Halo Bung Anton,

Saya pikir, Taufik Ismail bukan cuma satu-satunya sastrawan yang tak puas 
dengan kondisi pada tahun 1960-an. Ditilik dari zamannya, protes Taufik pada 
rezim yang berkuasa saat itu kok rasa-rasanya bisa dimengerti. Juga bahwa saat 
itu ada cukup banyak sastrawan yang menaruh harapan pada akan adanya perubahan 
yang dibawa rezim baru. Bahwa kemudian rezim baru ini pun ternyata melakukan 
banyak keboborokan, maka saya menerima bahwa sebagian sastrawan secara moral 
terpanggil menyerukan kritik mereka. Ini bukan mencla-mencle. Ini justru 
konsistensi. Kesetiaannya bukan kepada rezim, melainkan kepada cita-cita 
kemakmuran dan kesejahteraan buat segenap bangsa. Yang kecewa pada Orba bukan 
cuma Taufik, tapi juga para sastrawan lain yang pada awalnya mengira orba bakal 
membawa perubahan positif. Justru kalau Taufik diam demi mempertahankan 
"konsistensi dukungannya" terhadap orba, maka dia bisa dihakimi sebagai 
sastrawan buta dan picik.

Bahwa secara pribadi Taufik berseberangan, baik dari segi estetik maupun 
politik, dari Pram, memang membuat kita prihatin. Tapi, setidaknya, kritik 
Taufik terhadap Pram tidak dilancarkan dengan cara-cara "preman". Demikian pula 
kritik Taufik terhadap apa yang disebutnya dengan "sastra kelamin" dll. Saya 
tidak setuju dengan pandangannya, yang menurut saya nyaris sepenuhnya 
moralistik serta tak mempertimbangkan adanya kemungkinan lain untuk memahami 
karya-karya yang tak disukainya itu. Tapi, Taufik tetap menyampaikan kritik 
tajamnya dalam koridor yang "beradab." Seberapapun lemah argumentasinya di mata 
kita, ia tetap mengajukan argumentasi, bukan caci-maki. Inilah yang saya 
rasakan absen dalam polemik yang ramai baru-baru ini.

Pada akhirnya, kita perlu mengakui bahwa Taufik Ismail punya tempat khusus 
dalam sejarah sastra Indonesia modern, sama halnya dengan Pram. Sebagai 
pribadi, ia punya kelemahan, seperti juga Pram punya kelemahan, dan demikian 
pula GM. Namun, saya pikir kita perlu fair dalam menilai bobot karya-karyanya. 
Mari kita berikan tempat dan penghargaan yang sesuai dan layak ia dapatkan, 
meski secara ideologis kita berseberangan dengannya.

Ini semua saya katakan tidak untuk menilai bahwa perspektif Anda tidak valid. 
Saya hanya mencoba memperlihatkan bahwa ada cara lain untuk menilai Taufik. Ini 
adalah sesuatu yang saya juga ingin perlihatkan kepada para peserta polemik 
antara Ode Kampung dan TUK. 

manneke


-----Original Message-----

> Date: Sat Sep 29 10:53:24 PDT 2007
> From: "anton_djakarta" <[EMAIL PROTECTED]>
> Subject: [mediacare] Mencla Mencle Gay Taufik Ismail
> To: mediacare@yahoogroups.com
>
> Dulu gagah banget ya....Taufik jelek-jelekin rezim Sukarno, sampai 
> bikin puisi segerobak nyerang Bung Karno. Yang ujung-ujungnya belain 
> Suharto eh...dia bikin puisi macem beginian. Kalo diliat bahasanya 
> MALU LAH TAUFIK ISMAIL TUH SAMA PRAM....yang biar digebuki tetap 
> bilang saya setia pada Bung Karno karena saya tahu apa tujuan Bung 
> Karno. 
> 
> Tapi itulah dunia, hanya bisa menempatkan orang oportunis ketimbang 
> pejuang sejati...Malu Bangsa Indonesia Punya Sastrawan Macam Taufik 
> Ismail...Ini potongan puisinya Silahkan anda menilai sendiri....
> 
> Oh ya kini dia jelek-jelekin GM, dulu Pram diserang tapi Pram santai 
> bilang "Aku nggak kenal dia kok"
> 
> Nih Puisi Mencla Mencle-nya
> 
> MALU AKU JADI ORANG INDONESIA 
> Oleh : Taufik Ismail
> 
> I 
> 
> Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
> Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
> Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
> Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
> Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
> Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
> Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
> Whitefish Bay kampung asalnya
> Kagum dia pada revolusi Indonesia 
> Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
> Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
> Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
> Dadaku busung jadi anak Indonesia
> Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
> Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
> Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
> Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
> Mengapa sering benar aku merunduk kini 
> 
> 
> PS. Kalo tau  bangga jadi anak Revolusi kenapa dulu bilang Sukarno 
> diktator dan bikin jelek sejarah Revolusi? "Mana Tukang 
> Rambutanmu...?" Kenapa nulis puisi begituan nggak pas jaman Suharto 
> jaya-jayanya tahun 80-an tapi pas Suharto jadi macan ompong. Seorang 
> intelektual harus berani bersikap seperti Vaclav Havel atau 
> Pram...atau GM dengan watak demokrasinya sehingga jelas watak ke 
> Intelektualan seseorang.
> 
> Benci saya dengan sikap lembek macam beginian yang akhirnya 
> melahirkan generasi bubrah.
> 
> Tapi nggak apa-apa generasi muda Indonesia harus lepas dari sikap 
> macam beginian jangan lengket sama mau enak sendiri saja Dan tunduk 
> pada kekuasaan.
> 
> ANTON
> 
> 
>

Kirim email ke