Biksu Tidak Berpolitik, Sampai Pemuka Agama Turun Ke Jalan, Pertanda Keadaan 
Sudah Sangat KelewatanPeristiwa tewasnya Kenji Nagai seorang wartawan warga 
negara Jepang akhirnya menggiring seluruh pandangan mata dunia kepada kekejaman 
Junta Militer Burma terhadap rakyatnya sendiri melalui penangkapan, penyiksaan 
dan pembunuhan rakyat sipil dan ratusan Bikkhu dan terdapat foto mayat bikkhu 
yang nyaris telanjang. Yang tidak kalah gigih adalah juga para blogger di burma 
tidak kunjung putusnya berjuang dengan caranya kepada dunia walaupun local 
media burma bungkam membisu. Bukti solidaritas dunia maya ini sangat marak di 
ikuti ribuan pemilik blog dari 45 negara di didunia dan di Indonesia salah satu 
situs resmi juga dilakukan Polri melaui situs kepolisian republik Indonesia

    
Pada situs pencarian di Google saja tidak kurang 102.000 artikel berkaitan 
dengan kekejaman junta militer di Myanmar. Salah satu situs yang menarik adalah 
yang ditulis oleh ko-htike, bacalah dan pastikan bahwa anda membawa saputangan 
untuk menyeka air mata anda. Kemudian Apabila anda merasa ingin lebih 
mengetahui lebih banyak lagi tentang Burma, anda dapat mengklik situs 
myanmarnews dan mohon pastikan dahulu bahwa saputangan anda masih cukup 
kering..ketika anda membacanya.


  
Dunia Internasional pun tergugah Selain Negara Jepang yang jelas sangat gusar, 
diantarannya juga Amnesti Internasional, Amerika Serikat yang tengah berusaha 
untuk mencapai resolusi PBB untuk Myanmar, juga Australia, organisasi Politik, 
kepemudaan dan keagamaan sejumlah negara Asean turut mengadakan aksi 
solidaritas dan yang menarik adalah tidak reaksi sama sekali dari ASEAN.


    
Di Indonesia, seperti biasa SBY tidak melakukan reaksi walaupun sudah mendapat 
desakan dan tekanan dari berbagai kalangan dalam negeri, namun sekali lagi 
justru  Wapres Yusuf Kalla yang secara jeli memanfaatkan peluang itu dengan 
menghimbau pemerintah Burma untuk tidak mengorbankan rakyat. 
    
Selain itu Di Indonesia aksi solidaritas juga dilakukan oleh sejumlah pemimpin 
agama, 50 diplomat di Deplu juga melakukan aksi berpakaian merah dan 
mengheningkan cipta selama 10 menit, para buruh juga ikut menggalang aksi 
solidaritas didepan Kedubes Myanmar dengan berbaju merah, juga para organisasi 
kepemudaan dan keagaaman kalangan umat Buddha, ikut melakukan aksi solidaritas 
mengecam kekejaman junta mileter. Para partai politik juga mengecam aksi ini 
diantaranya adalah Golkar dan PKS.

 
    
Salah satu yang menarik adalah pro-kontra atas ikutnya 3000 bikkhu di kalangan 
umat Buddha. Pro-kontra tersebut bahkan berlanjut dengan somasi FKUB DKI 
Jakarta (Forum Koumnikasi Umat Buddha) yang merasa terfitnah karena dianggap 
tidak mendukung aksi solidaritas oleh Solidaritas Umat Buddha Indonesia.

 
      
Pada situs Umat Buddha, Sammagi-phala, saya temukan 3 tulisan yaitu satu 
pengantar dan dua buah berkenaan dengan pro/kontra dimaksud. Tulisan tersebut 
sangat bagus dan informative terutama bagi mereka yang hendak mengatahui duduk 
perkara mengapa hal itu bisa menimbulkan pro/kontra.

