Puasa dan Manusia Unggul

Oleh: Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj

Jawa Pos, Kamis, 12 Agustus 2010



BULAN Ramadan telah tiba kembali. Untuk yang kesekian, kita diberi
kesempatan merasakan nikmatnya berpuasa. Dengan berpuasa, kita bisa lebih
menikmati arti seteguk air bagi tenggorokan yang kering. Dengan berpuasa,
kita jadi lebih tahu manfaat sepiring nasi bagi perut yang lapar. Bukankah
hanya dengan kelaparan kita mengetahui apa itu kenyang, dan hanya dengan
kehausan kita mengetahui apa itu kesegaran?

Hakikatnya, puasa tidak hanya berhubungan dengan kenyang dan lapar. Memang,
dari sisi pandang syariat, puasa sangat identik dengan pengekangan lahiriah
yang biasa diartikulasikan dengan "menahan diri dari makan, minum, dan
berhubungan dengan istri dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari." Hal
itu dapat dirunut dari makna puasa secara bahasa yang berasal dari bahasa
Arab shama, yang berarti amsaka, yaitu menahan, mengekang, berhenti, atau
tidak bergerak.


Namun, jika ditelusuri lebih jauh, tampaknya, kata sha-wa-ma yang berarti
menahan juga merujuk kepada aktivitas batiniah. Puasa juga bermakna menahan
hati dari berbagai hal negatif yang bisa merusak jiwa, seperti iri, dengki,
sombong, riya, ujub, dan penyakit hati yang lain. Dengan demikian, dalam
berpuasa, seorang muslim sebenarnya dilatih menyinergikan dua eksistensi
yang berbeda, yaitu jasmaniah dan rohaniah. Sebab, di dalam rohani kita
terdapat ide-ide kebaikan yang akan diejawantahkan jasmani dalam sikap hidup
keseharian.


Manusia Unggul


Manusia pada dasarnya diciptakan sebagai makhluk yang baik. Allah memberi
manusia komponen diri untuk digunakan sebagai penjaga kemuliaan diri seraya
terus membangun kedirian menuju derajat yang lebih baik. Karena hidup nyata
di muka bumi, manusia lalu mengalami pergulatan hidup. Banyak tantangan dan
godaan yang akan selalu melingkupi kehidupan manusia. Dunia memang tidaklah
hampa, melainkan jamak dengan berbagai warna. Justru kebinekaan hidup itulah
yang kemudian mendorong manusia bergulat dengan kehidupan. Di situlah
sesungguhnya "lahan" menyemai bagi manusia untuk mewujudkan dirinya sebagai
khalifatullah. Rasulullah mewanti-wanti, ''Dunia adalah tempat menyemai bagi
kelak kehidupan di akhirat."


Dalam pelatihan sufistik, lazim dikenal beberapa instrumen pelatihan dalam
rangka memberdayakan kedirian manusia. Ibarat membangun sebuah usaha, sudah
tentu seseorang memerlukan "manajemen" agar usahanya dapat berjalan baik dan
lancar. Demikian pula halnya dengan ikhtiar untuk memberdayakan diri. Dewasa
ini memang sudah cukup banyak upaya pelatihan diri seperti ESQ, emotional
quality management, dan sebagainya. Kenyataan itu menjadi petunjuk bahwa
manusia sekarang sudah begitu sadar untuk meningkatkan potensi dirinya,
terutama yang berkaitan dengan kebutuhan praktis-pragmatis. Lagi-lagi, semua
itu disebabkan yang menjadi inti pemberdayaan sesungguhnya harus bertumpu
kepada manusia, bukan terfokus kepada sistem. Bila manusia unggul, sistem
apa pun akan mudah dirancang dan dikerjakan.


Dalam jagat rohaniah, manusia mempunyai beberapa ornamen, antara lain, qalb
dan dlamir. Biasanya, qalb diartikan dalam bahasa Indonesia dengan hati.
Tetapi, makna sebenarnya bukanlah merujuk kepada segumpal daging yang
terletak di dalam rongga tubuh manusia, namun lebih menunjuk kepada sesuatu
yang bersifat rohani, metafisik, dan bukan jasmaniah. Qalb inilah yang
sering juga disebut sebagai mata hati (eye of heart) atau bashirah. Bashirah
mempunyai potensi untuk melihat kebaikan dan keburukan. Bashirah adalah
ruang dalam diri manusia yang dapat memilah antara yang baik dan yang buruk.
Bashirah merupakan alat pendeteksi yang dianugerahkan oleh Allah kepada
manusia.


Apabila bashirah hanya bisa melihat dan memilah antara yang baik dan yang
buruk, maka dlamir berfungsi memotivasi manusia untuk berbuat kebaikan dan
menjauh dari hal-hal yang buruk. Oleh karena itu, dlamir juga dapat
diartikan sebagai moral. Dengan demikian, jika dilihat dari sisi
kualifikasi, konteks, dan batasannya, dlamir (moral) dapat dibagi menjadi
tiga. Pertama, dlamir ijtima'i, yakni moralitas yang terbentuk karena
lingkungan dan bersifat sosial. Di sini, moralitas lahir sebagai kesepakatan
secara sosial. Kedua, dlamir qanuni, yaitu moralitas yang terbentuk karena
norma-norma serta ketentuan-ketentuan yang berlaku dan bersifat legal.
Ketiga, dlamir dini, yaitu moralitas berdasar petunjuk agama.


Manusia memang harus selalu diwanti-wanti agar mau melatih batiniahnya. Pada
era modernisasi seperti sekarang ini, kesadaran untuk senantiasa melatih
segi batiniah perlu ditingkatkan. Secara nyata, hal itu berkait dengan
pemberdayaan diri guna menghasilkan masyarakat yang berdisiplin, bersih, dan
peduli. Puasa Ramadan kiranya menjadi momentum tepat untuk melatih diri
menuju pemberdayaan kemanusiaan dan keilahian.


Nah, puasa pada dasarnya merupakan pekerjaan dlamir, baik dlamir ijtima'i,
qanuni, maupun dlamir dini. Di dalam puasa terkandung berbagai macam aspek
yang tidak terbatas pada masalah keagamaan saja, namun juga norma dan
sosial. Ketika berniat puasa di malam hari untuk menahan diri dari makan dan
minum serta berbagai hal yang keji hanya karena Allah, secara otomatis kita
telah ikut menjaga kestabilan lingkungan, keamanan, dan ketertiban. Sebab,
sebagai seorang yang menjalankan puasa (shaim), kita tidak akan melangkahkan
kaki dan mengayunkan tangan untuk hal-hal yang dianggap masyarakat sebagai
hal keji dan buruk.


Saat ini negeri kita tengah mendambakan lahirnya pribadi-pribadi yang
mempunyai integritas moral yang tinggi sehingga segala bentuk penyelewengan
yang kerap menayang dalam keseharian kita akan bisa diminimalkan. Negara
yang berperadaban tinggi (madinah al-fadhilah) sesungguhnya adalah tempat
berkumpulnya pribadi-pribadi yang unggul.


Penulis adalah Ketua Umum PBNU


-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke