dari 
Bolivia, Hassan Daoud dari Libanon dan Kimberly dari Amerika Serikat. Kedua 
laporan tentang pertemuan para sastrawan dengan siswa sekolah, seminari dan 
para santri. Ketiga, laporan pergelaran acara di Pelataran Candi Borobudur

Selamat membaca

Mohamad Guntur Romli
=====================
  Edisi. 29/XXXVI/10 - 16 September 2007 
   
          Dari Tiga yang Gelisah   Menulis adalah sebuah bentuk mengingat luka 
yang dialami   masyarakat. Pergulatan tiga sastrawan—Hassan Daoud, Edmundo Paz 
Soldan, dan   Kimberly Blaeser—adalah contohnya. 
        IA datang dari Libanon. Selama perang yang berlangsung 15 tahun, Hassan 
Daoud tinggal di wilayah Beirut barat. Beirut terbelah dua: permukiman Islam di 
bagian barat, Katolik di bagian timur. Ia menyaksikan kota yang tadinya 
kosmopolitan, sebuah permata di tengah Timur Te ngah yang konservatif itu, 
tercerai-berai. 
  Itu semua bermula dari insiden yang terjadi pada April 1975. Di Ayn 
ar-Rummanah, seorang warga Libanon bentrok dengan seorang Palestina, lalu 
pertikaian berkembang ke seluruh wilayah Libanon dan Israel campur tangan. Pada 
1976, pengungsi Palestina di daerah karantina dibantai. Sebaliknya, pada tahun 
yang sama, di Damor, kaum Kristen Maronit diserbu. Israel menyerang Libanon 
pada 1978 dan 1982. Hassan Daoud ingat, pada 1980-an itu, Beirut menjadi kota 
tertutup—tak ada telepon, tak ada majalah dan koran asing, tak ada penerbangan. 
Hubung an dengan dunia luar terputus.
  Perang berhenti pada 1990. Persetujuan Taiff diteken. Tapi trauma perang 
saudara 15 tahun tak mudah hilang. Novel pertama Hassan berjudul Binayat 
Mathilde (The House of Mathilde) bercerita tentang kehangatan sebuah apartemen 
yang dihuni warga Katolik dan Islam. Cerita terpusat pada Mathilde, salah satu 
penyewa apartemen. Agaknya novel ini bertolak dari pengalaman masa kecil 
Hassan, yang tinggal dalam satu apartemen bersama orang Kristen, imigran Rusia 
dan Armenia. Baginya, pembagian Katolik dan Islam adalah semu. Yang berperang 
bukan orang Katolik dan Islam, melainkan para mi litan Katolik dan militan 
Islam. Masyarakat Islam-Kristen adalah korban. 
  Kini Beirut memiliki sebuah downtown baru—de ngan restoran, kafe, dan bar-bar 
ala Eropa. Namun, bagi Hassan, wajah cantik Libanon itu sesuatu yang berusaha 
menutupi atau melupakan luka. ”Semua hal simbolis yang menyatukan semua orang 
lenyap,” ka tanya kepada Tempo. 
  Siang itu, ia mengenang bagaimana kehidupan kesenian di Libanon merosot. 
”Produksi film lumpuh, teater lenyap selama dua dekade.” Namun perang diakuinya 
membuat banyak orang mengekspresikan diri melalui tulisan. ”Karena peranglah 
kami me nulis,” katanya. Di Jakarta dan Borobudur, ia membaca sajak berjudul 
Lorca in Beirut: Who Brought Him Here? Ia bertanya: siapa yang menulis sebait 
puisi Federico Garcia Lorca di dinding jalanan Beirut? Siapa yang tiba-tiba 
ingat akan kalimat penyair Spanyol itu? 
  ”Di Libanon sekarang anak-anak muda sangat aktif menulis novel dan puisi,” 
katanya. Tapi menjadi pe nulis selalu berisiko. Wartawan atau penulis di 
Libanon, menurut dia, harus menyadari apa yang mereka tulis dan mengerti peta 
kelompok-kelompok dominan di Libanon. Ia sendiri kini adalah pemimpin redaksi 
suplemen kebudayaan ”Nafawez” di harian Al-Mustaqbal. Ia mengaku kerap mendapat 
tekanan politik dari pihak lain. ”Dua sahabat saya, penulis-jurnalis, meninggal 
tertembak tahun lalu,” katanya.
  Setiap faksi di Libanon, menurut Hassan, memiliki surat kabar. ”Tak ada surat 
kabar untuk umum, tak ada surat kabar yang bebas, yang liberal. Media menjadi 
milik kelompok tertentu. Surat kabar ini pro-kelompok ini, surat kabar itu 
pro-kelompok itu…,” tuturnya berapi-api. Keadaan sekarang di matanya bertambah 
buruk. Masyarakat kian terkotak-kotak. Masyarakat tak mengambil pelajaran dari 
perang sipil. ”Para intelektual kini sedang mencoba membuat semacam common area 
untuk ditinggali semua orang Libanon,” katanya. 
  Suara Hassan yang terdengar perih dalam melihat masyarakatnya itu berbeda 
dengan Edmundo Paz Soldan, 40 tahun, sastrawan Bolivia yang menyikapi 
persoalan-persoalan sosial kontemporer dengan kacamata anak muda masa kini. 
Novelnya, Turing’s Delirium, bercerita tentang seorang hacker asal Amerika 
Latin yang melawan globalisasi. Oleh para kritikus, karyanya ini dianggap 
bersemangat techno-thriller, penuh dengan unsur kebudayaan pop yang melek dan 
fasih dengan perkembangan gadget canggih. 
  Paz Soldan adalah motor dari gerakan baru sastra Amerika Latin yang terkenal 
dengan sebutan McOndo Movement. Gerakan ini lahir pada 1980-an. Pencetus 
gerakan ini adalah penulis Cile, Alberto Fuguet. Istilah McOndo muncul dari 
diri Fuguet setelah melihat banyak karya sastrawan muda Amerika La tin yang 
ditampik redaktur majalah sastra Amerika karena tak mencerminkan realisme magis 
model Gabriel Garcia Marquez. 
  Menurut Fuguet, dunia Marquez dan sastrawan muda Amerika Latin kini berbeda. 
Marquez meng olah persoalan politik Amerika Latin dengan bantuan folklore, 
sementara penulis muda Amerika La tin kini mengolah persoalan sosial dalam 
kacamata percampuran dunia urban Amerika Latin dan subkultur Amerika atau yang 
dalam istilahnya McOndo—gabungan McDonald, Macintosh, dan Condos. Di antara 
penulis senior, ada sastrawan Carlos Fuentes dari Meksiko yang mendukung 
gerakan McOndo. Dari novelis-novelis muda, selain Edmundo Paz Soldan, ada 
Giannina Braschi (Puerto Riko), Pedro Juan Gutierrez (Kuba), dan Mario Mendoza 
(Kolombia). 
  ”Realisme magis bukan satu-satunya cara untuk menulis Amerika Latin,” kata 
Paz Soldan siang itu kepada Tempo. ”Pada 1990-an, ketika kami menulis, kami 
menyadari bahwa Amerika Latin telah berubah menjadi lebih urban ketimbang 
sebelumnya. Kami ingin merepresentasikan Amerika Latin yang anyar, yang banyak 
dipengaruhi budaya pop Amerika, pusat perbelanjaan, dan benturan antara orang 
yang berkecukupan dan melarat.” 
  Novelnya, Turing’s Delirium, berkisah layaknya film-film sains. Tersebutlah 
sebuah kota bernama Rio Fugitivo, di Bolivia. Untuk menghadapi serang an para 
hacker—terhadap kebijakan liberal—peme rintah bekerja sama dengan sebuah 
lembaga intelijen yang disokong CIA. Lembaga itu bernama Black Chamber, 
diketuai Ramirez Graham—orang Amerika kelahiran Bolivia. Mereka menggunakan 
kompu ter-komputer tua yang didonasikan Amerika. 
  Tapi yang bekerja di lembaga itu adalah jenius-jenius komputer. Salah satunya 
Miguel Saenz. Dalam dunia maya, nickname-nya Turing. Ia adalah seorang 
cryptanalyst, ahli pemecah kode. Ia pernah meng uraikan pesan-pesan rahasia 
Nazi dalam perang Dunia II, hingga menguntungkan Amerika. Keahliannya 
memecahkan kode-kode kini diperlukan pemerintah Bolivia untuk memproteksi 
file-file rahasia dan juga untuk menangkapi hacker, yang berusaha menerobos dan 
menyebarkan virus ke data mereka.
  Para hacker yang ketahuan kemudian dicokok, di siksa, dan dibunuh. Turing tak 
ambil peduli dengan ha sil pekerjaannya—asalkan dia sendiri tak menyak -si kan 
itu. Ia tak merasa bertanggung jawab. Sementara itu, meski banyak hacker 
tertangkap, sang pemimpin bernama Kandinsky tetap berambisi melakukan re 
volusi. Ia adalah ahli mencipta virus. Kota Rio Fugitivo berada di tubir perang 
dunia virtual. 
  Paz Soldan bercerita, ilham novelnya datang dari demonstrasi besar 
antiglobalisasi pada April 2000 yang terjadi di Cochabamba, Bolivia. Saat itu, 
sebuah perusahaan transnasional bernama Bechtel yang mengelola penyediaan air 
bersih di kota menaik kan harga dua kali lipat. Ini menimbulkan kemarah an 
besar pada warga. Tiga hari masyarakat Cochabamba turun ke jalan, membakar 
gedung-gedung. Peme rintah Bolivia akhirnya meminta Bechtel hengkang dari 
Bolivia. Peristiwa ini dilihat warga sebagai kemenangan pertama masyarakat 
Bolivia atas neoli beralisme. 
  Paz Soldan tampak kritis dengan perusahaan multi nasional. Maka ia terpilih 
sebagai Young Global Leader 2007—oleh World Economic Forum. Tapi yang me narik, 
betapapun ia terlihat antiglobalisasi, ia tampak tak sepenuhnya optimistis 
dengan kebijakan Evo Morales di Bolivia. Sebagai presiden baru, Morales dikenal 
sebagai presiden yang sangat antiliberal.
  Paz Soldan mengakui banyak terdapat perubah an setelah Morales memerintah 
Bolivia, tapi siang itu ia berkata, ”Saya belum yakin hal tersebut akan 
berhasil atau tidak. Yang terjadi di Bolivia sekarang adalah kembali kepada 
ekonomi negara—seperti tahun 1960-an dan 1970-an, nasionalisasi minyak dan 
lain-lain. Tapi di Bolivia masih banyak kasus korupsi. Saya khawatir hal 
tersebut akan gagal seperti yang terjadi 30 tahun lalu….” 
  Untuk memotret perubahan masyarakat, Paz Soldan tak menggali sesuatu yang 
arkais, menghindari yang metafisis. Ia dengan rileks menyerap Bon Jovi dan 
Sting seraya menggabungkannya dengan Marx atau Dirty Harry. Akan halnya 
Kimberly Blaeser, seorang penyair ”Native American”, sajak-sajak nya justru 
terasa menjauhi segala detak keurbanan. Dalam dirinya mengalir darah suku 
Anishinaabe, Indian Objiwe. ”Ibu saya Indian, ayah saya Jerman dari generasi 
ketiga,” katanya.
  Malam itu di Teater Utan Kayu ia membacakan sajaknya berjudul Silsilah 
Keluarga:
  Nenek Chippewaku
 Menjadi bidan dan pengumpul obat-obatan 
 Perempuan kurus yang melahirkan dua belas anak…
   