 Kedua karya tulis itu masing-masing disusun oleh seorang umat Buddha dan 
seorang bhikkhu. Dengan demikian, diharapkan dapat mewakili kedua sudut pandang 
yang sering saling berhadapan tentang umat Buddha yang telah meninggalkan 
keduniawian dan hidup dalam vihara sebagai seorang samanera ataupun bhikkhu:

 
  
1. PENGANTAR AGAMA BUDDHA DAN POLITIK
  
2. SAAT PARA BIARAWAN TERJUN DALAM POLITIK oleh Ang Choo Hong
  
3. BUDDHISME DAN POLITIK oleh Ven K. Sri Dhammananda


    
Paling tidak aksi solidaritas itu sudah mulai berbuah dengan terjadinya 
perpecahan di dalam kalangan junta militer, seorang anak buah jendral senior 
yaitu Than Shwe Membelot melarikan diri ke Thailand dan meminta suaka politik 
ke Norwegia setelah menolak perintah pembantaian terhadap para biksu dan 
pengunjuk rasa. Laporan yang diungkapkan pejabat intelijen Thailand, kemarin, 
menegaskan indikasi perpecahan di tubuh elite militer Myanmar semakin kuat.


    
Semoga Para petinggi militer dibukakan mata hatinya bahwa Pemimpin seharusnya 
memperhatikan kesejahteraan rakyat dan tidak silap atas Uang dan kekuasaan yang 
dimilikinya yang hanya bersifat sementara.
    
 
 Semoga Pada Bikkhu mendapatkan ketenangannya kembali sehingga dapat memusatkan 
perhatian dan konsentrasinya menuju cita-cita pembebasan diri dari segala 
godaan.


  
 Semoga Rakyat burma segera keluar dari kesulitan ini dan mendapatkan 
kesejahteraannya,

 
    
 Berikut dibawah ini, saya petikan sample pro kontra yang dilakukan dengan 
sangat menarik di salah satu milis. Percakapan ini hanya merupakan 1 dari 
ribuan percakapan atas keprihatinan terhadap para biksu yang seharusnya tidak 
berpolitik namun harus turun kejalan menunda kesempurnaan ketika keadaan begitu 
kelewatannya.


  
 
  
  NGURAH AGUNG: 
  Saudaraku yang budiman ...
  Sehubungan dengan 'tragedi' di Myanmar belakangan ini, saya malah 
bertanya-tanya dalam hati begini:


  
  
  Mengapa para bhikkhu mau terjebak dalam kemelut politik dan kekuasaan yang 
--dimanapun di muka bumi ini-- tak pernah benar-benar bebas dari tindak 
kekerasan, intimidasi, penindasan dan yang sejenisnya itu?Bagaimana peran 
Sangha disana sehubungan dengan keterlibatan anggotanya di wilayah yang sarat 
akan ambisi itu?    
  
  
Menurut pandangan saya, ketika seseorang memutuskan untuk jadi bhikkhu pun 
bhikkhuni, ybs. telah juga memutuskan untuk menarik diri dari kehidupan 
duniawi, dari kehidupan profan dan sekuler, walaupunpun bukan berarti lantas 
jadi anti-sosial.
  
Gerakan 'lintas wilayah' manapun mengundang resiko tambahan. Itu kita sadari. 
Tapi ...tapi ....yang membuat saya adalah, kenapa itu bisa menjadi pilihan dari 
para bhikkhu/bhikkhuni muda itu, dimana seolah-olah para sesepuh Sangha malah 
merestuinya?


  Saya jadi teringat sebuah kisah begini:


  Seorang Mentri dititahkan oleh rajanya untuk meminta nasehat kepada 
Sankaracarya mengatasi carut-marutnya negri itu.


  Nasehat Sankara sederhana saja; beliau kurang-lebih berkata: "Bila setiap 
eksponen masyarakat menempatkan dirinya sesuai bidang profesinya dan fungsinya 
masing-masing dengan baik, niscaya negri akan baik-baik saja".


