Bung Unik Iksan Yth, Pertanyaan tajam Anda, mengapa kebijakan terhadap etnis Tionghoa dipertahankan selama berpuluh-puluh tahun, tidak bisa saya jawab secara akademis, karena bukan bagian dari penguasa saat itu.
Tapi menurut hemat saya, pemberlakuan kebijakan terhadap etnis Cina, 15 tahun terakhir tidak seketat diawal Pemerintahan Orba. Saya teringat waktu berbicara dengan Pak Joop Ave, beliau menceritakan bagaimana sulitnya kabinet, khususnya menyakinkan Pak Benny dan Pak Harto untuk membuka pintu pariwisata di indonesia, dimana tolok ukur kebijakan militer masih berpegangan kuat pada masalah (keamanan) stabilitas politik. Pak Joop keliling dengan presentasinya, yang mengupas dari sudut income negara selain dari penjualan minyak, potensi dunia pariwisata internasional terhadap tourisme regional, kebijakan pariwisata di negara-negara tetangga, dan dari sudut globalisasi (liberalisme). Akhirnya beliau berhasil meyakinkan penguasa, dan seperti kita ketahui bersama bahwa pada tahun '80-'90- dunia pariwisata kita booming, sehingga penerimaan negara dari sektor turisme menjadi nomor dua setelah minyak. Kebijakan terhadap etnis Tionghoa yang dilatar belakangi oleh faktor "pemulihan keamanan dan mempercepat proses integrasi bangsa", adalah resmi, bukan pendapat atau opini pribadi. Perlu juga diakomodir juga pengaruh faktor sejarahnya, bahwa di masa jayanya PKI, banyak warga Tionghoa yang menjadi anggota partai dan onderbouwnya. Ditambah lagi kiblat politik RI kepada Beijing (bukan Moskow) dan dukungan Pemerintah RRT kepada PKI dan Pemerintahan Bung Karno, sehingga setelah Orde Baru berkuasa muncul persepsi "loyalitas ganda". (kutipan): Inpres No 14 Tahun 1967 yang menghimbau kegiatan seni budaya, adat istiadat, aksara China di Indonesia diselenggarakan secara kekeluargaan dan di tempat ibadah. INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1967 TENTANG AGAMA, KEPERCAYAAN DAN ADAT ISTIADAT CINA KAMI, PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psychologis, mental dan moril yang kurang wajar terhadap warganegara Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi, perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada proporsi yang wajar. Para pengamat sosial LN juga menilai bahwa kebijakan ---yang sekarang dinilai sebagai tindak diskriminatif--- dilatar belakangi oleh faktor keamanan, ancaman infiltrasi ideologi komunis China. Mudah-mudahan penjelasan ini bisa menjawab pertanyaan Anda, terima kasih. Wassalam, yhg. -----------------