http://www.utankayu.org/in/index.cfm?action=detail&cat=news&id=22
  Buku Terbaru Goenawan Mohamad
   

Buku terbaru Goenawan Mohamad telah terbit dalam dua bahasa: Indonesia dan 
Inggris. 
   

TUHAN DAN HAL-HAL YANG TAK SELESAI
 Penerbit: KataKita, Jakarta, September 2007
 Tebal 162 halaman
 Harga Rp 50.000. 
      

Versi Inggris: 

 ON GOD AND OTHER UNFINISHED THINGS
 Terjemahan Laksmi Pamuntjak
 Tebal 162 halaman
 Harga Rp 75.000. 
   
 
 Buku Goenawan Mohamad terbaru ini berupa 99 esei liris pendek yang berangkat 
dari aforisme, mengikuti jejak Percikan Permenungan karya Roestam Effendi di 
tahun 1930-an. Angka "99", dengan berasosiasi kepada 99 nama Tuhan menurut 
tradisi Islam, juga mengesankan ketidak -selesaian. 
   
 
 Isinya pada umumnya merupakan eksplorasi saat-saat religious, pengalaman 
puitis, juga renungan tentang Tuhan, iman, kematian dan kekuasaan. 
   
 
 Dalam mengembangkan pemikirannya, Goenawan Mohamad mengolah dan mengritik 
percikan filsafat Eropa (Heidegger, Levinas, Derrida, Marion, dan Badiou, 
misalnya), dan filsafat Islam, khususnya, Ibn Sina, Al-Ghazali serta Ibn Rusdh. 
Ia juga memakai bahan-bahan dari sastra Jawa klasik. Salah satu eseinya 
menunjukkan persamaan Serat Cabolek (khususnya tentang pertemuan Bima dengan 
Dewa Ruci) dengan meditasi Cartesian tentang subyek.
 
 Kutipan dari buku Goenawan Mohamad, “Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai” 
     
    
   **
      
   Demak: Pada suatu hari yang mungkin tak sebenarnya terjadi di abad ke-16, 
dengan sabar sembilan  orang wali mendirikan mesjid pertama di kota pantai 
utara Jawa ini. Beratus-ratus tahun kemudian cerita terus beredar, bahwa salah 
seorang dari mereka, Sunan Kalijaga, menyusun  tiang mesjid di Demak itu dari 
tatal: serpihan kayu yang tersisa dan lapisan yang lepas ketika papan dirampat 
ketam. 
    
   Saya bayangkan dengan takjub: sebuah mesjid yang ditopang oleh yang 
terbuang, yang remeh dan yang tak bisa disusun rata  --  bukan sebuah rumah 
Tuhan yang berdiri karena pokok yang lurus dan kukuh, dengan lembing dan 
tahta..  
    
    
   **
    
   Dari riwayat yang rusak, manusia membayangkan satu titik di depan yang 
sempurna. Titik itu seringkali jelas ditegaskan, tapi sebenarnya ia adalah, 
untuk memakai kata-kata Laclau, sebuah “penanda yang kosong”. Kekosongan ini 
bukan berarti sesuatu yang sepenuhnya negatif. Justru penanda itu begitu 
menggetarkan dan menggerakkan kita, dan lahirlah damba. Dengan damba itu kita 
membuat sejarah untuk mengisi penanda yang kosong itu dengan sesuatu yang bisa 
yang ditandai secara memadai. 
    
   Tak mudah dijelaskan dari mana datang ajektif dalam penanda kosong yang 
melahirkan dan menggerakkan damba itu -- katakanlah nilai “adil” dalam 
kata-kata “masyarakat yang berkeadilan”. Mungkin sebab itu orang berbicara 
tentang wahyu. Cerita tentang wahyu adalah cerita saat manusia jadi makhluk 
yang terbatas: ia mengalami persentuhan dengan Yang Tak Terbatas. Ketika wahyu 
datang pertama kali, demikianlah kisah Nabi Muhammad yang kita dengar sejak 
kanak-kanak, ia terguncang, ketakutan, dan menutup diri dalam selimut. Kefanaan 
dipaparkan dalam hubungan dengan yang abadi.
    
    
    
   **
      
   Iman lebih kaya ketimbang kemurnian. Iman adalah bianglala yang semarak. 
Yang menghendakinya sebagai sehelai pembalut putih yang steril lupa bahwa 
manusia bukan cetakan tunggal mumi Adam di atas bumi. Bahkan tak ada mumi, juga 
dalam kotak kaca, yang tanpa sejarah, tanpa ketelanjuran kebudayaan.  
      
   Yang kekal selamanya saling membelah dengan bumi yang guyah. 
    
    
   **
    
   Yang menyangka ada jalan pintas dalam iman akan menemukan jalan buntu dalam 
sejarah.  Tiap masa selalu ada orang yang mengembara dan membuka kembali pintu 
ke gurun pasir tempat Musa -- yang tak diperkenankan melihat wajah Tuhan --  
mencoba menebak kehendak-Nya terus menerus. Di sana  tanda-tanda tetap 
merupakan tanda-tanda, bukan kebenaran itu sendiri.  Di sana banyak hal belum 
selesai.
    
   Gurun pasir tak sepenuhnya dialahkan, dan cadar selalu kembali seperti 
kabut. Manusia bisa tersesat, tapi sejarah menunjukkan bahwa iman tak pernah 
jera justru ketika Tuhan tak jadi bagian benda-benda yang terang. 
    
   **
    
   Tiap doa mengandung  ketegangan. Doa selalu bergerak antara ekspresi yang 
berlimpah dan sikap diam, antara hasrat ingin mengerti dan rasa takjub yang 
juga takzim. Di depan Ilahi, Yang Maha Tak-Tersamai, lidah tak bisa bertingkah.
    
   Bila ada agama yang memusuhi syair,  itu karena ia lupa bahwa puisi juga 
sejenis doa. “Di pintu-Mu aku mengetuk/aku tak bisa berpaling”, tulis Chairil 
Anwar, antara lega dan putus-asa. Puisi, bahkan dalam pernyataannya yang 
tersuram, adalah rasa hampa tapi juga sikap bersyukur yang tak diakui.    
    
    
   
       
---------------------------------
Don't let your dream ride pass you by.    Make it a reality with Yahoo! Autos. 

Kirim email ke