sultan Badui <sultanba...@yahoo.co.id> 
Sent by: mediau...@yahoogroups.com
07/11/2010 08:15 PM
Please respond to
mediau...@yahoogroups.com







 
Semua warga negara Indonesia terkena pajak. Lalu apa yang mereka dapatkan?
Mie instan jadi makanan favo-rit rakyat kecil. Selain murah, rasanya cukup 
enak di lidah. Harganya pun jauh lebih murah dibandingkan sekilo beras. 
Tak heran banyak rakyat kecil yang kemudian mengganti makannya dengan mie 
instan. Menurut data, rata-rata konsumsi mie instan per kapita di 
Indonesia 63 bungkus/orang/tahun. Nilai perputaran uang produk ini ta-hun 
2008 mencapai sekitar Rp 15 trilyun.
Pertanyaannya, berapa pa-jaknya? Cukup besar. Andai saja PPN-nya 10 
persen, maka paling tidak ada Rp 1,5 trilyun yang ma-suk ke kas negara. 
Pajak itu dipungut dari rakyat tanpa tera-sa. Sebab, pengusaha telah 
me-masukkan pajak tersebut ke biaya produksi. 

Rakyat juga harus memba-yar lebih harga-harga kebutuhan pokok lainnya 
seperti minyak goreng, gas, bensin, tepung, gu-la, kopi, garam, bahkan 
hingga korek api sekalipun. Walhasil, hampir tidak ada rakyat Indo-nesia 
yang tidak dikenai pajak.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah 
(PPnBM) yang nilainya 10 persen dikenakan kepada hampir di seluruh barang 
dan jasa yang dihasilkan oleh unit organisasi produksi atau perusa-haan, 
termasuk barang dan jasa yang dipasarkan di berbagai pusat perbelanjaan, 
supermar-ket, minimarket, toko kelontong, warung bahkan yang dijajakan 
para pengasong. Sementara itu, pengenaan PPnBM dikenakan terhadap barang 
tertentu yang tergolong barang mewah de-ngan tarif bervariasi hingga lebih 
dari 100 persen.

Di luar itu, kini semua orang yang berpenghasilan harus men-jadi wajib 
pajak. Tak pandang bulu, mau pegawai negara atau swasta, termasuk buruh 
sekali-pun. Mereka terkena pajak peng-hasilan (PPh). Pajak ini dikenakan 
atas setiap tambahan kemam-puan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh 
wajib pajak. Artinya setiap bentuk pengha-silan/penerimaan yang diterima 
seseorang baik berupa gaji, upah, honorarium, laba, hadiah, bunga dan 
berbagai bentuk pengha-silan baik sehubungan dengan pekerjaan, harta yang 
dimiliki maupun tidak, dapat dikenakan pajak penghasilan ini. Berdasar-kan 
hal ini PPh dapat dikenakan kepada setiap berbagai bentuk pekerjaan mulai 
dari buruh, pegawai, guru, dokter, konsultan dll, maupun terhadap badan 
usaha baik berupa perusahaan, koperasi, bahkan yayasan, ormas dan partai 
politik.

Tak cukup itu, mereka yang memiliki rumah pasti kena Pajak Bumi dan 
Bangunan (PBB). Ken-dati gubuk reot pun, bayar pajak.  Dan mereka yang 
bertransaksi rumah atau tanah terkena pu-ngutan BPHTB (Bea Perolehan Hak 
atas Tanah dan Bangunan).
Di luar itu ada cukai dan pajak lainnya seperti bea materai, pajak 
kendaraan bermotor, pajak tidak langsung lainnya, dan bu-nga penagihan 
pajak. Besarnya bervariasi. Rakyat juga diharus-kan membayar berbagai 
pungut-an. Sampai kencing pun harus bayar. Semua kena pungutan. Mungkin 
hanya kentut saja yang tidak bayar. 
Dampak berbagai jenis pa-jak itu akan dirasakan oleh masyarakat. Daya beli 
masyara-kat akan menurun karena harga-harga mahal. Biaya hidup akan 
meningkat. Sementara orang yang akan berusaha akan sulit karena 
belum-belum sudah ha-rus memperhitungkan pajaknya dalam menentukan harga 
jual. Barang produksi yang seharus-nya bisa lebih murah, terpaksa 
dinaikkan guna membayar pajak. 