 Semoga Cahaya Agung-Nya senantiasa menerangi setiap gerak-langkah kita.


 Semoga Saudara-saudari kita disana secepatnya menemukan apa yang didambakannya.

Sadhu,
NR.
============



HUDOYO:

Maha-Rsi Bisma adalah sesepuh Hastinapura yang sudah makan asam-garam kehidupan 
dan membaktikan sisa hidup pada usia tuanya guna mencapai kesempurnaan batin di 
pertapaan Talkanda. Namun ketika dalam perang Bharatayuda, eksistensi 
bangsanya, bangsa Kuru, terancam oleh serbuan Pandawa dengan senapati Rsi Seta 
dan kedua adiknya dari negeri Wirata--yang bukan darah Bharata--maka tak urung 
Maha-Rsi Bisma turun tangan menjadi senapati perang Kurawa sehingga 
mengorbankan nyawanya sendiri. (Baca tentang Bhisma di Wikipedia,
 <http://en.wikipedia .org/wiki/ Bhisma>http://en.wikipedia .org/wiki/ Bhisma)

Para bhiksu Buddha di Tiongkok pada zaman dahulu, untuk mempertahankan 
eksistensi Buddha Dharma terhadap kekuatan-kekuatan yang ingin menghapuskannya 
dari bumi Tiongkok, terpaksa harus belajar silat, yang terkenal sampai 
sekarang: Siauw Liem Sie. (Baca tentang "Shaolin Monastery" di Wikipedia,

<http://en.wikipedia .org/wiki/ Shaolin_Monaster y>http://en.wikipedia 
.org/wiki/ Shaolin_Monaster y) 
  
Ada ksatria yang berjiwa pandita/brahmana (ksatria-pinandita) --contoh: 
Maha-Rsi Bisma--dan ada brahmana/pandita yang berjiwa ksatria 
(pandita-sinatriya) --contoh: Parasurama (Rama Bargawa); tidak bisa ditarik 
garis pemisah yang tegas di antara keduanya, seperti kasta di India. (Baca 
tentang Parasurama Barghava di Wikipedia, 

<http://en.wikipedia .org/wiki/ Parashurama>http://en.wikipedia .org/wiki/ 
Parashurama)


  Saya melihat, apa yang dilakukan oleh para bhikkhu Theravada di Burma itu 
sesuai dengan Sumpah Bodhisattva Mahayana, yakni mengorbankan diri demi welas 
asih terhadap dunia. Salah satu dari Sumpah Tambahan Bodhisattva adalah: "Tidak 
menghindari perbuatan salah (pelanggaran sila) ketika cinta dan welas asih 
terhadap sesama mengharuskannya. " (Lihat di bawah ini)
  
Salam,
Hudoyo

Lihat: <http://www.berzinar chives.com/ web/en/archives/ practice_ material/ 
vows/bodhisattva /secondary_ bodhisattva_ pledges.html>http://www.berzinar 
chives.com/ web/en/archives/ practice_ material/ vows/bodhisattva /secondary_ 
bodhisattva_ pledges.html


  (4) Not committing a destructive action when love and compassion call for it

Occasionally, certain extreme situations arise in which the welfare of others 
is seriously jeopardized and there is no alternative left to prevent a tragedy 
other than committing one of the seven destructive physical or verbal actions. 
These seven are taking a life, taking what has not been given to us, indulging 
in inappropriate sexual behavior, lying, speaking divisively, using harsh and 
cruel language, or chattering meaninglessly. If we commit such an action 
without any disturbing emotion at the time, such as anger, desire, or naivety 
about cause and effect, but are motivated only by the wish to prevent others' 
suffering - being totally willing to accept on ourselves whatever negative 
consequences may come, even hellish pain - we do not damage our far-reaching 
ethical self-discipline. In fact, we build up a tremendous amount of positive 
force that speeds us on our spiritual paths.


