05 Okt 2007 DIRGAHAYU TNI!
PENGAWAL KEDAULATAN, KONSTITUSI & IDEOLOGI NEGARA. ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ http://www.sinarharapan.co.id/berita/0710/05/taj01.html Jumat, 05 Oktober 2007 Kalangan Sipil Harus Introspeksi Tentara Nasional Indonesia (TNI) berada dalam posisi yang kurang nyaman. Berbagai peran yang disandangnya semasa pemerintahan Presiden Soeharto kini telah berkurang. Ironisnya pada saat yang bersamaan kalangan sipil kurang memikirkan target jangka panjang. Mereka bertindak dan berpikir hanya dari pemilu ke pemilu, suatu situasi yang memperlemah kekuatan nasional. Semangat reformasi pada tahun 1997 mendorong perubahan dalam tubuh TNI. Peran yang berbentuk kehadiran langsung TNI dalam kerangka dwifungsi telah menurun tajam. Tak ada lagi wakil TNI di lembaga legislatif atau eksekutif. Perubahan itu belum sepenuhnya tuntas, tetapi harus diakui TNI sudah tampil beda. TNI menjadi lebih terfokus pada kegiatan-kegiatan yang menyangkut profesionalisme. Yang menarik, perubahan tersebut berlangsung tanpa riak yang berarti. Sekalian perubahan dalam bidang sosial-politik itu diwujudkan dalam paradigma baru. TNI tidak lagi selalu di depan atau menduduki berbagai bidang yang tak ada kaitannya dengan profesionalisme. TNI juga mengubah konsep menduduki jadi mempengaruhi, itu pun dilakukan dengan cara tidak langsung. Dengan demikian, sebutan dominasi TNI nyaris tak dikenal lagi. TNI/Polri tentu belum sepenuhnya bebas dari percikan politik. Berbagai pemilihan gubernur, bupati, atau wali kota, apalagi yang diikuti para calon berlatar belakang TNI/Polri, kerapkali dikaitkan dengan status yang disandang para calon itu. Keluarga besar TNI/Polri akan mendukung calon-calonnya. Kecurigaan itu seringkali dibesar-besarkan sebab dalam kenyataannya keluarga besar TNI/Polri memilih calon tidak selalu berdasarkan semangat satu korps. Mereka bisa menyeberang karena isyu-isyu lain, seperti program kerja, kegiatan fisik serta penampilan figur yang bersangkutan. Buktinya, sejumlah calon gubernur atau wali kota yang berlatar belakang TNI/Polri menelan kekalahan sekalipun sudah mengerahkan segala daya. Reformasi TNI/Polri di bidang dwifungsi sudah terlihat hasilnya. Salah satu indikatornya adalah media jarang sekali atau tidak pernah lagi memberitakan atau menyiarkan peran-peran sosial-politik TNI/Polri. Belakangan ini yang lebih banyak disinggung adalah upaya mewujudkan efisiensi di kalangan instansi-instansi militer, termasuk Departemen Pertahanan. Salah satu tindakan yang menyolok adalah penyingkiran peran broker dalam pembelian peralatan militer sebab para pialang itu membuat harga menjadi lebih mahal. Anggaran belanja sedapat mungkin dipakai seefektif mungkin. Di balik sekalian reformasi itu, kita mendapati perkembangan yang ironis. Ketika TNI memusatkan perhatian pada profesionalisme, ternyata faktor-faktor yang menunjang atau mendukungnya amat lemah. Maksudnya, TNI tidak mempunyai peralatan militer atau alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang memadai. Perkembangan paling akhir ini tidak lepas dari keterbatasan anggaran belanja pemerintah. Kita memperkirakan anggaran belanja militer dalam tahun-tahun mendatang tidak akan pernah beranjak jauh selama pendapatan pemerintah masih seret sedangkan pinjaman yang harus dibayar masih tetap besar. Indonesia memang sudah terjebak dalam perangkap utang. Dalam situasi yang sempit itu semestinya ada pilihan-pilihan. Entah kenapa para penyusun anggaran seperti mengenyampingkan manfaat bila TNI Angkatan Laut memperoleh anggaran yang cukup guna membeli kapal-kapal di bawah maupun di atas permukaan laut. Yang sering dikatakan adalah harga satu unit kapal sangat mahal. Padahal pembelian itu kelak tidak hanya bermakna untuk menjaga kedaulatan dan integritas wilayah, tetapi juga bermakna ekonomis, yakni pencurian hasil laut yang bernilai miliar dolar AS akan berkurang. Jadi kalaupun tak mampu membeli banyak kapal perang, mengapa tidak menggalakkan pembuatan kapal-kapal patroli di dalam negeri. Bukankah pada akhirnya, dampak pembuatan tersebut memiliki imbas positif ke segala arah? Membuat produk di dalam negeri seringkali dikaitkan dengan biaya yang lebih mahal, jika dibandingkan dengan membeli produk serupa dari luar negeri. Pendapat itu belum tentu sepenuhnya benar, karena dibiaskan para broker, tetapi yang pasti dengan membuat di dalam negeri kita akan mampu meningkatkan keahlian, menambah persentase kandungan lokal hingga pengaruh positif kepada sektor-sektor yang tak berkaitan langsung seperti sektor konsumsi. TNI akan terus menghadapi dilema internal maupun eksternal. Dalam konteks ini, kita mengharapkan kalangan sipil supaya juga melakukan instropeksi agar terbangun suatu kondisi negara yang lebih sehat. Dewasa ini, kita melihat perilaku sebagian kalangan sipil, baik politisi maupun birokrat, yang tidak elok. Mereka bertindak demi kepentingan sendiri atau kelompok hingga sangat merugikan kepentingan nasional. Perilaku ini berlangsung terus menerus dan tampaknya seperti tak peka terhadap jeritan hati rakyat serta kemungkinan NKRI terbelah. n Copyright © Sinar Harapan 2003