----Email Diteruskan----
Dari: sultanba...@yahoo.co.id
Kepada: mediau...@yahoogroups.com
Email Keluar: Sab, 14 Agt 2010 11:46 WIB
Judul: [mediaumat] Sikap Ambigu Presiden SBY Soal “Terorisme”, Aneh!

postingan yang sangat bagus ..... di baca tuntas ya ,  karena masuk di 
akal alias nalar dalam benak kita sebagai rakyatnya  .....
Sikap Ambigu Presiden SBY Soal “Terorisme”, Aneh!
Oleh: Harits Abu Ulya (Ketua Lajnah Siyasiah DPP-HTI)
Akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono angkat bicara soal terorisme, 
sebelumnya lewat jubir presiden Julian A Pasha menyatakan bahwa presiden 
SBY sudah mengetahui perihal penangkapan Abu Bakar Ba’asyir melalui 
Kapolri di hari Senen (9/8). Plus tepisan kalau penangkapan tersebut bukan 
intruksi dari SBY. Kemudian saat Presiden SBY rapat kabinet di Sekretariat 
Negara mengingatkan kasus terorisme tidak bisa dikaitkan dengan agama 
maupun politik. Ia menegaskan terorisme merupakan kejahatan yang terkait 
dengan hukum. “Saya tak pernah membawa terorisme ke dalam arena politik, 
karena bukan politik. Juga tidak membawa terorisme ke arena agama, karena 
terorisme bukan ajaran agama,” kata SBY di Gedung Sekretariat Negara, 
komplek Istana Negara, Jakarta, Selasa (10/8).
Dan SBY mempercayakan kepada penegak hukum untuk menangani dengan cara 
tepat,profesional, akuntabel, dan dapat dijelaskan kepada publik. Bahkan 
menambahkan bahwa masalah ini sensitif dan sering melahirkan salah paham 
diantara masyarakat terhadap apa yang dilakukan penegak hukum.
Rasanya kelewat wajar kalau sebagian orang mengkritik sikap SBY, ambigu 
bahkan ada yang katakan lebay. Dalam kasus terorisme, masih terekam 
beberapa jejak sikap SBY yang ditampilkan dihadapan publik yang 
menunjukkan ambiguitasnya. Menjelang Pemilu Presiden di tahun 2009 
silam,SBY mengomentari peristiwa bom di JW Marriott dan The Ritz Carlton, 
17 Juli 2009. SBY mengatakan secara eksplisit, dirinya termasuk salah satu 
target incaran penembakan oleh kelompok yang ingin menggagalkan 
pemerintahan yang demokratis. “Berdasarkan laporan intelijen, ada upaya 
yang sistematis menggagalkan kelangsungan pemerintahan yang demokratis 
ini,” ungkap SBY merespon tragedi pengeboman di kawasan Mega Kuningan 17 
Juli 2009. Hal yang sama sebelum penangkapan orang-orang yang diduga 
teroris dan kemudian disusul penangkapan ustad ABB, SBY juga mengeluh 
menyatakan dirinya menjadi sasaran kelompok teroris. “Saya dapat laporan 
tadi malam dari jajaran pengamanan, ada di antara anak bangsa yang punya 
niat tidak baik yang sekarang ada di sekitar Ciwidey,” ujarnya, Sabtu 
(8/8).
Di tahun 2010, tepatnya di bulan Mei presiden SBY juga mengeluarkan 
pernyataan terkait kasus terorisme juga. Dalam keterangan persnya di 
Bandara Halim Perdanakusumah, Senin (17/5/2010) sebelum bertolak ke 
Singapura dan Malaysia Presiden SBY menegaskan tujuan dari para teroris 
adalah mendirikan negara Islam. Padahal, menurut SBY, perdebatan tentang 
pendirian negara Islam sudah rampung dalam sejarah Indonesia. Aksi teroris 
juga bergeser dari target asing ke pemerintah. Ciri lain, menurut 
Presiden, para teroris menolak kehidupan berdemokrasi yang ada di negeri 
ini. Padahal, demokrasi adalah sebuah pilihan atau hasil dari sebuah 
reformasi. Karena itu menurut presiden keinginan mendirikan negara Islam 
dan sikap anti demokrasi tidak bisa diterima rakyat Indonesia.
Di satu sisi kita memang bisa menyaksikan keberanian pihak Polri luar 
biasa untuk menangkap kesekian kalinya ustad ABB, sebagian pihak 
menganggap tentu langkah ini dengan pertimbangan matang dan tidak gegabah. 
Terutama ketika Polri merasa memiliki bukti (data) yang meyakinkan untuk 
kembali menjerat ustad ABB.Dan menjadi beban moral yang sangat besar 
kiranya kalau kali ini mengulangi kegagalan, tidak bisa membuktikan 
didepan pengadilan melalui penuntut kejaksaan terbaiknya bahwa ustad ABB 
terbukti seperti yang disangkakan. Jika mampu untuk itu, tidak menutup 
kemungkinan ustad ABB akan dikenakan hukuman penjara seumur hidup atau 
hukuman mati. Dijangkauan pasal berlapis UU Terorisme. Yakni, pasal 14 jo 
pasal 7, 9, 11, dan atau pasal 11 dan atau pasal 15 jo pasal 7, 9, 11, dan 
atau pasal 13 huruf a, huruf b, huruf c UU No 15 Tahun 2003 tentang 
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Ancaman maksimalnya hukuman 
mati.Jika ini sukses, maka bisa dipastikan pemerintah AS, Australia, 
Singapura dan sekutu AS lainya mengulum senyum dan memberi warning kalau 
tugas kontra-terorisme tidak boleh berhenti sampai disitu.
Di sisi lain yang tidak bisa di abaikan, bahwa selama ini narasi tentang 
terorisme datangnya dari sepihak (polri).Lebih khusus datang dari Den88, 
dan wabil khusus lagi di sana ada satgas anti teroris di luar “struktur” 
yang dikendalikan oleh Gories Mere sekalipun saat ini dia ada di BNN 
(Badan Narkotika Nasional).Dan di sinyalir karena persahatan Gories Mere 
dengan Karni Ilyas (TV One) yang menyebabkan dalam isu terorisme TV yang 
satu ini masuk barisan terdepan untuk news update berita.Oleh karena itu, 
pada konteks ini meniscayakan penanganan kasus terorisme ini diduga sarat 
rekayasa, seperti pada kasus-kasus besar yang menghantam institusi 
polri.Misalkan pada kasus rekening gendut beberapa jendral polri, century 
gate, markus, dan semisalnya.Maka kalau sudah seperti ini, yang salah bisa 
benar dan sebaliknya serta dalih tuduhanpun bisa direka-reka berdasarkan 
paradigma subyektif yang dimiliki polri dalam melihat kasus terorisme ini. 
Lebih-lebih jika kontra-terorisme adalah proyek yang berkelindan 
didalamnya kepentingan asing dan dijadikan ajang menunjukkan “prestasi” 
dan mencari dana atau langkah pengalihan isu oleh para “komprador” asing 
dan kelompok opurtunis lokal.
Oleh karena itu perlu kiranya SBY menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut, 
sekiranya betul bahwa isu terorisme adalah murni kejahatan dan masuk 
diranah hukum. Dan terorisme bukan persoalan politik, juga bukan masalah 
agama.
Pertama; kalau ada pernyataan penangkapan ustad ABB bukan intruksi SBY 
sebagai presiden, maka artinya ada distorsi dalam penegakan hukum. Aneh 
jika Presiden menyatakan terkejut dengan penangkapan ABB, padahal Densus 
berada di bawah kendali Polri dan Kapolri bertanggung jawab langsung 
kepada presiden. Jadi Densus bekerja untuk siapa?,Sementara dari tahun 
2003-2009 Polri sudah menangkap lebih dari 500 orang dalam kasus 
terorisme. Dan dimasa pemerintahan SBY banyak orang mati sekitar 40 orang 
dieksekusi dengan cara “ekstra judicial killing”. Dan minim sekali suara 
yang berteriak untuk mengatakan ini adalah “kedzaliman” atau pelanggaran 
HAM. Para penggiat HAM juga setengah hati, menyikapi soal korban proyek 
kontra-terorisme ini.
Kedua; bukankah kontra-terorisme telah SBY adopsi menjadi salah satu 
prioritas 100 hari kerja pemerintahannya? Diupayakan lahirnya blueprint 
penanganan secara koprehensif, yang terbaru dengan dibentuknya BNPT(Badan 
Nasional Penanggulangan Terorisme) melalui Peraturan Presiden no 46 tahun 
2010 yang SBY tanda tangani 16 Juli lalu. Sekaligus ini bukti implementasi 
komitmen SBY yang pernah dibicarakan bersama Obama presiden AS tentang 
terorisme. Kalau sudah seperti ini, apakah sebagai presiden tidak tahu 
menahu bagaimana langkah demi langkah, tahapan demi tahapan yang akan 
dioperasikan institusi terkait yang notabene-nya semua dibawah kendali 
presiden? Bahkan kita yakin, target-target antara dan puncak target dari 
proyek kontra-terorisme SBY juga mengetahui. J ika tidak, maka SBY itu 
presiden atau anak buah siapa?
Ketiga; jika presiden SBY menyatakan kasus terorisme tidak ada 
relevansinya dengan persoalan politik atau tidak akan menggeret ke ranah 
politik. Lantas, kenapa juga membicarakan tentang motif “negara Islam” dan 
terancamnya “demokrasi” dalam konteks ini? Kelompok yang dicap teroris 
hendak mendirikan negara Islam, dan SBY sendiri memberikan prespektifnya 
bahwa wacana negara Islam bagi Indonesia sudah menjadi sejarah masa lalu? 
Begitu juga, tentang ancaman kelompok tersebut terhadap kelangsungan 
demokrasi, atau di sesi lain SBY menempatkan dirinya sebagai obyek yang 
terancam dan pernah mengkaitkan kelompok terorisme terhadap kelangsungan 
pemilu di tahun 2009. Ambigu bukan?atau mungkin ada tafsiran lain tentang 
politik versi presiden SBY?
Keempat; kalau SBY menjelaskan kasus ini adalah kejahatan dan tidak 
terkait dengan agama.Maka ada pertanyaan penting, kenapa SBY tidak pernah 
menegur insan media yang sedemikian rupa membangun opini dan persepsi 
masyarakat secara kontinyu dan simultan yang menstigmatisasi Islam dengan 
teroris? Contoh terbaru Upaya membangun stigma negatif terhadap Islam. 
Salah satunya tampak dari pemberitaan detik.com dengan judul : 
Penggerebekan Teroris di Bandung, Ditemukan Lembaran Kertas Arab Gundul 
Soal Hijrah dan Jihad. Detik.com (8/8) melaporkan dalam mobil milik Fahri, 
yang ditangkap Densus 88 karena diduga teroris, ditemukan ceceran kertas 
berisi tulisan arab gundul, antara lain soal kumpulan fatwa Ibnu Taimiyyah 
soal jihad, hijrah, dan dakwah. Lebih lanjut dilaporkan, ceceran kertas 
itu ada yang berupa tulisan tangan dan berupa print out, dengan beragam 
ukuran. Semua berisi tulisan arab gundul. Terdapat empat lembar kertas 
print out arab gundul merupakan kumpulan fatwa Ibnu Taimiyyah soal jihad, 
hijrah, dan dakwah.Hal ini merupakan upaya membangun citra negatif 
terhadap syariah Islam. Contoh lain, mantan PM Inggris Tony Blair, di 
hadapan Konggres Partai Buruh pernah menyatakan Islam sebagai ideologi 
iblis (BBC News, 16 Juli 2005) dengan ciri-ciri : (1) ingin mengeliminasi 
Israel ; (2) menjadikan syariat Islam sebagai sumber hukum ; (3) 
menegakkan khilafah ; (4) bertentang dengan nilai-nilai liberal.Hal senada 
direkomendasikan Cheryl Benard. Usulannya ada beberapa ide yang harus 
terus menerus diangkat untuk menjelekkan citra Islam : prihal demokrasi 
dan HAM, poligami, sanksi kriminal, keadilan Islam, minoritas, pakaian 
wanita, dan kebolehan suami untuk memukul istri. (Civil democratic Islam, 
partners , resources, and strategies, the Rand Corporation )
Dan apakah presiden SBY tidak pernah merasa adanya fakta pengkambing 
hitaman Islam dan kaum muslimin dalam persoalan ini? seharusnya SBY sadar, 
betapa umat Islam di Indonesia nyaris tidak bisa memberikan pembelaan, 
bahkan menerima kekalahan (apologis) dengan istilah teroris itu yang 
identik dengan; orang berjenggot, celana cingkrang, gamis, cadar, jidat 
hitam, orang yang sering aktif kemasjid, pengajian-pengajian kecil 
(usroh/halqoh/liqo’), pesantren, atau aktifis yang mengusung penegakkan 
syariat dalam koridor negara, atau ketika menempatkan AS adalah musuh 
Islam.Ini peran media, jelas-jelas mengkaitkan agama dengan isu 
teroris.Lebih jauh, kalau mau jujur, bukankah ketika pihak penegak hukum 
dan lebih khusus Den88 atau satgas anti teror lainya ketika melakukan 
pemetaan (maping) tentang ancaman baik dalam kontek global atau lokal 
(Indonesia) maka kesimpulanya adalah Islam sebagai ancaman?lebih spesifik 
Islam Ideologis, atau gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok yang mengusung 
Islam sebagai ideologi. Lantas bagaimana bisa SBY mengatakan bahwa perkara 
terorisme tidak terkait agama? Sangat aneh bukan?
Kelima; di institusi yang terkait dengan proyek kontra-terorisme dibawah 
kementerian PolHukam terlihat paradigma yang dibangun ketika berbicara 
tentang terorisme selalu dikaitkan dengan pemahaman agama yang di anggap 
radikal dan fundamentalis. Karenanya perlu langkah-lengkah de-radikalisasi 
dengan beberapa strategi yang softh. Misalkan dengan mengarusutamakan 
tokoh-tokoh Islam moderat, menggalakkan interfaith dialog (dialog antar 
iman), diterbitkannya buku-buku yang moderat dan merubah kurikulum 
pesantren atau sekolah, masih banyak strategi lainya yang semuanya 
dianggap bisa mempertahankan format Indonesia yang pluralis, liberal, 
demokratis yang berdiri diatas ideologi kapitalis-sekuler. Maka bagaimana 
SBY menjelaskan ini semua? Rakyat semua ingat, sikap yang ditampilkan SBY 
dihadapan publik selama ini adalah mengedepankan dialog dalam 
menyelesaikan persoalan lantas bagaimana dengan persoalan teroris? 
Beranikah SBY dialog dan debat terbuka dengan kelompok-kelompok yang di 
cap radikal dan fundamentalis untuk bicara problem kenegaraan dan politik 
secara fair dalam rangka mencari solusi terbaik untuk Indonesia? Sehingga 
SBY dan jajaran dibawahnya tidak selalu su’udzan dengan apa yang 
diperjuangkan oleh kelompok tersebut.
Sekali lagi, wajar kalau akhirnya presiden SBY dianggap sangat ambigu 
dalam kasus “terorisme” ini atau bahkan terkesan mau “cuci tangan”. Semoga 
semua pemimpin institusi yang terlibat proyek kontra-terorisme itu kalau 
mereka orang muslim, maka masih tersisa iman dan Islamnya, hingga sadar 
tidak ada satupun perkataan yang keluar dari mulut mereka kecuali ada dua 
Malaikat yang mencatatnya dan hisab Allah SWT adalah seadil-adil 
hisab.umat Islam Indonesia butuh pemimpin yang bisa melindungi agama dan 
harga dirinya,dan bukan sebaliknya; pemimpin yang jadi “hamba” dari 
penguasa negara-negara kafir imperialis dan mendzalimi umatnya. Wallahu 
a’lam bisshowab.[]
sumber :
http://hizbut-tahrir.or.id/2010/08/12/sikap-ambigu-presiden-sby-soal-terorisme-aneh/
http://hizbut-tahrir.or.id/2010/08/12/sikap-ambigu-presiden-sby-soal-terorisme-aneh/




----Email Diteruskan----

Dari: sultanba...@yahoo.co.id
Kepada: mediau...@yahoogroups.com
Kepada: mediau...@yahoogroups.com
Email Keluar: Sab, 14 Agt 2010 11:46 WIB
Judul: [mediaumat] Sikap Ambigu Presiden SBY Soal “Terorisme”, Aneh!

 

postingan yang sangat bagus ..... di baca tuntas ya ,  karena masuk di akal alias nalar dalam benak kita sebagai rakyatnya  .....

Sikap Ambigu Presiden SBY Soal “Terorisme”, Aneh!

Oleh: Harits Abu Ulya (Ketua Lajnah Siyasiah DPP-HTI)

Akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono angkat bicara soal terorisme, sebelumnya lewat jubir presiden Julian A Pasha menyatakan bahwa presiden SBY sudah mengetahui perihal penangkapan Abu Bakar Ba’asyir melalui Kapolri di hari Senen (9/8). Plus tepisan kalau penangkapan tersebut bukan intruksi dari SBY. Kemudian saat Presiden SBY rapat kabinet di Sekretariat Negara mengingatkan kasus terorisme tidak bisa dikaitkan dengan agama maupun politik. Ia menegaskan terorisme merupakan kejahatan yang terkait dengan hukum. “Saya tak pernah membawa terorisme ke dalam arena politik, karena bukan politik. Juga tidak membawa terorisme ke arena agama, karena terorisme bukan ajaran agama,” kata SBY di Gedung Sekretariat Negara, komplek Istana Negara, Jakarta, Selasa (10/8).

Dan SBY mempercayakan kepada penegak hukum untuk menangani dengan cara tepat,profesional, akuntabel, dan dapat dijelaskan kepada publik. Bahkan menambahkan bahwa masalah ini sensitif dan sering melahirkan salah paham diantara masyarakat terhadap apa yang dilakukan penegak hukum.

Rasanya kelewat wajar kalau sebagian orang mengkritik sikap SBY, ambigu bahkan ada yang katakan lebay. Dalam kasus terorisme, masih terekam beberapa jejak sikap SBY yang ditampilkan dihadapan publik yang menunjukkan ambiguitasnya. Menjelang Pemilu Presiden di tahun 2009 silam,SBY mengomentari peristiwa bom di JW Marriott dan The Ritz Carlton, 17 Juli 2009. SBY mengatakan secara eksplisit, dirinya termasuk salah satu target incaran penembakan oleh kelompok yang ingin menggagalkan pemerintahan yang demokratis. “Berdasarkan laporan intelijen, ada upaya yang sistematis menggagalkan kelangsungan pemerintahan yang demokratis ini,” ungkap SBY merespon tragedi pengeboman di kawasan Mega Kuningan 17 Juli 2009. Hal yang sama sebelum penangkapan orang-orang yang diduga teroris dan kemudian disusul penangkapan ustad ABB, SBY juga mengeluh menyatakan dirinya menjadi sasaran kelompok teroris. “Saya dapat laporan tadi malam dari jajaran pengamanan, ada di antara anak bangsa yang punya niat tidak baik yang sekarang ada di sekitar Ciwidey,” ujarnya, Sabtu (8/8).

Di tahun 2010, tepatnya di bulan Mei presiden SBY juga mengeluarkan pernyataan terkait kasus terorisme juga. Dalam keterangan persnya di Bandara Halim Perdanakusumah, Senin (17/5/2010) sebelum bertolak ke Singapura dan Malaysia Presiden SBY menegaskan tujuan dari para teroris adalah mendirikan negara Islam. Padahal, menurut SBY, perdebatan tentang pendirian negara Islam sudah rampung dalam sejarah Indonesia. Aksi teroris juga bergeser dari target asing ke pemerintah. Ciri lain, menurut Presiden, para teroris menolak kehidupan berdemokrasi yang ada di negeri ini. Padahal, demokrasi adalah sebuah pilihan atau hasil dari sebuah reformasi. Karena itu menurut presiden keinginan mendirikan negara Islam dan sikap anti demokrasi tidak bisa diterima rakyat Indonesia.

Di satu sisi kita memang bisa menyaksikan keberanian pihak Polri luar biasa untuk menangkap kesekian kalinya ustad ABB, sebagian pihak menganggap tentu langkah ini dengan pertimbangan matang dan tidak gegabah. Terutama ketika Polri merasa memiliki bukti (data) yang meyakinkan untuk kembali menjerat ustad ABB.Dan menjadi beban moral yang sangat besar kiranya kalau kali ini mengulangi kegagalan, tidak bisa membuktikan didepan pengadilan melalui penuntut kejaksaan terbaiknya bahwa ustad ABB terbukti seperti yang disangkakan. Jika mampu untuk itu, tidak menutup kemungkinan ustad ABB akan dikenakan hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Dijangkauan pasal berlapis UU Terorisme. Yakni, pasal 14 jo pasal 7, 9, 11, dan atau pasal 11 dan atau pasal 15 jo pasal 7, 9, 11, dan atau pasal 13 huruf a, huruf b, huruf c UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Ancaman maksimalnya hukuman mati.Jika ini sukses, maka bisa dipastikan pemerintah AS, Australia, Singapura dan sekutu AS lainya mengulum senyum dan memberi warning kalau tugas kontra-terorisme tidak boleh berhenti sampai disitu.

Di sisi lain yang tidak bisa di abaikan, bahwa selama ini narasi tentang terorisme datangnya dari sepihak (polri).Lebih khusus datang dari Den88, dan wabil khusus lagi di sana ada satgas anti teroris di luar “struktur” yang dikendalikan oleh Gories Mere sekalipun saat ini dia ada di BNN (Badan Narkotika Nasional).Dan di sinyalir karena persahatan Gories Mere dengan Karni Ilyas (TV One) yang menyebabkan dalam isu terorisme TV yang satu ini masuk barisan terdepan untuk news update berita.Oleh karena itu, pada konteks ini meniscayakan penanganan kasus terorisme ini diduga sarat rekayasa, seperti pada kasus-kasus besar yang menghantam institusi polri.Misalkan pada kasus rekening gendut beberapa jendral polri, century gate, markus, dan semisalnya.Maka kalau sudah seperti ini, yang salah bisa benar dan sebaliknya serta dalih tuduhanpun bisa direka-reka berdasarkan paradigma subyektif yang dimiliki polri dalam melihat kasus terorisme ini. Lebih-lebih jika kontra-terorisme adalah proyek yang berkelindan didalamnya kepentingan asing dan dijadikan ajang menunjukkan “prestasi” dan mencari dana atau langkah pengalihan isu oleh para “komprador” asing dan kelompok opurtunis lokal.

Oleh karena itu perlu kiranya SBY menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut, sekiranya betul bahwa isu terorisme adalah murni kejahatan dan masuk diranah hukum. Dan terorisme bukan persoalan politik, juga bukan masalah agama.

Pertama; kalau ada pernyataan penangkapan ustad ABB bukan intruksi SBY sebagai presiden, maka artinya ada distorsi dalam penegakan hukum. Aneh jika Presiden menyatakan terkejut dengan penangkapan ABB, padahal Densus berada di bawah kendali Polri dan Kapolri bertanggung jawab langsung kepada presiden. Jadi Densus bekerja untuk siapa?,Sementara dari tahun 2003-2009 Polri sudah menangkap lebih dari 500 orang dalam kasus terorisme. Dan dimasa pemerintahan SBY banyak orang mati sekitar 40 orang dieksekusi dengan cara “ekstra judicial killing”. Dan minim sekali suara yang berteriak untuk mengatakan ini adalah “kedzaliman” atau pelanggaran HAM. Para penggiat HAM juga setengah hati, menyikapi soal korban proyek kontra-terorisme ini.

Kedua; bukankah kontra-terorisme telah SBY adopsi menjadi salah satu prioritas 100 hari kerja pemerintahannya? Diupayakan lahirnya blueprint penanganan secara koprehensif, yang terbaru dengan dibentuknya BNPT(Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) melalui Peraturan Presiden no 46 tahun 2010 yang SBY tanda tangani 16 Juli lalu. Sekaligus ini bukti implementasi komitmen SBY yang pernah dibicarakan bersama Obama presiden AS tentang terorisme. Kalau sudah seperti ini, apakah sebagai presiden tidak tahu menahu bagaimana langkah demi langkah, tahapan demi tahapan yang akan dioperasikan institusi terkait yang notabene-nya semua dibawah kendali presiden? Bahkan kita yakin, target-target antara dan puncak target dari proyek kontra-terorisme SBY juga mengetahui. J ika tidak, maka SBY itu presiden atau anak buah siapa?

Ketiga; jika presiden SBY menyatakan kasus terorisme tidak ada relevansinya dengan persoalan politik atau tidak akan menggeret ke ranah politik. Lantas, kenapa juga membicarakan tentang motif “negara Islam” dan terancamnya “demokrasi” dalam konteks ini? Kelompok yang dicap teroris hendak mendirikan negara Islam, dan SBY sendiri memberikan prespektifnya bahwa wacana negara Islam bagi Indonesia sudah menjadi sejarah masa lalu? Begitu juga, tentang ancaman kelompok tersebut terhadap kelangsungan demokrasi, atau di sesi lain SBY menempatkan dirinya sebagai obyek yang terancam dan pernah mengkaitkan kelompok terorisme terhadap kelangsungan pemilu di tahun 2009. Ambigu bukan?atau mungkin ada tafsiran lain tentang politik versi presiden SBY?

Keempat; kalau SBY menjelaskan kasus ini adalah kejahatan dan tidak terkait dengan agama.Maka ada pertanyaan penting, kenapa SBY tidak pernah menegur insan media yang sedemikian rupa membangun opini dan persepsi masyarakat secara kontinyu dan simultan yang menstigmatisasi Islam dengan teroris? Contoh terbaru Upaya membangun stigma negatif terhadap Islam. Salah satunya tampak dari pemberitaan detik.com dengan judul : Penggerebekan Teroris di Bandung, Ditemukan Lembaran Kertas Arab Gundul Soal Hijrah dan Jihad. Detik.com (8/8) melaporkan dalam mobil milik Fahri, yang ditangkap Densus 88 karena diduga teroris, ditemukan ceceran kertas berisi tulisan arab gundul, antara lain soal kumpulan fatwa Ibnu Taimiyyah soal jihad, hijrah, dan dakwah. Lebih lanjut dilaporkan, ceceran kertas itu ada yang berupa tulisan tangan dan berupa print out, dengan beragam ukuran. Semua berisi tulisan arab gundul. Terdapat empat lembar kertas print out arab gundul merupakan kumpulan fatwa Ibnu Taimiyyah soal jihad, hijrah, dan dakwah.Hal ini merupakan upaya membangun citra negatif terhadap syariah Islam. Contoh lain, mantan PM Inggris Tony Blair, di hadapan Konggres Partai Buruh pernah menyatakan Islam sebagai ideologi iblis (BBC News, 16 Juli 2005) dengan ciri-ciri : (1) ingin mengeliminasi Israel ; (2) menjadikan syariat Islam sebagai sumber hukum ; (3) menegakkan khilafah ; (4) bertentang dengan nilai-nilai liberal.Hal senada direkomendasikan Cheryl Benard. Usulannya ada beberapa ide yang harus terus menerus diangkat untuk menjelekkan citra Islam : prihal demokrasi dan HAM, poligami, sanksi kriminal, keadilan Islam, minoritas, pakaian wanita, dan kebolehan suami untuk memukul istri. (Civil democratic Islam, partners , resources, and strategies, the Rand Corporation )

Dan apakah presiden SBY tidak pernah merasa adanya fakta pengkambing hitaman Islam dan kaum muslimin dalam persoalan ini? seharusnya SBY sadar, betapa umat Islam di Indonesia nyaris tidak bisa memberikan pembelaan, bahkan menerima kekalahan (apologis) dengan istilah teroris itu yang identik dengan; orang berjenggot, celana cingkrang, gamis, cadar, jidat hitam, orang yang sering aktif kemasjid, pengajian-pengajian kecil (usroh/halqoh/liqo’), pesantren, atau aktifis yang mengusung penegakkan syariat dalam koridor negara, atau ketika menempatkan AS adalah musuh Islam.Ini peran media, jelas-jelas mengkaitkan agama dengan isu teroris.Lebih jauh, kalau mau jujur, bukankah ketika pihak penegak hukum dan lebih khusus Den88 atau satgas anti teror lainya ketika melakukan pemetaan (maping) tentang ancaman baik dalam kontek global atau lokal (Indonesia) maka kesimpulanya adalah Islam sebagai ancaman?lebih spesifik Islam Ideologis, atau gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok yang mengusung Islam sebagai ideologi. Lantas bagaimana bisa SBY mengatakan bahwa perkara terorisme tidak terkait agama? Sangat aneh bukan?

Kelima; di institusi yang terkait dengan proyek kontra-terorisme dibawah kementerian PolHukam terlihat paradigma yang dibangun ketika berbicara tentang terorisme selalu dikaitkan dengan pemahaman agama yang di anggap radikal dan fundamentalis. Karenanya perlu langkah-lengkah de-radikalisasi dengan beberapa strategi yang softh. Misalkan dengan mengarusutamakan tokoh-tokoh Islam moderat, menggalakkan interfaith dialog (dialog antar iman), diterbitkannya buku-buku yang moderat dan merubah kurikulum pesantren atau sekolah, masih banyak strategi lainya yang semuanya dianggap bisa mempertahankan format Indonesia yang pluralis, liberal, demokratis yang berdiri diatas ideologi kapitalis-sekuler. Maka bagaimana SBY menjelaskan ini semua? Rakyat semua ingat, sikap yang ditampilkan SBY dihadapan publik selama ini adalah mengedepankan dialog dalam menyelesaikan persoalan lantas bagaimana dengan persoalan teroris? Beranikah SBY dialog dan debat terbuka dengan kelompok-kelompok yang di cap radikal dan fundamentalis untuk bicara problem kenegaraan dan politik secara fair dalam rangka mencari solusi terbaik untuk Indonesia? Sehingga SBY dan jajaran dibawahnya tidak selalu su’udzan dengan apa yang diperjuangkan oleh kelompok tersebut.

Sekali lagi, wajar kalau akhirnya presiden SBY dianggap sangat ambigu dalam kasus “terorisme” ini atau bahkan terkesan mau “cuci tangan”. Semoga semua pemimpin institusi yang terlibat proyek kontra-terorisme itu kalau mereka orang muslim, maka masih tersisa iman dan Islamnya, hingga sadar tidak ada satupun perkataan yang keluar dari mulut mereka kecuali ada dua Malaikat yang mencatatnya dan hisab Allah SWT adalah seadil-adil hisab.umat Islam Indonesia butuh pemimpin yang bisa melindungi agama dan harga dirinya,dan bukan sebaliknya; pemimpin yang jadi “hamba” dari penguasa negara-negara kafir imperialis dan mendzalimi umatnya. Wallahu a’lam bisshowab.[]

sumber :

http://hizbut-tahrir.or.id/2010/08/12/sikap-ambigu-presiden-sby-soal-terorisme-aneh/
http://hizbut-tahrir.or.id/2010/08/12/sikap-ambigu-presiden-sby-soal-terorisme-aneh/

Kirim email ke