Cinta Konseptual dan Cinta Kongkret

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid


Minggu lalu, kembali penulis memutar compact disc (CD) di mobilnya dan
mendengarkan lagu-lagu hard rock yang diciptakan Dhani Dewa. Penulis memutar
lagu-lagu tersebut untuk mencari tahu apa sebabnya pihak-pihak 'Islam garis
keras' marah kepadanya dan berniat menyeretnya ke pengadilan? atau minimal
untuk 'menakuti' anak-anak muda yang hendak membeli kaset atau CD tersebut.
Sampai-sampai terpaksa penulis membelanya, demi mempertahankan terhadap
kemungkinan pelanggaran Undang-Undang Dasar dengan adanya tindak kekerasan
terhadap grup band ini. Karena alasan yang digunakan, sama sekali tidak
masuk akal manusia yang berpikir sehat.



Menentang sesuatu secara terbuka dan terang-terangan, tanpa kejelasan
sebab-sebabnya adalah perbuatan gila yang tidak akan dilakukan penulis.
Karena itulah penulis mendengarkan CD di atas.



Ternyata Dewa Band hanya bernyanyi biasa-biasa saja. Penulis lebih kagum
pada permainan musik dan olah instrument yang dibawakan mereka, daripada
oleh lirik-lirik berbagai nyanyian yang dipersembahkan oleh band musik
tersebut. Karena lagu-lagu tersebut memang produk musik dan bukanya produk
sastra, maka hal itu sebenarnya adalah wajar-wajar saja. Bukankah lagu Natal
yang dibawakan mendiang Jim Reeves laku dipasaran lebih dari lima puluh juta
copy kaset, sebenarnya kuat dalam permainan musik dan bukannya dalam
kata-kata? Karya Dhani Dewa dan kawan-kawannya inipun seperti itu juga,
sehingga kita tidak 'terkecoh' hanya oleh liriknya yang digelar. Padahal
apresiasi yang kuat juga harus diberkan atas musiknya secara keseluruhan dan
tidak melulu karena liriknya. Namun, bagaimanapun juga telisik atas
lirik-liriknya harus dilakukan, jika kita ingin tahu sebab sebenarnya dari
'serangan' terhadap lagu-lagu ciptaan mereka itu. Itulah kira-kira sikap
yang sehat dan tidak berpihak, yang seharusnya diambil dalam kasus ini.



Ketika penulis kembali mendengarkan dengan teliti, barulah diketahui apa
sebab Front Pembela Islam menjadi marah terhadap Dhani Dewa. Yaitu karena
dalam lirik-liriknya, Dhani Dewa menunjuk kepada cinta yang kongkret kepada
Tuhan, bukannya sekedar cinta konseptual yang sering dibawakan orang dalam
lagu-lagu atau ceramah-ceramah mereka. Cinta konseptual yang dimaksudkan
adalah cinta kepada Tuhannya orang Islam, yang dikenal dengan nama Allah
SWT. Dalam pandangan ini Tuhan dianggap sebagai milik golongan mereka dan
harus diperlakukan sebagai 'tokoh golongan' mereka, bukannya 'tokoh' yang
secara umum dikenal oleh berbagai pihak sebagai Tuhan.



Bagi sementara orang, Tuhan yang begini ini sangat memuaskan karena 'mudah
dikenal'. Namun bagi seorang seniman,Tuhan yang demikian itu adalah Tuhan
yang memiliki keterbatasan karena dirumuskan sesuai dengan kemampuan
manusia. Padahal, Tuhan jauh lebih berkuasa dari pada manusia manapun,
sesuai dengan ketentuan Al-Qur'an "Dia berkuasa atas segala sesuatu" (Huwa
'ala kuli shai'in qadir). Jadi hanya Tuhan yang demikianlah yang patut
disembah. Karena itu segala macam perbuatan manusia tidak dapat dikaitkan
dengan Tuhan. Secara terus terang Dhani Dewa mengatakan "Atas nama cinta
saja. Jangan bawa-bawa nama Tuhan demi kepentingan mu." Ini adalah
kensekuensi logis dari manusia sudah diberi kekuatan oleh Tuhan. Namun hal
semacam ini tidak diterima oleh mereka yang berpandangan lain itu.



Sebenarnya orang-orang yang menolak pandangan Dhani itu tidak memiliki
argumentasi yang kuat. Karena itu mereka 'memperkuat' pandangan mereka
dengan tindakan-tindakan fisik yang keras. Mereka mengira, dengan demikian
akan tercapai keinginan mereka menghentikan 'kesalahan-kesalahan' yang
diperbuat orang-orang seperti Dhani Dewa itu. Mereka tidak memahami
kenyataan bahwa tindak kekerasan dan pengucilan fisik atas produk-produk
yang dianggap salah itu tidak akan berbuah banyak. Karena generasi muda
telah memiliki preferensi mereka sendiri, yang erat kaitannya dengan soal
selera yang mereka senangi. Maka tindakan melarang nyanyian-nyanyian itu
hanyalah tindakan ceroboh yang akan merusak kredibilitas lembaga yang
melakukannya. Paling tinggi, ia hanya menjadi lembaga pelarangan seperti
yang terjadi di masa pemerintahan Orde Baru beberapa tahun yang lalu.



Dalam sebuah masyarakat modern yang majemuk dan didasarkan pada pluralitas,
soal selera diserahkan kepada perkembangan masyarakat itu sendiri.
Karenanya, tidak akan mungkin diberlakukan sebuah larangan dalam bentuk
apapun. Karena itu dapat dipahami mengapa disamping munculnya musik Hard
rock dan Jazz disamping irama Klenengan dan Keroncong sebagai 'perwakilan'
musik tradisional. Orang boleh saja menangisi munculnya sebuah jenis musik
baru, tetapi selama musik lama dapat bertahan dipasaran, maka ia akan ada
yang mendukung. Sedangkan sebuah 'tradisi baru' akan terus muncul sebagai
perantara antara berbagai hal yang sudah ada, termasuk yang tadinya baru.



Mau tidak mau kita harus menjalani kenyataan 'tradisi' itu yang kemudian
akan kita tinggalkan sebagai warisan, dan menjadi budaya campur aduk dengan
segala kemodernannya. Dari situ, sebagian dari kita menemukan pola hidup
yang mungkin membentuk kepribadiannnya -hal itu tidak usah disesali.
Sebagian lainnya, mencoba melakukan jenis responsi apa yang ingin diberikan
terhadap kebudayaan baru yang dianggap tidak dapat ditolaknya. Ini belum
lagi jika kita masukan ke dalamnya akibat-akibat dari teknologi modern dan
sebagainya. Karena itu dapat dimengerti jika manusia dalam sebuah budaya
yang demikian, tampak tidak mampu mencari jalan keluar dan bertindak
seolah-olah menjadi manusia yang binggung.



Sementara kaum muslimin dalam menghadapi keadaan seperti itu mempunyai dua
pilihan, yaitu dari segi budaya atau institusional . Dari segi budaya, yaitu
dengan melahirkan sikap budaya kolektif yang memancarkan 'ke-Islaman',
seperti NU dan Muhammadiyah. Sebaliknya, pendekatan institusional lebih
mementingkan tumbuhnya kemampuan Islam untuk 'mengalahkan' budaya-budaya
lain. Kalau perlu memaksakan institusi Islam itu dengan kekerasan, seperti
dengan melakukan dengan pengeboman di sejumlah tempat dan sebagainya.
Responsi dengan menggunakan 'kekerasan' itu, tidak terbatas hanya dengan
menggunakan alat-alat fisik saja tetapi juga ancaman dan gertakan, seperti
yang dialami Jemaat Ahmadiyah Indonesia, maupun oleh seniman seperti Dhani
Dewa dan Inul Daratista.



Karena itu, kita harus berhati-hati untuk mengamati perkembangan
kelompok-kelompok 'pemaksa' itu. Kita bukanlah negara Islam, karenanya kita
berpegang kepada Undang-Undang Dasar. Kita harus berani mempertahankan
dengan segala cara yang sah menurut hukum Undang-Undang Dasar tersebut.
Kalau ada orang yang menyatakan kita melanggar ketentuan-ketentuan Islam,
dengan menggunakan contoh negara lain, kita harus berani menyatakan bahwa
negara kita adalah Negara Nasionalistik, bukannya Negara Islam. Kenyataan
ini harus ditekankan berulang kali. Sikap ini sebagai bagian dari sikap
melestarikan atau merubah kehidupan kita secara sungguh-sungguh., bukan?



Ciganjur, 11 September 2005



-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke