http://www.kompas.com/kompas-cetak/0710/04/utama/3890820.htm
 IPTEK
"Biip... Biip... Biip..." dan Mulailah Abad Ruang Angkasa  
 NINOK LEKSONO 
 Sputnik 1, satelit buatan pertama yang diluncurkan pada pukul 01.28, 5  
Oktober 1957 dari Kosmodrom Baikonur di Kazakhstan, hanya benda berbentuk bola  
dengan garis tengah sekitar 60 sentimeter. 
 Satelit tersebut untuk ukuran sekarang amat primitif. Ada banyak mahasiswa  
yang secara rutin membuat dan meluncurkan wahana angkasa yang jauh lebih  
canggih. Namun, arti Sputnik melewati sosok dan misinya yang sederhana. Sputnik 
 bahkan melewati geopolitik yang ada pada waktu itu. Sputnik, demikian tulis  
Anthony Velocci (Aviation Week & Space Technology, 19-26 Maret 2007),  
meluncurkan abad ruang angkasa dan membawa manusia ke arah baru eksplorasi  
ilmiah baru dan penemuan kosmos. 
 Ketika roket R-7, yang juga berperan sebagai roket balistik antarbenua  
(ICBM), mendorong Sputnik untuk menaklukkan gravitasi Bumi, terus menanjak ke  
atas atmosfer, dan akhirnya tiba di orbit, tembuslah gerbang menuju ke dimensi  
baru pengalaman manusia. Orang, tulis John Noble Wilford (IHT, 26/9), kini bisa 
 melihat kaumnya sebagai pengelana antariksa. Mobilitas lebih tinggi tersebut  
diharapkan akan bisa membebaskan, seperti halnya langkah tegak nenek moyang  
manusia pertama pada masa lalu. 
 Namun, reaksi pertama yang muncul justru mencerminkan kekhawatiran dunia yang  
pada saat itu sedang berada di pusaran Perang Dingin. Sputnik serta-merta  
mengubah ciri dan lingkup Perang Dingin. 
 Kembali ke sosoknya, orang wajar tak habis pikir, bagaimana bola seberat 83  
kilogram dengan permukaan terbuat dari aluminium mengilat ini bisa menimbulkan  
efek yang demikian dahsyat. Sputnik alat sederhana, ia dilengkapi dua pemancar  
radio dengan antena mencuat yang memancarkan sinyal pada frekuensi yang bisa  
ditangkap oleh ilmuwan dan operator radio serta dengan itu meneguhkan prestasi  
yang dicapai. 
 Kuat dugaan bahwa Rusia menginginkan Sputnik sebagai pernyataan akan  
kehebatan teknologinya dan seiring dengan itu juga mengingatkan pihak lain akan 
 implikasi militer kemampuan tersebut. Yang menarik, pihak Rusia sendiri  
tampaknya juga tidak menyangka bahwa Sputnik akan menimbulkan kepanikan luar  
biasa di AS. Ibaratnya, tidak ada peristiwa semenjak serangan Jepang ke Pearl  
Harbor yang menimbulkan reaksi seperti Sputnik. Demikian ujar Walter McDougall, 
 sejarawan di Universitas Pennsylvania. 
 Krisis kepercayaan 
 Suara "biip... biip... biip..." Sputnik ternyata bisa membuat kebanggaan dan  
kepercayaan diri bangsa Amerika runtuh. Apakah kemakmuran telah membuat Amerika 
 jadi lembek? Apakah sistem pendidikan tidak memadai, khususnya dalam mendidik  
ilmuwan dan insinyur? Apakah institusi demokrasi liberal tidak bisa mengimbangi 
 masyarakat Komunis yang otoriter? Itulah sederet pertanyaan yang sempat 
muncul.  Yang dianggap lebih menyakitkan, bangsa Amerika menganggap teknologi 
yang  digunakan pada Sputnik sesungguhnya lebih merupakan keunggulan mereka? 
 Guncangan akibat Sputnik 1 belum usai, Uni Soviet meluncurkan Sputnik 2 pada  
3 November 1957. Peluncuran kali ini dengan membawa seekor anjing bernama 
Laika,  makhluk hidup pertama di angkasa, sambil memperingati Ulang Tahun Ke-40 
Revolusi  Bolshevik. 
 Ringkas kata, dengan peluncuran dua Sputnik, bangsa Amerika merasa telah  
dikalahkan dalam "lomba ruang angkasa". Amerika lalu berpaling kepada 
Eisenhower  yang sudah mereka anggap sebagai bapak bangsa untuk tampil sebagai 
pemimpin.  Sayangnya, Eisenhower yang menang meyakinkan untuk jabatan kedua 
tahun 1956  justru merupakan satu dari sedikit orang Amerika yang tidak panik 
atas sukses  Sputnik. (Cold War, Jeremy Isaacs & Taylor Downing, 1998). 
 Namun, AS terbukti tidak runtuh sepenuhnya walaupun upaya untuk "menebus  
kekalahan" tidak mulus. Dua bulan setelah peluncuran Sputnik, AS–yang juga  
memiliki sejumlah program rudal balistik–mencoba membalas. Pada 6 Desember 
1957,  dengan disaksikan banyak orang di Tanjung Canaveral, Florida, roket 
Vanguard  siap meluncur dengan mengangkut satelit mungil dengan berat kurang 
dari 2  kilogram. Namun, roket hanya naik sampai 0,5 meter, lalu merosot, dan 
meledak.  Bangsa pun malu berat. Koran Daily Herald di Inggris mengolok-olok 
"Oh, What A  Flopnik!", meminjam akhiran Sputnik, tetapi kali ini untuk yang 
gagal. 
 Dengan itu, AS bukan hanya merasa gagal dalam ilmu pengetahuan dan teknologi,  
tetapi sekaligus merasa begitu terancamnya secara militer. Harian The 
Washington  Post menulis, "AS dalam posisi paling gawat dalam sejarahnya", dan 
Amerika kini  menjadi "kekuatan kelas dua". 
 Reaksi positif 
 Gagal dengan Vanguard, AS melanjutkan upaya menebus kekalahan dengan lebih  
sistematik. Departemen Pertahanan mempercepat program pengembangan rudal.  
Kongres membentuk Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA). AS  
sendiri terus menggemakan isu "kesenjangan rudal", yang lalu dibawa dalam  
kampanye pemilihan presiden. Isu ini pula yang diyakini ikut berperan dalam  
kemenangan tipis John F Kennedy. Namun, tidak lama setelah ia jadi presiden,  
Rusia masih membukukan prestasi gemilang. Pada April 1961 Yuri Gagarin  
diluncurkan ke orbit, menjadikannya manusia pertama yang mengorbit Bumi. 
 Setelah konsultasi selama beberapa minggu, Kennedy berpidato di depan Kongres  
dan mencanangkan bahwa sebelum berakhirnya dekade (1960-an) bangsa Amerika 
harus  sudah menapakkan kaki di Bulan dan kembali ke Bumi dengan selamat. 
 Prelude bagi pencapaian besar dimulai ketika Apollo 8 berhasil mengitari  
Bulan sebanyak 10 kali pada Desember 1968. Para astronotnya untuk pertama kali  
melihat bulatan Bumi berwarna kebiruan dengan lilitan awan putih dari jendela  
kapsul. Akhirnya tiba puncak bersejarah itu, ketika pada 20 Juli 1969, Neil  
Armstrong menjejakkan kakinya di permukaan Bulan, lalu membuat "langkah kecil  
bagi manusia, tetapi lompatan raksasa bagi kemanusiaan". 
 Apollo 11 membuat AS seperti membayar tunai utang dalam lomba ruang angkasa  
dengan Uni Soviet. Program Apollo total mendaratkan 10 astronot Amerika di 
Bulan  dan setelah Apollo 17 pada tahun 1972, tidak ada lagi manusia yang pergi 
ke  Bulan. 
 Namun, baik Amerika maupun Rusia tetap mengirimkan wahana antariksa, dan juga  
antariksawan ke ruang angkasa, meski dengan laju lebih lambat. AS mencurahkan  
sebagian besar dananya untuk mewujudkan program ulang alik, program yang di  
antara suksesnya meninggalkan goresan mendalam dengan meledaknya pesawat  
Challenger, 28 Januari 1986, dan berikutnya Columbia pada 1 Februari 2003.  
 "The last frontier" 
 Sputnik dipandang dari sisi lain telah memicu manusia untuk segera merambah  
ruang angkasa, wilayah yang kemudian disebut sebagai perbatasan terakhir (the  
last frontier), setelah darat, laut, dan udara. 
 Pada satu sisi, perjalanan angkasa tampak sudah jadi hal rutin, lebih-lebih  
dengan adanya program Stasiun Ruang Angkasa Internasional (ISS). Bahkan, di 
luar  program negara, kini juga telah berkembang turisme angkasa, setelah Rusia 
 membuka peluang bagi mereka yang siap membayar ongkos 20 juta dollar AS, atau  
sekitar Rp 180 miliar. Selain itu, ada juga perusahaan swasta yang menyiapkan  
wisata angkasa, seperti Virgin Galactic yang dimotori oleh pengusaha Richard  
Branson dan Burt Rutan yang sudah berhasil mengembangkan wahana SpaceShip One.  
Perusahaan riset Futron memperkirakan pada tahun 2021 akan ada 14.000 turis  
angkasa setahunnya, memunculkan pendapatan sebesar 700 juta dollar AS (Tourists 
 Race for Space, and Investors are Ready, IHT, 17/9). 
 Dalam perkembangan berikut, bukan hanya Rusia dan AS yang mendominasi ruang  
angkasa. China, yang setelah berhasil meluncurkan antariksawannya—Yang  
Liwei—dengan wahana Shenzou 5, 15 Oktober 2003, kini mempersiapkan stasiun 
ruang  angkasa. 
 Eksploitasi ruang angkasa juga dilakukan oleh Eropa (dengan Perancis sebagai  
motor utamanya), yang kini sukses mengomersialkan roket Ariane-nya, lalu juga  
India yang banyak menggunakan satelit untuk memacu program pendidikan. Di luar  
itu masih ada Jepang, yang 13 September lalu meluncurkan wahana Kaguya untuk  
meneliti Bulan. Negara lain seperti Kanada memang tidak membuat roket, tetapi  
termasuk pionir dalam satelit dan kontributor penting dalam program ulang alik  
AS melalui lengan robotik Canadarm. Israel bisa ditambahkan di sini karena 
sejak  tahun 1988 telah menggunakan roket Shavit untuk mengorbitkan satelit 
mata-mata  militer. 
 Kini, di tengah makin sumpeknya Bumi karena pemanasan global dan polusi,  
bangsa maju melihat ruang angkasa sebagai alternatif hunian. Tak heran bila  
futuris melihat koloni ruang angkasa sebagai gelombang peradaban berikut. 
 Untuk semua itu, "biip... biip... biip..." Sputnik besar pengaruhnya.  
 ==================
 salam
 nano biak_papua


       
---------------------------------
 
 Real people. Real questions. Real answers. Share what you know.

Kirim email ke