*Kerusakan Alam dan Kerusakan Moral*


Kerusakan alam lebih disebabkan oleh kerusakan “dunia”. Alam makin tak
bersahabat karena dunia memang tak memperlakukannya dengan benar. Itu dari
sudut pandang agama. Sudut pandang sains boleh jadi berbeda. Sains lebih
suka memandang kerusakan alam sebagai proses alamiah. Jika dalam kacamata
agama, bencana adalah azab, peringatan atau ujian, maka dalam kacamata sains
kerusakan alam adalah sebuah fenomena yang disebabkan sistem dan mekanisme
alam itu sendiri. Nalar sains sulit menemukan benang merah antara kerusakan
alam dan kerusakan moral.



Meski menggunakan nalar yang berbeda, namun tak berarti sudut pandang agama
dan sains ini saling bertentangan. Sebab, konteks pembicaraan masing-masing
sudut pandang tersebut memang berbeda. Tugas agama adalah mengambil hikmah
dari apapun yang terjadi di dunia ini. Sedangkan, sains hanya mengamati
bagaimana mekanisme sebuah fenomena bisa terjadi. Cara paling mudah untuk
mengompromikan adalah dengan menggunakan mata rantai sebab yang ujungnya
kembali kepada Sang Pencipta, karena secara logika tak mungkin ada sebab
yang tak berujung (daur dan tasalsul).



Mata rantai sebab itu misalnya bisa disusun dengan nalar: kejadian A
disebabkan oleh B; B disebabkan oleh C; dan seterusnya sampai Z. Lalu, siapa
yang menyebabkan Z? Maka satu-satunya jawaban adalah Kekuatan Maha Mandiri
yang tak termasuk dalam mekanisme alam, karena tak mungkin Z disebabkan oleh
A. Sang Maha Mandiri (Allah) mengatur alam sesuai dengan kehendak-Nya,
termasuk di antaranya menimpakan bencana alam kepada orang-orang yang
durhaka. Kehendak ini biasanya diwujudkan oleh Allah melalui mekanisme alam
(sunnatullah atau hukum sebab-musabab).



Dengan demikian, maka apapun yang dikatakan oleh agama tentang kerusakan
alam sama sekali tak bertentangan dengan sains, meskipun tidak tercakup
dalam teori sains. Hal itu perlu dipertegas sebagai landasan, karena
keyakinan terhadap dogma agama mengenai bencana tak jarang terasa hambar
ketika berhadapan dengan analisis sains tentang bencana tersebut, karena
agama memang tidak menjelaskan kaitan logis antara bencana alam dengan
bencana moral. Tanpa landasan itu, mungkin orang akan lebih mudah menerima
pernyataan ilmuwan bahwa tsunami disebabkan oleh pergeseran lempengan bumi,
daripada pernyataan ulama bahwa tsunami disebabkan oleh pergeseran
nilai-nilai moral-keagamaan manusia.



Dalam Islam, kerusakan alam tak lepas dari tiga hal, yaitu azab, peringatan,
atau ujian. Mengenai kerusakan alam sebagai azab Allah berfirman:



وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا
فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا



Artinya: Dan jika Aku hendak membinasakan suatu negeri, maka Aku perintahkan
orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi
mereka melakukan kedurhakaan di sana, maka sudah sepantasnya berlaku
terhadapnya ketentuan-Ku, kemudian Aku hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya. (QS al-Isra’ [17]: 16).



Mengenai kerusakan alam sebagai peringatan, Allah berfirman:



ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ



Artinya: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat
perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar. (QS ar-Rum [30]:
41)



Mengenai musibah (termasuk kerusakan alam) sebagai ujian untuk meningkatkan
derajat seorang mukmin di Sisi Allah, Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam
bersabda:



عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ
لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ

 فَكَانَ خَيْرًا لَه وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ



Artinya: Menakjubkan urusan orang mukmin. Semua urusannya adalah kebaikan.
Hal itu hanya dimiliki oleh seorang mukmin. Bila ia mendapat kemudahan ia
bersyukur, maka itu menjadi lebih baik baginya. Bila mendapat kesengsaraan
ia sabar, maka itu menjadi lebih baik baginya. (HR Muslim).



Begitu pula segala kenikmatan dan kemudahan di dunia ini, dalam pandangan
agama juga tidak terlepas dari tiga hal: sebagai istidrâj (pemberian yang
disertai kemurkaan) seperti disebutkan dalam QS al-An’am [6]: 44; sebagai
ibtilâ’ (menguji ketahanan manusia terhadap godaan; sebagai barakah
(anugerah murni yang diberikan kepada orang-orang saleh) seperti ditegaskan
dalam QS al-A’raf [7]: 96. Ukurannya terletak kepada moral dan sikap manusia
ketika mendapatkan apapun yang dialaminya, baik itu kemudahan ataupun
kesengsaraan. Itulah kerangka umum dari ajaran dan pandangan agama mengenai
segala hal yang terjadi pada umat manusia.



Kerusakan alam memiliki potensi untuk mengetuk pintu spiritualisme dalam
diri manusia. Kabar mengenai lubang besar di atmosfer kita, cairnya es
kutub, atau prediksi akan terjadinya banyak bencana pada beberapa tahun yang
akan datang dapat memperkental ketakutan manusia terhadap Sang Penguasa.
Manusia lebih mudah kembali kepada Tuhan pada saat ia merasa bahwa dirinya
sangat lemah dan tidak berdaya. Sebaliknya, manusia justru lebih mudah lupa
Tuhan pada saat ia berada dalam posisi nikmat dan berdaya.



Barangkali pintu spiritualisme itulah yang menjadi motivasi Sayidina Ali bin
Abi Thalib mengeluarkan penegasan, “Tidaklah turun sebuah balâ’ (bencana)
melainkan karena dosa; dan tidaklah hilang sebuah balâ’ melainkan karena
tobat.”



Pernyataan ini tentu saja bukanlah sebuah hukum yang berlaku mutlak, karena
pada kenyataannya, bencana—baik bencana alam ataupun yang lain—bisa menimpa
siapa saja dan negeri mana saja, mukmin atau kafir, saleh atau fasik. Inti
dari ucapan yang beliau tegaskan itu adalah untuk memberi motivasi agar kita
senantiasa muhasabah (introspeksi diri), mengambil pelajaran dan peringatan
dari setiap hal yang terjadi di alam ini, serta menjadikan fenomena alam
sebagai pendorong untuk bertobat.



Jadi, kerusakan alam jelas memiliki kaitan yang erat dengan kerusakan moral.
Sebagian ada yang memiliki kaitan logis-alamiah, misalnya kerusakan alam
yang disebabkan oleh keserakahan dan kebejatan manusia. Mereka
mengeksploitasi alam untuk memenuhi nafsu mereka sehingga menyebabkan
hilangnya keseimbangan ekosistem.



Namun demikian, pada umumnya, benang merah antara kerusakan alam dan
kebejatan moral manusia itu memang bersifat transenden, tidak tertangkap
oleh kacamata sains.



Apapun dan bagaimanapun, kerusakan alam yang demikian akut pada masa hidup
kita ini, semestinya kita yakini sebagai pelajaran atau peringatan dari Sang
Penguasa Alam. Karena hanya dengan keyakinan itulah kita bisa selamat dari
bencana moral di balik bencana alam.



Ust. Ahmad Dairobi


-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke