saya FW ah ...... dari milis tetangga nih .....

----- Forwarded by qc_mpc/Plant_MPC/IALK on 12/07/2010 13:34 -----

sultan Badui <sultanba...@yahoo.co.id> 
Sent by: mediau...@yahoogroups.com
11/07/2010 20:13
Please respond to
mediau...@yahoogroups.com







 
Rakyat dipaksa membayar pajak, tapi mereka tak menikmati hasilnya.
Setelah Gayus Tambunan, kini muncul seorang tersangka lagi yang diduga 
terlibat permainan kotor di Direktorat Jenderal Pajak. Baha-sjim Assifi 
namanya. Pejabat di Bappenas yang baru saja meng-undurkan diri Maret lalu 
ini adalah mantan pejabat eselon dua di Ditjen Pajak. Sama seperti Gayus, 
Bahasjim pun memiliki kekayaan yang dianggap tidak wajar. Ia memiliki uang 
lebih dari Rp 60 milyar atas nama anak dan istrinya.

Meski tak ada hubungan antara Gayus dan Bahasjim, keduanya sama-sama 
pegawai pajak. Ini mengindikasikan ma-kelar kasus (markus) pajak telah 
mengakar ke mana-mana. Sa-ngat tidak masuk akal jika modus ini tidak 
diketahui oleh atasan mereka. Walhasil, praktik kotor ini bisa berlangsung 
aman selama bertahun-tahun. Soalnya semua kecipratan.

Saat diperiksa di Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Gayus mengungkapkan, 
modus pencucian uang ini tidak dilaku-kan sendiri. Modus ini melibat-kan 
banyak orang di instansinya. Gayus tergolong pemain kelas teri. Kalau 
kelas teri saja mampu meraup uang Rp 28 milyar, bagaimana dengan kelas di 
atasnya?
Kenyataan itu membukti-kan bahwa sistem birokrasi di negeri ini sudah 
bobrok. Remu-nerasi yang memberikan gaji tinggi kepada pegawai 
Kemente-rian Keuangan  tak berhasil. Gaya hidup mewah dan serakah mem-buat 
mereka tetap saja mencari jalan mencari harta dari jalan yang tidak sah.
Memang ada kesalahan juga dari sisi pengusaha, sebagai pihak yang 
menginginkan jalan pintas. Mereka ada yang nakal. Ketua Asosiasi Pengusaha 
Indo-nesia (Apindo) Sofyan Wanandi memperkirakan, masih ada seki-tar 10-20 
persen pengusaha kelas kakap yang terlibat dengan markus pajak.
Namun tak sedikit peng-usaha yang diperas pegawai pajak. “Pengusaha, 
kadang-ka-dang terpaksa kalau tiap kali diperiksa (pajaknya), diganggu, 
akhirnya bayar juga lewat mar-kus," katanya saat Peresmian Koperasi UKM 
Kreatif Apindo di kantor Apindo, Jakarta, Sabtu (10/4).

Sofyan menghitung, seti-daknya 10 persen dari biaya ope-rasional bisnis 
harus direlakan untuk mengisi kantong-kantong aparat pajak, yang melakukan 
praktik markus. "Makanya, Indo-nesia disebut salah satu negara terkorup 
karena ini, cost invisibel tertinggi sampai 10 persen. Pada-hal, pengusaha 
mau tambah investasi," ujarnya.
Kasus Gayus, menurut Sof-yan, memang memberikan indi-kasi bahwa posisi 
banding dan keberatan merupakan titik rawan melakukan korupsi. "Titik itu 
rawan karena mereka cari-cari salah. Mereka peras kami, kasih target 
tinggi dan tidak percaya kami. Kami bilang bayar 100, ternyata dibilang 
mereka harus bayar 1.000, akhirnya kami so-gok," ujarnya. Modus ini telah 
berlangsung lama. 

Munculnya markus pajak ini paradoks dengan kondisi masyarakat. Tanpa 
disadari, masyarakat dipaksa membayar pajak kepada negara melalui bentuk 
pajak yang bermacam-macam. Eh ternyata, gaji pegawai pajak yang besar dari 
duit rakyat ini masih juga tidak cukup. Pajak yang seharusnya diambil dari 
orang-orang kaya untuk negara, justru diembat sendiri untuk kepentingan 
pribadi.

Modus makelar pajak ini sangat beragam. Mulai saat penentuan obyek 
barang/jasa yang terkena pajak hingga saat wajib pajak berperkara di 
peng-adilan. Menurut mantan Dirjen Pajak, Fuad Bawazier, markus pajak itu 
ya ada di Ditjen Pajak. Dengan menggunakan kewena-ngannya, para markus 
bisa mem-buat wajib pajak tak berkutik untuk membayar pajak sesuai saran 
mereka. Namun, bukannya tak mau, wajib pajak justru senang karena jumlah 
yang seharusnya dibayar bisa diku-rangi. “Cincai-lah,” begitu kata orang.
Lebih parah lagi, lebih dari 70 persen pendapatan negara yang didapat dari 
pajak, sedikit sekali yang mengucur bagi ke-pentingan rakyat secara 
lang-sung. Justru anggaran negara banyak digunakan bagi kepen-tingan 
birokrasi. Sedikit demi sedikit, negara terlihat melepas-kan rakyat agar 
mereka bisa mandiri, hidup sendiri. Di sisi lain, negara tetap berharap 
rakyat membantu negara.

Sistem perpajakan seperti ini mirip dengan apa yang terjadi pada zaman 
penjajahan Belanda dulu. Rakyat selalu diminta mem-bayar upeti bagi 
penjajah. Upeti itu tentu bukan diperuntukkan bagi rakyat tapi bagi 
penjajah dan antek-anteknya. Rakyat diperas. 

Tak mengherankan ada yang menyebut Indonesia ada-lah 'negara preman'. 
Perpajakan adalah bentuk premanisme yang dibungkus dengan 
perundang-undangan sehingga terkesan legal dan memaksa. Belum lagi, memang 
negara ini dikuasai oleh para preman dalam arti yang sebenarnya. 
Satgas pemberantasan ma-fia hukum menyatakan ada sembilan mafia kelas "big 
fish".  Mereka itu adalah mafia per-adilan, mafia korupsi, mafia pajak dan 
bea cukai. Lalu mafia kehu-tanan, mafia tambang energi, mafia narkoba, 
mafia tanah, mafia perbankan dan pasar modal serta mafia perikanan. Tak 
ketinggalan mafia utang luar negeri. Mereka ini merugikan negara dan 
rakyat.

Sebenarnya, negeri ini bisa sejahtera tanpa menggantung-kan diri pada 
pajak yang jelas-jelas menjerat leher rakyat. Syaratnya, kepemilikan 
kekayaan alam dikembalikan kepada rakyat. Ini hanya bisa terjadi bila ada 
perubahan sistem secara radikal, dari sistem liberal ke sistem Islam. 
Kedua, hanya orang-orang amanah yang boleh dipilih untuk mengemban ama-nah 
tersebut.

Berdasarkan hitungan, ke-kayaan alam Indonesia cukup untuk menutup 
kebutuhan hi-dup negara. Mengapa sekarang tidak cukup dan harus memajaki 
rakyat? Sebab kekayaan alam tersebut hampir semuanya di tangan asing dan 
swasta. Negara hanya menikmati bagian yang amat kecil. Menyedihkan lagi, 
alokasi anggaran negara justru banyak digunakan membayar bunga utang.
Inilah sebuah kesalahan mendasar akibat bercokolnya ideologi 
kapitalisme-liberal di negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini. 
Maka tidak ada jalan lain untuk meng-ubahnya kecuali mengganti sistemnya 
dengan sistem Islam. Allahu Akbar! [] mujiyanto 

http://www.mediaumat.com/content/view/1464/68/


Kirim email ke