*'Iddah Bagi Laki-Laki* Pertanyaan:
Enam bulan yang lalu saya ditinggal suami saya. Ia meninggal karena kecelakaan. Baru kurang dari dua bulan ini saya selesai masa Iddah. Kebetulan ada tetangga saya pria berumur 40 yang ditingal mati istrinya. Namun baru tiga bulan ia sudah menikah dengan wanita lain. Saya kok merasa tidak adil. Kalau pria bisa seenaknya menikah lagi tanpa dikenai masa iddah, tapi kalau perempuan punya dan bermacam-macam. Apakah lelaki enggak bisa dikenai massa iddah juga? *Fatimah, Garut* Jawab: Ulama fikih menyatakan bahwa 'iddah adalah tenggang waktu tertentu yang harus dihitung oleh seorang perempuan semenjak ia berpisah (bercerai) dengan suaminya, baik perpisahan itu disebabkan karena talak maupun karena suaminya meninggal dunia; dan dalam masa tersebut perempuan tidak dibolehkan kawin dengan laki-laki lain. [Lihat Zakaria al-Anshariy, Fath al-Wahhab, hlm. 103]. Ketentuan 'iddah ini didasarkan pada Alquran. "Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru`" (al-Baqarah:228); "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri, hendaklah perempuan itu ber'iddah empat bulan sepuluh hari" (al-Baqarah:234); "Dan perempuan-perempuan yang putus dari haid (menopause) di antara isteri-isterimu, jika kamu ragu-ragu (tentang masa 'iddahnya), maka 'iddah mereka addallah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang sudah haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungannya" (al-Thalaq:4); dan beberapa ayat lain yang berkaitan dengan 'iddah ini Namun, Alquran tak pernah menjelaskan sebab atau illat hukum yang mendasari ketentuan 'iddah. Dari itu, para ulama menciptakan argumen sendiri bahwa 'iddah disyari'atkan misalnya untuk mengetahui apakah dalam rahim perempuan ada benih atau tidak. Kelompok Syafi'iyyah menyatakan bahwa 'iddah memiliki tiga fungsi yaitu barâ`ah al-ra *h*im (membersihkan rahim), ta'abbud (pengabdian diri kepada Tuhan), dan bela sungkawa atas kematian suami (tafajju'). [Baca, Al-Syarbiniy, Mughniy al-Muhtaj, Juz III hlm. 384]. Akan tetapi, berargumen bahwa 'iddah diundangkan untuk mengetahui kondisi terakhir rahim perempuan agaknya tak bisa dipertahankan. Dengan kecanggihan teknologi modern sekarang, pengecekan terhadap rahim seorang perempuan bukan perkara sulit. Teknologi sudah dapat mendeteksi dengan akurat dan valid tentang ada dan tidaknya benih dalam rahim perempuan. Karena itu, perlu dicarikan argumen lain dari pensyari'atan 'iddah ini. Yaitu argumen etik-moral. Dengan pertimbangan moral ini, walau dengan kecanggihan teknologi modern keadaan rahim bisa diketahui, 'iddah tetap harus dijalankan. Pertama, dalam kasus karena pasangan meninggal dunia, 'iddah di samping untuk tujuan mengetahui status rahim perempuan juga dimaksudkan sebagai pernyataan sikap berkabung (tafajju') atas kematian mendiang suaminya. Karena itu, selama masa 'iddahnya (4 bulan 10 hari), di samping perempuan tersebut harus membiarkan rahimnya tidak menampung benih baru, yang bersangkutan juga diminta untuk tidak mengekspresikan satu sikap yang mengesankan bahwa dirinya tidak sedang tertimpa musibah. Dengan alasan tafajju' itu, 'iddah mestinya tak hanya dikenakan pada seorang isteri, tapi juga pada suami. Baik suami maupun isteri secara etika sosial sangat pantas untuk menjalani masa berkabung. Tidak selayaknya seorang suami yang baru beberapa hari ditinggal mati oleh isterinya melangsungkan perkawinan dengan perempuan lain. Dan kenyataannya sudah banyak laki-laki yang menerapkan konsep ini. Mereka tidak mau melakukan pernikahan dalam waktu tertentu karena berkabung dengan kematian isteri tercinta. Namun, Islam mengajarkan seseorang untuk tidak berlama-lama larut dalam suasana berkabung tersebut. Bagaimanapun ia harus bangkit karena kehidupan harus tetap berjalan. Setelah 'iddah sudah selesai, ia diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk menikah dengan laki-laki atau perempuan lain. Kedua, dalam kasus perceraian biasa, fungsi 'iddah adalah membuka kesempatan seluas-luasnya kepada mereka berdua (suami-istri) untuk bisa rujuk kembali. 'Iddah adalah medium untuk melakukan refleksi dan evaluasi bagi kedua belah pihak untuk selanjutnya dianjurkan berada kembali dalam ikatan perkawinan. Ini paralel dengan harapan Islam. Bahwa ketika pernikahan sudah dilangsungkan, ia harus diusahakan sekuat mungkin untuk tidak putus. Sebuah hadits menyatakan, perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian. (Abghadl al-halâl 'inda Allah al-thalâq). Dalam Alquran, pernikahan digambarkan sebagai perjanjian yang kukuh (mitsâqan ghalidhan), . Karenanya tali pernikahan tak boleh diputus kecuali dalam keadaan yang luar biasa. Dan sekiranya perceraian tak bisa dihindari, Islam masih memberi kesempatan ('iddah) agar keduanya bisa kembali lagi menyatu dalam bangunan rumah tangga. Selama masa penantian ('iddah) itu, sebagaimana "mantan" isteri, maka "bekas" suami juga dilarang menjalin pernikahan, baik secara terang-terangan maupun sembunyi, dengan orang lain. Dengan argumen ini, kedua belah pihak mestinya sama-sama menjalani masa 'iddah. Selanjutnya, s etelah masa 'iddah mereka habis, sementara rekonsiliasi (ruju') sudah tak dimungkinkan lagi, maka perceraian tetap harus dilakukan dengan cara yang baik dan dengan menghadirkan dua orang saksi. Allah SWT berfirman [QS, al-Thalaq [65]:2), "apabila mereka telah mendekati akhir 'iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah." Perceraian tak boleh dilangsungkan dengan saling mengumbar rahasia dan aib masing-masing. Begitu juga orang-orang yang menjadi saksi perceraian haruslah orang-orang yang saleh, jujur, dan memiliki komitmen kuat untuk melindungi kepentingan pihak yang lemah yang biasanya adalah pihak isteri. Sebab, sepanjang sejarah kemanusiaan, perempuan hampir selalu berada pada posisi yang dirugikan.[] *Ustadz Abdul Moqsith Ghazali, Pengasuh PP Zainul Huda Arjasa Sumenep Madura *