  Ia lahir dan tumbuh di Reservasi White Earth, di Minnesota utara, salah satu 
cagar alam terbesar di Amerika. Di Prambanan, melihat batu-batu bekas gempa 
berserakan, ia bergumam, ”Manusia dapat mencipta begitu indah seperti candi 
ini, tapi kekuatan alam begitu jauh lebih dahsyat.” Ingatannya mungkin 
terlempar kembali ke Reservasi White Earth. ”Tempat tinggal saya itu penuh 
danau-danau, kano-kano, dan hutan.”
  Membaca kumpulan puisinya yang dihadiahkan kepada Tempo, Apprenticed to 
Justice, ia tampak mencari identitasnya. Ia berkisah soal kehidup an 
sehari-hari komunitasnya, tentang bapaknya, kakeknya, pamannya, bibinya, 
saudari-saudarinya, sepupunya, tentang batu-batu karang, tentang tradisi api, 
tentang dapur, makanan, sekolah-sekolah untuk komunitas Indian. Sebuah puisinya 
berjudul Housing Condition of One Hundred Fifty Chippewa Family mendeskripsikan 
bagaimana kehidupan rumah tangga di Reservasi White Earth pada 1938. Pada 
tahun-tahun itu masih ada kerabatnya yang tinggal di rumah bambu dan wigwam. 
  Dan pengajar di Universitas Wisconsin ini dikenal aktif menghimpun karya 
penulis-penulis berdarah Indian dalam sebuah antologi bersama. Sebuah arti kel 
berjudul Loving Indianess: Native Women’s Storytelling as Survivance yang 
ditulis seorang sarjana bernama Emerance Baker menyebutkan bahwa Kimberly 
adalah sosok yang gigih melawan diskriminasi de ngan cara halus. Kimberly 
dikenal selalu meng ingatkan adanya persoalan ”vanishment”—pelenyapan atau 
penyangkalan sejarah dan kebuda yaan Indian —dalam institusi-institusi 
pendidikan di Amerika. Kimberly adalah seseorang yang selalu menampilkan 
sensibi litas jiwa dan tubuh seorang perempuan Indian yang selama ini dilupakan 
kaum fe minin. ”Yang saya lakukan adalah se macam correcting history,” katanya. 
  Seorang kritikus yang mengulas kumpulan puisi Kimberly Blaeser berjudul 
Absentee Indians menangkap homesickness luar biasa dalam sajak-sajaknya. Ia 
ingin kembali ke ketenangan kanak-kanaknya, tapi ia tahu keadaan tak memungkin 
kan untuk kembali sepenuhnya karena ia telah berubah menjadi modern. Ketegangan 
antara hidup nyata masa kini dan keinginan batinnya untuk mene mukan jalan 
pulang menghantui semua sajak Kimberly. 
  Hassan, Paz Soldan, dan Kimberly adalah contoh penulis yang terlibat dengan 
persoalan masyarakatnya dengan gaya dan cara masing-ma sing. Melalui pertemuan 
sastra Utan Kayu ini, kita mendengar pengalam an-pengalaman batin dan 
suara-suara dari belahan dunia lain. 
  Seno Joko Suyono, Anton Septian 
   
  

       
---------------------------------
Need a vacation? Get great deals to amazing places on Yahoo! Travel. 

Kirim email ke