Negara Preman
Mengapa semua kena pa-jak? Inilah kebijakan para pe-nguasa di negeri ini. 
Tak heran banyak yang menyebut Indone-sia adalah 'negara pajak' karena 
sebagian besar penerimaan ne-gara bersumber dari penerimaan pajak. Rata 
rata kurang lebih 70 persen penerimaan Negara ber-sumber dari penerimaan 
perpa-jakan dan hingga kini setiap tahunnya jumlahnya semakin bertambah. 
Porsi penerimaan pajak untuk tahun 2010 sebesar 78 persen, jumlah tersebut 
setara dengan Rp 742 trilyun rupiah. Porsi penerimaan pajak cende-rung 
mengalami kenaikan setiap tahunnya dengan rata-rata sebe-sar 23,8 persen. 
Pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy menilai, pa-jak sama dengan 
premanisme.  “Pajak itu kan preman. Cuma dilegalkan lewat undang-un-dang. 
Bukan berarti pada zaman Rasul tidak ada pajak. Namun, caranya dengan 
memperhatikan berbagai persyaratan. Ini kan disamaratakan,” jelasnya. 
Selain itu, lanjutnya, pajak dipakai untuk mensubsidi orang kaya. 
Buktinya, Pemerintah Indo-nesia di era 2004-2009 menjual surat utang 
negara (SUN) berde-nominasi dolar dengan tingkat suku bunga 10,5 persen 
dan 11,75 persen untuk sepuluh tahunan. Padahal LIBOR (London Interbank 
Offered Rate merupa-kan kurs referensi harian dari suku bunga yang 
ditawarkan dalam pemberian pinjaman tanpa jaminan oleh suatu bank kepada 
bank lainnya di pasar uang London [atau pasar uang antar bank, red]) hanya 
2,25 persen. Artinya, surat utang bermata uang dolar itu dengan tingkat 
suku bunga tersebut sesungguhnya merupakan sub-sidi yang dibuat oleh 
Pemerintah RI bagi orang kaya yang membeli surat utang itu.

Belum lagi penggunaan pajak itu tak dikembalikan kepara rakyat. Jadi, 
menurut Ichsanud-din, slogan 'pajak untuk menye-jahterakan rakyat' itu 
menye-satkan. Fakta membuktikan, uang hasil memalak rakyat itu lebih 
banyak digunakan untuk birokrasi dan bayar utang. “Kembali kepada 
masyara-kat kan bergerak dalam belanja modal. Itu hanya 80-90 trilyun. 
Kecil sekali. Padahal untuk bayar utang selalu bergerak di atas 115 hingga 
170 trilyun. Pada saat yang sama kita membuka la-pangan kerja bagi asing 
lewat pinjaman program, dll. Ini kan tidak fair?” jelasnya.

Belum lagi, rakyat harus membiayai pegawai negara yang tidak produktif. 
Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) Harry Azhar Aziz 
mengaku lebih dari Rp 100 trilyun anggaran APBN dialokasikan untuk 
menggaji mereka itu. 

Dari APBN saat ini, dana yang dianggarkan sebesar Rp 160 trilyun untuk 
belanja pega-wai ternyata hanya Rp 16 trilyun saja yang seharusnya pantas 
dibayarkan oleh negara ke PNS. Ini didasarkan pada pengakuan seorang 
menteri yang mengata-kan hanya 10 persen pegawainya yang dianggap 
produktif. Inilah kedzaliman pemerintah yang luar biasa.[] mujiyanto

http://www.mediaumat.com/content/view/1466/68/



Kirim email ke