   
  Refusing to commit these destructive actions when necessity demands is at 
fault, however, only if we have taken and keep purely bodhisattva vows. Our 
reticence to exchange our happiness for the welfare of others hampers our 
perfection of the ethical self-discipline to help others always. There is no 
fault if we have only superficial compassion and do not keep bodhisattva vows 
or train in the conduct outlined by them. We realize that since our compassion 
is weak and unstable, the resulting suffering we would experience from our 
destructive actions might easily cause us to begrudge bodhisattva conduct. We 
might even give up the path of working to help others. Like the injunction that 
bodhisattvas on lower stages of development only damage themselves and their 
abilities to help others if they attempt practices of bodhisattvas on higher 
stages - such as feeding their flesh to a hungry tigress - it is better for us 
to remain cautious and hold back.


   
  Since there may be confusion about what circumstances call for such 
bodhisattva action, let us look at examples taken from the commentary 
literature. Please keep in mind that these are last resort actions when all 
other means fail to alleviate or prevent others' suffering. As a budding 
bodhisattva, we are willing to take the life of someone about to commit a mass 
murder. We have no hesitation in confiscating medicines intended for relief 
efforts in a war-torn country that someone has taken to sell on the black 
market, or taking away a charity's funds from an administrator who is 
squandering or mismanaging them. We are willing, if male, to with another's 
wife - or with an unmarried woman whose parents forbid it, or with any other 
inappropriate partner - when the woman has the strong wish to develop 
bodhichitta but is overwhelmed with desire for sex with us and who, if she were 
to die not having had sex with us, would carry the grudge as an instinct into
 future lives. As a result, she would be extremely hostile toward bodhisattvas 
and the bodhisattva path.


   
  Bodhisattvas' willingness to engage in inappropriate when all else fails to 
help prevent someone from developing an extremely negative attitude toward the 
spiritual path of altruism raises an important point for married couples on the 
bodhisattva path to consider. Sometimes a couple becomes involved in Dharma and 
one of them, for instance the woman, wishing to be celibate, stops sexual 
relations with her husband when he is not of the same mind. He still has 
attachment to sex and takes her decision as a personal rejection. Sometimes the 
wife's fanaticism and lack of sensitivity drives her husband to blame his 
frustration and unhappiness on the Dharma. He leaves the marriage and turns his 
back on Buddhism with bitter resentment. If there is no other way to avoid his 
hostile reaction toward the spiritual path and the woman is keeping bodhisattva 
vows, she would do well to evaluate her compassion to determine if it is strong 
enough to allow her to have
 occasional sex with her husband without serious harm to her ability to help 
others. This is very relevant in terms of the tantric vows concerning chaste 
behavior.


   
  As budding bodhisattvas, we are willing to lie when it saves others' lives or 
prevents others from being tortured and maimed. We have no hesitation to speak 
divisively to separate our children from a wrong crowd of friends - or 
disciples from misleading teachers - who are exerting negative influences on 
them and encouraging harmful attitudes and behavior. We do not refrain from 
using harsh language to rouse our children from negative ways, like not doing 
their homework, when they will not listen to reason. And when others, 
interested in Buddhism, are totally addicted to chattering, drinking, partying, 
singing, dancing, or telling off-color jokes or stories of violence, we are 
willing to join in if refusal would make these persons feel that bodhisattvas, 
and Buddhists in general, never have fun and that the spiritual path is not for 
them.
  


--

Posted By  [Wirajhana eka]  to  Pojokan Wirajhana  at  10/05/2007 09:08:00 AM
http://wirajhana-eka.blogspot.com/2007/10/biksu-tidak-berpolitik-sampai-pemuka.html
Http://wirajhana-eka.blogspot.com





       
____________________________________________________________________________________
Need a vacation? Get great deals
to amazing places on Yahoo! Travel.
http://travel.yahoo.com/

Kirim email ke