Ramadhan dan Kesadaran Pluralis

Selasa, 10 Agustus 2010 | 04:10 WIB

Oleh: Said Aqiel Siradj



Ramadan adalah bulan suci umat Islam yang penuh rahmat dan pengampunan. Di
dalamnya tersimpuh ajaran adiluhung untuk melatih diri (riyadhah al-nafs)
dan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs).



Puasa bukanlah sekadar ”ritual kosong”, melainkan bermakna secara spiritual,
psikologis, humanis, dan sosial. Saking mendalamnya ”bobot” puasa,
sampai-sampai diwartakan bahwa ibadah puasa menjadi lelaku yang ”sangat
privat”.



Artinya, orang yang berpuasa mempunyai ikatan atau tanggung jawab langsung
dengan Allah. Berbeda dengan ibadah lainnya seperti shalat yang secara
lahiriah mudah dikenali, orang yang berpuasa akan sulit diketahui dari
lahiriahnya.



Kesadaran pluralis



Kewajiban puasa dirujuk oleh dalil naqli, yaitu pada Surah Al-Baqarah Ayat
183. Pada ayat tersebut disebutkan bahwa berpuasa diwajibkan sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelumnya (kama kutiba ’ala alladzina min
qablikum).



Petunjuk dalam ayat ini, di samping tentang hukum wajib puasa Ramadhan,
lebih dari itu adalah untuk mengingatkan kembali kepada umat Islam bahwa
kewajiban berpuasa mempunyai ”pertalian sejarah” dengan umat sebelumnya.



Sejarah membuktikan bahwa setiap peradaban selalu menggenggam perintah bagi
kaumnya untuk berpuasa. Pada masa jahiliah Arab pra-Islam, orang Quraisy
biasa berpuasa pada hari Assyura (Muharam). Umat Yahudi juga rutin
menjalankan puasa pada bulan itu. Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad,
selalu berpuasa pada bulan Ramadhan. Umat Nasrani dan umat beragama lainnya
ataupun kelompok kepercayaan juga punya tradisi berpuasa.



Dari tilikan sejarah ini, yang penting hendak dikemukakan adalah bahwa
kebiasaan berpuasa menyimpan makna dan hikmah perlunya kesadaran atas
pluralitas. Puasa bukanlah sesuatu yang orisinal berasal dari Islam. Islam
sebagai agama penyempurna sekadar memberikan ”sentuhan lain”. Misalnya,
kalau umat Nasrani pada waktu berpuasa melarang menggauli istrinya pada
malam hari, Islam membolehkan. Begitu juga bersangkut dengan anjuran sahur.



Itulah, Al Quran menambahi dengan kata-kata ”sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelumnya”. Jelas hal ini untuk menekankan pada umat Islam
pentingnya kesadaran pluralis. Kerendahhatian, saling menghormati, dan kasih
sayang menjadi fondasi bagi prosesi puasa.



Kebajikan public



Kesadaran untuk senantiasa menghargai pluralitas tentu saja tidak cuma
bertalian dengan eksternalitas adanya kebiasaan puasa pada umat beragama
lainnya. Pluralitas juga seharusnya dipahami dalam bingkai kejamakan
perilaku masyarakat. Secara internal, umat Islam sendiri secara quick count
berapa persen yang menjalankan puasa.



Belum lagi kalau ditelisik dalam konteks ”penghayatan” menjalaninya.
Terlebih, jikalau menggunakan istilah sufistik yang menyebutkan bahwa orang
berpuasa mempunyai tiga tingkatan, yaitu umum, khusus, dan paling khusus.
Kacamata sufistik ini menyodorkan tekanan pada privatisasi puasa.



Beranjak dari sini, sebenarnya umat Islam perlu makin menyadari bahwa
perintah berpuasa lebih terfokus pada penataan mental-spiritual individu.
Dari pengolahan individual ini akan memancarkan insan-insan yang
berkepribadian kuat, tidak mudah goyah oleh rayuan, berkarakter humanis dan
sosial dengan kian bersemangat untuk menolong sesama, solidaritas, dan
kebajikan publik. Terwujudnya tatanan sosial yang tertib perlu melalui
penataan secara individual terlebih dahulu.



Sebab itulah, di dalam Islam sangat dipentingkan adanya pelatihan diri
pribadi sebelum melakukan tindakan publik yang positif. Dalam Al Quran tegas
dinyatakan: ”Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Ayat ini
menunjukkan pentingnya penataan diri untuk menjadi pribadi yang berakhlak
luhur. Kewajiban berdakwah kepada orang harus berangkat dari penyempurnaan
akhlak pribadi dan dilakukan secara bijaksana.



Nah, jangan sampai pada bulan Ramadhan tahun ini terjadi kekerasan, baik
antarsesama Muslim. Kesucian Ramadhan menjadi ternodai. Bentuk penodaan ini
tidak lantas hanya dihujamkan pada masih maraknya kemaksiatan pada bulan
suci ini. Akan tetapi, bentuk-bentuk main hakim sendiri yang kemudian
menimbulkan respons kekerasan dari mereka yang merasa dirugikan akibat
penggerebekan, itu juga merupakan penodaan.



Tindakan penggerebekan menjadi kewajiban pemerintah lewat aparat kepolisian,
dan itu sudah cukup menjadi sebab hukum (’illah) bagi umat Islam untuk tidak
bertindak serampangan. Pemerintah telah merespons tuntutan umat Islam untuk
membersihkan tempat maksiat di bulan Ramadhan.



Kalau toh masih terjadi penyimpangan, tentunya tidak lantas dijadikan dalih
untuk bertindak main hakim sendiri. Indonesia adalah negara demokratis.
Simbol-simbol keislaman diberikan keleluasaan oleh pemerintah untuk
ditampilkan. Kebebasan beribadah mendapatkan tempat luas. Ini jadi
argumentasi yang sahih untuk menaati rule of law yang berlaku.



Islam adalah agama empiris. Maksudnya, Islam senantiasa memerhatikan
dinamika kenyataan di masyarakat (ma’rifah ahwal al-nas). Adanya
kemaksiatan, misalnya, tidak mesti dihakimi sebagai bentuk penistaan yang
tiada ampun.



Yang bijak—mengikuti rumusan hukum Wahbah Zuhailli—adalah hukum asalnya
(al-ahkam al-ashliyah) saja, yakni puasa yang dilaksanakan. Sedangkan
penggerebekan terhadap lokasi-lokasi kemaksiatan—apalagi melalui
pemaksaan—karena hanya hukum pendukung (al-ahkam al-muayyidah), tidak mesti
diterapkan.



Hukum pendukung sifatnya kontekstual. Yang terpenting terciptanya win-win
solution, tercapainya pemeliharaan agama dan kemaslahatan masyarakat
(haratsah al-din wa al-siyasah al-dunya).



Tujuan utama syariat Islam (maqashid al-syari’ah) adalah terwujudnya
kebajikan umum (mashalih al-’ammah). Pertarungan antara maslahat dan
mafsadah dalam kehidupan nyata telah diberi perimbangan (muwazanah) yang
bijak dalam hukum Islam. Seperti kaidah fikih: ”Bahaya dihapus sesuai
kemungkinan yang ada”. Artinya, ikhtiar menghapus bahaya harus selalu
berpijak pada etika dan estetika sosial.



Said Aqiel Siradj Ketua Umum PBNU


-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke