Dato Dr Ahmad Kamal Abdullah (Kemala)
----- Forwarded Message ---- From: anuv chaviddy <[EMAIL PROTECTED]> To: [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] Sent: Saturday, October 6, 2007 10:22:25 PM Subject: an essay 2 from Jawa Post JAWA POS Rabu, 03 Okt 2007, Menjual Keindahan Pertanian Ala Malaysia Oleh: VIDDY A.D. DAERY Saya baru saja diundang untuk kesekian kalinya oleh pemerintah Malaysia untuk menjadi pembicara sastra-budaya Melayu Nusantara. Kali ini, lokasinya di kota Alor Star, ibu kota negara bagian Kedah. Untuk masalah sastra, saya tak perlu menceritakannya pada kesempatan ini, tetapi mungkin lebih menarik kalau membicarakan promosi pemerintah Malaysia di berbagai brosur pariwisata yang penuh gambar berwarna dan dapat kita peroleh begitu mendarat di bandara. Di situ, negara bagian Kedah diunggulkan dari segi "Negeri Jelapang Padi" atau negeri yang masih lengkap segi-segi pertaniannya. Padahal, menurut pengalaman saya, negara bagian Johor juga mempunyai sawah ladang yang luas juga, tetapi mungkin itulah strategi pemerintah Malaysia. Untuk Johor "Darul Takzim" yang dijual adalah budaya tari zapin dan kuda lumping serta musik keroncong (yang notabene seni bawaan imigran dari Indonesia/Jawa di zaman penjajahan Inggris dulu, ketika mereka dikontrak bekerja membuka hutan untuk perkebunan karet ). Kembali ke Kedah, ketika bus memasuki jalan tol perbatasan Perak-Pulau Pinang-Kedah, sudah mulai kelihatan hamparan sawah hijau kuning sejauh-jauh mata memandang, mirip di Jawa Timur atau seputar Surabaya? Sepintas tentu sama, dan bagi orang yang tidak jeli atau "chauvinis" yang terlalu mencintai negeri sendiri secara membabi buta akan mengatakan "HalaaaaaaahÂ…sama saja dengan di sekitar Surabaya dan Jawa TimurÂ…olaopo sawah gini aja dibanggakan?" Tetapi lihat perbedaannya. Di Kedah, sawah-sawah itu tampak didukung irigasi yang rapi dan tertib, dengan air yang mengalir terus (sama sekali tidak ada yang mandeg dan tergenang). Demikian juga sungai-sungai di sekitar sawah, rata-rata berair jernih, tertata rapi pelengsengannya, tidak ada sampah dan eceng gondok. Alirannya sangat tenang, sehingga sawah di Kedah lebih indah dari lukisan pemandangan alam karya Basuki Abdullah. Padahal tanah persawahan di Kedah hanya rata terhampar biasa tanpa kontur. Beda dengan di Indonesia yang berkontur terasering indah (seharusnya). Hanya karena sawahnya hancur oleh pupuk kimia, dengan air yang mampet, penuh eceng gondok dan gulma, maka sawah di Indonesia hanyalah sawah air mata. Apalagi petaninya yang selalu merugi dalam musim panen, tak ada yang bisa dibanggakan dengan sawah Indonesia yang mempunyai sejarah sangat panjang. Puncaknya adalah ketika sehabis acara sastra kita diajak panitia untuk mengunjungi Museum Padi kebanggaan Negeri Kedah. Bagi yang tidak bisa menangkap hal-hal yang istimewa, kita akan mengeluh, "Arek Suroboyo diajak nonton museum padi? Di pinggiran Surabaya, hampir semua yang ada di museum itu masih berlaku di jalan-jalan". Ya, di Museum Padi yang terletak di tengah-tengah lautan sawah yang luas itu, kita hanya disuguhi simpanan "artefak" pertanian, mulai ani-ani, sabit, garu, luku, bajak, krakal, cikar (aneka alat pertanian tradisional ), sampai ke yanmar, dongfeng (motor krakal atau traktor), alat perontok padi manual hingga sampai selep, aneka produk pertanian seperti aneka jenis padi, serta peragaan membuat kue-kue tradisional berbahan padi yang hasilnya dijual. Satu-satunya yang khas hanyalah pertunjukan khusus di lantai tiga, yakni kita diajak menonton lukisan sawah melingkar yang kalau dilihat dari jarak lima meter seakan-akan itu sawah betulan. Tapi, kalau didekati baru terasa kalau itu lukisan (konon yang melukis adalah pelukis Korea yang memang keliling negara Asia khusus untuk membuat lukisan semacam itu). Surabaya dan Jawa Timur juga bisa seeprti itu. Permasalahannya, mengapa selama ini Indonesia tidak mau menjadi orang yang serba bisa? Padahal semua kita punya. Seperti kata sosiolog Ignas Kleden bahwa pemerintah Indonesia adalah pemerintah "in absentia" alias "membolos", maka pemerintah kota Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya, saya kira juga merupakan lembaga pemerintah yang membolos. Membolos dari tanggung-jawabnya sebagai pembangun daerah, membolos dari tugasnya sebagai pemimpin rakyat, tetapi tidak membolos dari hal lain yang menyenangkan mereka sendiri. Yakni, makan gaji buta, menaikkan gaji sendiri setinggi-tingginya, memfasilitasi diri sendiri dengan fasilitas mewah dari dana dan keringat rakyat, dan berbagai perilaku seenak udele dhewe kalau tidak boleh dikatakan "perilaku yang sewenang-wenang dan mengkhianati rakyat". Sedangkan pemerintah Malaysia, termasuk pemerintah Kedah, menjalankan fungsinya sebagai good governance dengan asas laissez faire yang bekerja untuk rakyat dan membangun untuk meninggikan martabat bangsa. Karena itu, negara Malaysia semakin maju dan kaya raya, karena memang pemerintahnya bekerja. Sedangkan di Indonesia, termasuk Surabaya dan Jawa Timur, rakyatnya semakin melarat dan kelaparan, sawah-sawahnya merana, sungai-sungainya menjadi got, jalan-jalannya menjadi kubangan kerbau di musim hujan dan penyebar debu di musim kemarau. Gunung-gunungnya gundul dan longsor, sehingga mata air-mata airnya semakin kering dan asat, hutan-hutannya gampang terbakar, karena pemerintahnya membolos, tapi tidak tidur, mereka menyelinap di ruang lain, yakni ruang korupsi dan ruang kejahatan korporasi. Anehnya, kalau ada segelintir orang Malaysia menghina Indonesia, maka seluruh Indonesia bagai disengat tawon karena dikatakan sebagai bangsa yang bobrok. Padahal, yang membikin bobrok bangsa dibiarkan duduk tenang, bahkan selalu dicium tangannya kalau berjabatan tangan. Sungguh bangsa yang menyedihkan, sesuai sebutan sedih dari Eep Syaefulloh Fatah dalam salah satu tulisannya "Oh,bangsaku yang menyedihkan". ([EMAIL PROTECTED]) VIDDY A.D. DAERY Direktur sebuah PH di Surabaya