Keadilan dan Rekonsiliasi

Senin, 16 Februari 2004

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid


Minggu lalu di bilangan Kramat V, Jakarta, penulis meresmikan sebuah panti
jompo milik sebuah yayasan yang dipimpin orang-orang eks tapol dan napol,
kasarnya orang-orang Partai Komunis Indonesia yang sudah dibubarkan. Mereka
mendirikan sebuah panti jompo di gedung bekas kantor Gerakan Wanita
Indonesia, yang dianggap sebagai perempuan PKI.


Peresmian yang diminta mereka secara apa adanya pada pagi yang cerah itu
disaksikan antara lain oleh SK Trimurti, salah seorang pejuang kemerdekaan
kita. Ini penulis lakukan karena solidaritas terhadap nasib mereka, yang
sampai sekarang masih mengalami tekanan-tekanan dan kehilangan
segala-galanya. Puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu orang dipenjarakan
karena mereka dituduh "terlibat" dan bahkan memimpin Partai Komunis
Indonesia (PKI). Banyak yang meninggal dunia dalam keadaan sangat
menyedihkan, sedangkan yang masih hidup banyak yang tidak memiliki hak-hak
politik sama sekali, termasuk hak memilih dalam pemilihan umum. Rumah-rumah
dan harta benda mereka dirampas. Sementara stigma (cap) mereka adalah
pengkhianat bangsa tetap melekat pada diri mereka hingga saat ini.


Dipimpin oleh dr Tjiptaning Proletariati, mereka membentuk Pakorba
(Paguyuban Korban Orde Baru) yang memiliki cabang di mana-mana, walhasil
gerakan mereka berskala nasional. Namun karena perikemanusiaan jugalah
penulis mempunyai solidaritas yang kuat dengan mereka, seperti halnya
solidaritas penulis kepada mantan anak buah Kartosuwiryo, yang disebut
DI/TII (Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia).


Padahal waktu turut "berkuasa", PKI pernah berturut-turut memberikan cap
pemberontak secara keseluruhan kepada (mantan) orang-orang DI/TII itu.
Penulis pernah menyebutkan dalam sebuah tulisan bahwa orang-orang itu
tadinya direkrut oleh Kartosuwiryo dengan menggunakan nama DI/TII tersebut
karena ia diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman. Perekrutan
dilaksanakan guna menghindarkan kekosongan di Jawa Barat, yang ditinggalkan
TNI untuk kembali ke Jawa Tengah (kawasan RI) akibat perjanjian Renville
yang mengharuskan terjadinya hal itu.


Seorang pembaca menyanggah "catatan" penulis itu karena di matanya tidak
mungkin Kartosuwiryo menjadi "penasihat militer" Jenderal Soedirman karena
lebih pantas kalau ia adalah penasihat politik. Pembaca itu tidak tahu bahwa
penasihat politik Jenderal Sudirman adalah ayah penulis sendiri KH A Wahid
Hasyim. Karena itu, simpati penulis kepada mereka juga tidak kalah besarnya
dari simpati kepada mantan orang-orang PKI.


DI sini penulis ingin menekankan bahwa konflik-konflik bersenjata di masa
lampau dapat dianggap selesai, apa pun alasannya, karena kita sekarang sudah
kuat sebagai bangsa dan tidak usah menakuti kelompok mana pun. Justru
keadilan yang harus kita tegakkan, sebagai persyaratan utama bagi sebuah
proses demokratisasi. Kita adalah bangsa yang besar dengan penduduk 205 juta
lebih saat ini. Kita harus mampu menegakkan keadilan dan tidak "menghukum"
mereka yang tidak bersalah.


Seperti pembelaan (pledoi) Amrozi di muka Pengadilan Negeri Denpasar bahwa
ia merakit bom kecil saja, sedangkan ada orang lain di balik pengeboman Bali
itu dengan bom besar yang membunuh lebih dari 200 jiwa. Pernyataan Amrozi
ini seharusnya mendorong kita memeriksa "pengakuan" tersebut. Namun, hal ini
tidak dilakukan. Karena itu, hingga saat ini kita tetap tidak tahu adakah
pendapat Amrozi itu sendiri fakta atau tidak. Demikian juga, kita tetap
tidak tahu siapa yang meledakkan bom di Hotel Marriott Jakarta beberapa
waktu kemudian.


Begitu banyak rahasia menyelimuti masa lampau kita sehingga tidak layak jika
kita bersikap congkak dengan tetap menganggap diri kita benar dan orang lain
salah. Diperlukan kerendahan hati untuk melihat semua yang terjadi itu dalam
perspektif perikemanusiaan, bukannya secara ideologis. Kalau kita
menggunakan kacamata ideologis saja, maka sudah tentu akan sangat mudah bagi
kita untuk menganggap diri sendiri benar dan orang lain bersalah. Ini
bertentangan dengan hakikat kehidupan bangsa kita yang demikian beragam.
Kebhinnekaan atau keragaman justru menunjukkan kekayaan kita yang sangat
besar. Karena itu, kita tidak boleh menyalahkan siapa-siapa atas kemelut
yang masih menghinggapi kehidupan bangsa kita saat ini.


Sebagai contoh dapat dikemukakan Abu Bakar Ba'asyir yang dianggap sebagai
"biang kerok" terorisme di negeri kita saat ini. Pengadilan pun lalu
menjatuhkan hukuman empat tahun penjara, yang sekarang sedang dijalaninya di
Lembaga Pemasyarakatan Cipinang di Jakarta Timur. Memang pengadilan
menetapkan ia bersalah, tetapi kepastian sejarah belum kita ketahui,
mengingat data-data yang "tidak pasti" (unreliable) digunakan dalam
mengambil keputusan.


Ini juga terjadi karena memang pengadilan-pengadilan kita memang penuh
dengan "mafia peradilan", maka kita tidak dapat diyakinkan oleh "kepastian
hukum" yang dihasilkannya. Seperti halnya kasus Akbar Tandjung, jelas
keputusan Mahkamah Agung terus "diragukan" apa pun bunyi keputusan itu.
Tidak heranlah sekarang kita mengalami "kelesuan" dalam menegakkan
kedaulatan hukum. Inilah rahasia mengapa tidak ada investasi dari luar
negeri karena langkanya kepastian hukum tadi.


SEBUAH kasus lain cukup menarik untuk dikemukakan di sini. Kyai Mahfud
Sumalangu (Kebumen) adalah pahlawan yang memerangi bala tentara pendudukan
Belanda di Banyumas Selatan. Ketika kabinet Hatta memutuskan "rasionalisasi"
TNI atas usul Jenderal Besar AH Nasution, antara lain berupa ketentuan bahwa
komandan batalyon TNI haruslah berijazah dan ijazah hanya dibatasi pada
keluaran beberapa lembaga pendidikan saja (tidak termasuk pesantren), maka
Kyai kita itu tidak diperkenankan menjadi komandan batalyon di Purworejo dan
sebagai gantinya diangkat seorang perwira muda bernama A Yani. Akibatnya,
Kyai kita itu mendirikan Angkatan Umat Islam (AUI) yang kemudian dinyatakan
oleh A Yani sebagai pemberontak. Peristiwa tragis ini terjadi pada awal
tahun-tahun 1950-an, namun bekasnya yang pahit masih saja tersisa sampai
sampai hari ini.


Hal-hal seperti ini masih banyak terjadi/ terdapat di negeri kita dewasa
ini. Karenanya, kita masih harus memiliki kelapangan dada untuk dapat
menerima kehadiran pihak-pihak lain yang tidak sepaham dengan kita. Termasuk
di dalamnya orang-orang mantan narapidana politik (napol) dan tahanan
politik (tapol) PKI, yang kebanyakan bukan orang yang benar-benar memahami
betul ideologi mereka itu. Karena itulah, penulis tidak pernah menganggap,
baik orang-orang PKI maupun orang-orang DI/TII, sebagai "lawan yang harus
diwaspadai".


Penulis justru beranggapan bahwa orang-orang mantan PKI itu sekarang sedang
mencari Tuhan dalam kehidupan mereka, karena apa yang saat ini mereka anggap
sebagai "kezaliman-kezaliman", justru pernah mereka lakukan saat "berkuasa".
Sekarang mereka berpegang pada keyakinan yang mereka miliki yang tidak
bertentangan dengan undang-undang dasar. Kalau kita juga menggunakan cara
itu, berarti kita sudah turut menegakkan keadilan.


Jelaslah dari uraian di atas, bahwa yang kita perlukan adalah sebuah
rekonsiliasi nasional, setelah pengadilan memberikan keputusan "yang adil"
bagi semua pihak. Kalau "konglomerat hitam" dapat diberi status Release and
Discharge (bebas dari segala tuntutan), mengapakah kita tidak dapat
melakukan hal seperti itu pada orang-orang mantan PKI dan DI/TII?


Jadi, pengertian dari rekonsiliasi yang benar adalah pertama mengharuskan
adanya pemeriksaan tuntas oleh pihak pengadilan, kalau bukti-bukti yang
jelas masih dapat dicari. Di sinilah letak keadilan yang harus ditegakkan di
Bumi Nusantara. Sebuah tekad untuk memeriksa kasus-kasus yang terjadi di
depan mata kita dalam masa lima belas tahun terakhir ini, justru meminta
kepada kita agar "melupakan" apa yang terjadi 40-50 tahun yang lalu. Baru
kemudian diumumkan pengampunan setelah vonis pengadilan dikeluarkan.


Kedengarannya mudah dilakukan, namun dalam kenyataan sulit dilaksanakan
bukan?


Jakarta, 11 Februari 2004


-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke