*Disinterpretasi Sakralitas Barakah*


Barakah sering kali disematkan terhadap sebuah hasil kesuksesan, atau lebih
riilnya kepada orang yang telah mencapai kesuksesan, khususnya kesuksekan
yang sifatnya duniawi, seperti harta, kedudukan, pangkat, dan hal-hal yang
bisa dibanggakan.



Bagi orang-orang pesantren, idiom barakah sudah tidak asing lagi. Setiap
hal-ihwal yang dikerjakan selalu disertai dengan doa ’semoga diberkahi’.
Barakah dengan sendirinya menjadi sesuatu yang terasa suci, agung, dan
bahkan sakral. Pun begitu dengan orang yang mendapatkan barakah. Namun,
hingga sejauh ini, masih belum ada referensi detail yang dapat merumuskan
seperti apa orang yang mendapat barakah. Kegamangan definisi semacam ini
yang akhirnya membuat kabur identitas barakah.



Kesucian barakah bagi kaum bersarung (baca: santri) tidak sekadar
dijadikannya sebagai sebuah sublimasi positif dalam beraktivitas. Malah
jangan heran jika cukup dengan ungkapan, “awas tidak barakah...!”, spontan
kaum bersarung itu merasa minder bahkan enggan untuk melakukan sesuatu yang
dianggap dapat menyebabkan tidak barakah, walaupun terkadang ancaman yang
sedemikian hanyalah bualan yang sama sekali tidak bertentangan dengan agama.



Tidak hanya bagi kalangan bersarung saja, bagi orang yang sedikit saja
mengerti agama, barakah juga menjadi harapan bahkan tujuan utama. Demikian
sakralnya barakah hingga kadang menjadi irasional, tidak logis, dan bahkan
berlebihan. Barakah yang seharusnya menjadi objek pasif, seolah menukik
balik menjadi subjek aktif. Memutarbalikkan rasinonalitas menjadi irasional!
Ironis memang.



Tapi sebenarnya yang sangat perlu disayangkan adalah, dewasa ini barakah
hanya diidentikkan dengan harta dan kedudukan, sehingga gerak-gerik
seseorang seolah terus dikamuflase menjadi sesuatu yang bisa dianggap
barakah oleh orang-orang sekitarnya. Karena orang baru bisa mendapat gelar
barakah, jika kedudukan atau hartanya telah dianggap mapan. Dan tidak
barakah hidupnya bila dia masih tergolong dalam kategori miskin harta dan
atau fakir tahta, walaupun kadang di balik kemiskinannya ia kaya hati dan
kaya jiwa. Padahal, Allah I telah berfirman (artinya): Bermegah-megahan
telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam liang kubur. (QS
at-Takâtsur [102]:1-2)



Nah, benarkah identitas barakah hanya terumuskan pada kekayaan dunia dan
tingginya pangkat? Demikian rendahkah eksistensi barakah? Seperti apa dan
bagaimana barakah itu sendiri? Dan mungkinkah sesuatu yang menurut
masyarakat dianggap barakah menjadi hal yang tidak berkah di mata agama?
Baik, mari kita bersama membedah eksistensi barakah dari sudut pandang
agama. Perlukah barakah diapresiasi, atau malah dikritisi?



Definisi Barakah



Barakah, seperti yang diungkapkan oleh seorang cendikiawan muslim, Imam
al-Ashfahani, bahwa definisi barakah adalah menetapnya nilai positif yang
‘sifatnya dari Tuhan’ terhadap sesuatu yang menjadi objek dari barakah itu
sendiri. Menurut beliau, barakah murni urusan Tuhan (amrun ilâhiyun), dan
tidak bisa disemena-menakan dengan urusan dunia yang jîfah. Nah, jika
barakah sifatnya ilahiyah, maka salah jika barakah hanya diidentikkan dengan
kaya harta dan tahta.



Seperti juga yang tertulis dalam sebuah kitab kompilasi fikih terbitan
Kuwait, bahwa sesuatu yang menjadi sebab munculnya barakah adalah
“ketaatan”. Dengan taat sesuatu menjadi manfaat. Berguna demi terwujudnya
‘izzul-Islâm wal-Muslimîn.



Memang, terlalu berani mungkin untuk mendefinisikan barakah dalam bentuk
nyata, sebuah definisi yang dapat dijadikan tolok ukur antara ada dan tidak
adanya barakah. Karena, ketika semisal kita menganugerahkan barakah terhadap
orang yang kaya harta, akan muncul sebuah pertanyaan: apakah semua orang
kaya yang hidupnya mapan namun pekerjaannya tidak karuan masuk dalam
kategori hidup yang berbarakah? Atau orang berpangkat dengan jabatan tinggi
namun di balik pangkatnya dia menjabat pula sebagai koruptor. Apakah yang
sedemikian bisa kita definisikan sebagai orang yang telah mendapatkan
barakah? Terlalu sulit bagi kita untuk mengkategorikan seseorang telah
mencapai kedudukan agung barakah.



Rasulullah r pernah bersabda: “Jika kalian memakan sesuatu, maka jangan
kalian basuh tangan kalian sebelum kalian menjilati makanan yang tersisa di
tangan kalian, karena sebenarnya kalian tidak tahu, di manakah barakah itu
berada dalam makanan yang kalian makan.” (HR Bukhari Muslim).



Mungkin orang akan merasa risih mendengar Hadis Rasulullah r barusan.
Perasaan jorok atau tidak sopan mungkin sudah terimajinasi dalam benak
masing-masing. Namun begitulah orang termulia menganjurkan kita untuk
bertatakrama. Dari petikan ucapan Rasul tadi, menjadikan keagungan barakah
kian absolut, tidak bisa diganggu gugat. Titik!



Barakah Sebagai Nilai Lebih



Bagi orang-orang Wahabi, tabarruk (mengharap barakah) divonis bidah yang
sesat (dhâlâlah). Menurut mereka, tabarruk dapatmenjadikan sang subjek
menjadi musyrik atau lebih tepatnya, penyekutu Tuhan. Tidak hanya vonis
sambal belaka, di Mekah—negara dengan mayoritas penduduknya pengikut
Wahabi—ada larangan untuk membaca salawat dalâ’il, larangan membaca Maulid
Diba’ dan berziarah ke makam Rasulullah. Di depan makam Rasul, dengan
mudahnya kita menemukan para serdadu dengan persenjataan lengkap menjaga
makam termulia. Tidak sekadar menjaga dari orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, tapi juga dari orang-orang yang sedang ingin mengenang
beliau dengan membaca dalâ’il (kumpulan salawat yang mengagungkan Nabi
Muhammad) maupun Tahlil (kumpulan bacaan yang berisi ayat-ayat suci
al-Qur’an, istighfar, salawat, dls). Sungguh ironis!



Namun patut disyukuri, keyakinan orang-orang Wahabi ini ditentang keras oleh
Sayid Alwi al-Maliki al-Makki al-Hasani—seorang ulama Sunni yang disegani
oleh kaum Wahabi di Mekah—dalam kitab Mafâhîm yajibu an tushahhah-nya.
Menurut Beliau, tabarruk terhadap suatu benda atau pada tempat mulia
hukumnya boleh (mubâh), sebatas digunakan sebagai media tawashshul (media
untuk sampai) pada Allah I.



Dalam surah al-Baqarah ayat 248 Allah I berfirman yang artinya:

Dan nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya tanda ia akan
menjadi raja, ialah kembalinya tâbût kepadamu, di dalamnya terdapat
ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga
Harun; tâbût itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.”



Dijelaskan—masih pendapat Sayid Maliki—bahwa Allah juga meletakkan barakah
pada benda-benda, yakni seperti tâbût dalam petikan ayat tadi. Tâbût yang
berarti peti tempat penyimpanan Taurat yang selalu dibawa oleh Malaikat.
Tâbût ini adalah peninggalannya keluarga Musa dan Harun.



Dalam kitab Shahîh Buhkârî juga terdapat Hadis yang diceritakan oleh Sahabat
Umar al-Khattab, bahwa di setiap Sabtu Rasulullah selalu mengunjungi masjid
Quba’. Oleh karenanya, Umar lebih senang salat dua rakaat di masjid Quba’
daripada salat dengan rakaat yang sama di al-Aqsha, Jerussalem. Umar
berkata, “Andaikan kalian tahu apa yang ada di masjid Quba’, maka kalian
akan dengan senang hati menyerahkan unta terbaik kalian untuknya.”



Dan demikian, sejatinya kita bisa mengharap barakah terhadap apapun selama
kita gunakan sebagai sarana untuk tawasul dan taqarrub kepada Allah, bukan
digunakan untuk kejayaan, kemakmuraan atau malah pesugihan. Hal yang semacam
inilah yang dapat membuat orang menjadi syirik. Na’ûdzubillâh.[]



Santri Sidogiri asal Blega Bangkalan



Referensi:

· Al-Qur’an dan terjemahannya

· Mausû’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah,

· Imam Nawawi, Riyâdhush-Shâlihîn, Darr ilmi.

· Imam al-Bukhari, Shahîh Bukhârî, Bairut Libanon, 2004,

· KH. Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisional, Pusataka Bayan, 2005


-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke