Dear nakita-ers, Semoga membantu Salam, Uttiek RESEP KOMUNIKASI EFEKTIF
Agar komunikasi orang tua nyambung
dengan anak, perhatikan kepribadian dan kematangan berpikirnya.
Komunikasi yang efektif penting dalam
kehidupan berkeluarga. Tampaknya semua orang sudah tahu itu.
Masalahnya, tidak semua orang memahami bagaimana resep berkomunikasi
yang efektif antara ayah dan ibu serta orang tua dan anak. Menurut
Roslina Verauli, M.Psi., psikolog dari Empati Development Centre,
Jakarta, komunikasi efektif berkaitan erat dengan pola asuh orang tua.
Ia kemudian "meminjam" enam tipe komunikasi yang dikemukakan F. Philip
Rice yang dikaitkan dengan pola asuh,
yaitu: 1. Tipe terbuka
Tipe ini paling sehat. Antara anak dan
orang tua terjalin komunikasi saling terbuka. Orang tua mau
mendengarkan anak dan anak secara leluasa dapat bercerita,
mengeskpresikan perasaan dan pikirannya serta berdiskusi dengan orang
tua. Tipe komunikasi ini ada pada pola asuh demokratis atau
authoritative. Umpamanya, saat kedua orang tua sedang berbicara, mereka
membolehkan anak menanggapi dan menghargai pendapatnya, "Oh, kalau
menurut pendapat Adek seperti itu, ya?"
2. Tipe permukaan
Komunikasi yang terjalin bukan pada
hal-hal penting; tidak riil, tidak detail dan sekadar basa-basi saja
sebatas permukaan. Contohnya, anak bertanya, "Mama, kenapa sedih?"
Orang tua hanya menjawab, "Ah, enggak apa-apa. Mama baik-baik saja,
kok." Jadi di saat orang tua atau anak ingin menggali cerita lebih
dalam, komunikasi tidak dapat terwujud karena tidak ada saling
keterbukaan. Penyebabnya bisa perasaan takut mengecewakan, malu, dan
sebagainya. Tipe ini biasanya ada pada pola asuh permisif atau
indulgent.
3. Tipe mengabaikan (avoidance)
Masing-masing anggota keluarga saling
menghindar sehingga tidak terjalin komunikasi. Hal ini bisa disebabkan
hubungan orang tua yang tidak harmonis atau memang karena pribadi orang
tua sendiri yang tidak terbuka terhadap anak, dan tidak peduli dengan
kebutuhan komunikasi anak-orang tua. Tipe ini biasanya ada dalam pola
asuh cuek atau neglectful. Sebenarnya tipe ini hampir sama dengan tipe
permukaan. Hanya saja, pada tipe mengabaikan ini, cara bicara orang tua
seringkali terbawa emosi. Misalnya orang tua bertanya dengan
terburu-buru sambil hendak berangkat ke kantor. "Hai, sayang, apa kabar
sekolahmu? Mama pergi dulu, ya."
"Baik-baik aja tuh," jawab anak.
"Kok, kamu menjawabnya seperti itu,
sih? Mama kan tanya baik-baik."
4. Tipe komunikasi salah
Biasanya terjadi pada pola asuh
otoriter. Orang tua cenderung menuntut anak. Bila tidak sesuai dengan
keinginan yang diharapkan, orang tua langsung marah-marah. Akibatnya
anak selalu takut berbuat salah. Jadi ketimbang kena damprat, maka anak
mengambil jalan aman dengan berbohong. Misalnya, "Tadi, aku di sekolah
dapat pujian lo Pa." Padahal mungkin saja kenyataannya tidak seperti
itu. Anak selalu berusaha menceritakan yang bagus-bagus saja atau
bicara seadanya. Contoh, "Bagaimana tadi di sekolah?"
"Baik kok, Ma," tanggap anak.
Pola asuh seperti ini bisa membuat
anak jadi tertutup pada orang tuanya.
5. Tipe komunikasi satu arah
Tipe komunikasi satu arah terjadi jika
dalam keluarga hanya ada satu figur dominan dalam berkomunikasi. Entah
ayah atau ibu. Ia yang menentukan kapan anak boleh bicara dan tidak.
Misalnya, "Adek, nanti kalau sudah makan, buat PR...."
Jika anak menyela, "Tapi, kan Ma,..."
"Eit diam! Mama kan belum habis
bicara. Dengarkan..."
Tipe komunikasi ini bisanya juga
terdapat pada pola asuh yang otoriter.
6. Tipe tanpa ada komunikasi
Antaranggota keluarga jarang terjadi
pembicaraan meskipun sebetulnya di antara mereka tidak ada konflik
nyata. Misalnya, orang tua pulang kantor masuk kamar. Anak pun
demikian, pulang sekolah langsung mengunci kamar. Akibatnya orang tua
tidak tahu keadaan dan kebutuhan anak. Ketiadaan komunikasi ini juga
ada pada tipe pola asuh neglectful.
DUA SYARAT LAIN
Nah, jika orang tua sudah menerapkan
tipe komunikasi terbuka, tinggal 2 syarat lagi yang harus dipenuhi
untuk dapat berkomunikasi efektif dengan anak. Pertama, orang tua mesti
memahami kepribadian anak. Kedua, orang tua harus melihat kematangan
berpikir anak. Jika kedua syarat tadi tidak dilakukan, jangan berharap
komunikasi antara anak dan orang tua bisa nyambung. Yang terjadi, orang
tua pun tidak tahu kebutuhan anaknya dan anak tidak tahu keinginan
orang tuanya seperti apa.
PAHAMI KEPRIBADIAN ANAK
Sebagai petunjuk, salah satu yang
mempengaruhi atau menentukan kepribadian anak yaitu temperamen. Ada 4
temperamen manusia menurut filsuf Yunani Hipocrates (460-375 SM), yakni
phelgmatic, sanguine, choleric dan melankolis. Keempat temperamen ini
ada pada diri setiap anak, hanya saja kadarnya berbeda-beda. Namun
biasanya, ada satu temperamen yang paling menonjol dari keempatnya,
seperti:
1. Tipe phelgmatic
Anak cenderung pendiam sekalipun dalam
keadaan sakit, dia tidak banyak bicara. Anak tipe ini juga lebih banyak
jadi pengamat dan bila mengerjakan sesuatu selalu tuntas. Terhadap anak
dengan temperamen seperti ini, orang tua harus lebih proaktif untuk
memancingnya bicara.
2. Tipe sanguine
Punya banyak teman dan sangat menonjol
di lingkungannya. Dalam menyelesaikan suatu pekerjaan tak pernah tuntas
karena tipe sanguine lebih senang bermain. Cirinya adalah cenderung
gembira, ceria dan mudah akrab dengan orang lain, easy going, pandai
bercerita, tak mudah marah maupun sedih, dan memiliki sifat-sifat
positif lainnya. Negatifnya, dia tak bisa membedakan situasi, sehingga
ia terlihat sebagai sosok yang tak bisa diajak serius.
Anak tipe ini bisa dikatakan banyak
cerita dan ingin diperhatikan. Kadang yang diceritakan terlalu
dilebih-lebihkan karena tujuannya untuk menarik perhatian orang lain.
Nah, hendaknya orang tua bersikap sebagai seorang pendengar yang baik
dan mengarahkan anaknya agar tidak sampai terbawa khayalan atau
berbohong. Misalnya, "Wah, tadi aku lihat Keke jatuh sampai
berdarah-darah." Orang tua mungkin bisa memintanya menjelaskan lebih
detail, "Bagian mananya yang berdarah?" Hindari reaksi, "Oh ya,
bagaimana bisa Keke sampai banjir darah?" Jika terlalu direspons
seperti itu anak akan melebih-lebihkan lagi ceritanya. Jika tidak
diarahkan, kelak anak akan sulit membedakan mana yang kenyataan dan
mana yang hanya khayalan/pikirannya saja.
3. Tipe choleric
Anak terlihat gesit, energik dan
nyaris tak pernah diam. Memiliki bakat memimpin, tangguh sekaligus
berkemauan keras untuk belajar dan maju. Paling tak suka diatur, punya
kemauan sendiri, dan cukup keras. Misalnya, anak tidak mau disuruh
mandi, "Dek, ayo mandi sudah siang."
"Enggak mau, ah, Ma, pengin nonton
dulu."
Nah, kalau dia membantah seperti itu,
hendaknya orang tua tidak terpancing marah. Akan lebih bijaksana jika
berkata "Ayo, dong, mandi. Mandi pagi itu kan sehat. Lihat, deh
teman-temanmu di luar sudah mandi semua."
Sementara untuk anak yang sudah lebih
besar orang tua harus bicara tegas dan konsisten karena untuk
menghadapi anak tipe ini orang tua harus tetap memegang kendali atau
lebih dominan (perpaduan antara komunikasi terbuka dan satu arah).
Kalau tidak, anak bisa berkembang semau-maunya dan jadi susah diatur.
Hal yang harus diwaspadai, anak
bertemperamen seperti ini cenderung mengabaikan perasaan orang lain,
sulit bertenggang rasa pada usaha dan penderitaan yang tengah dilakukan
orang lain, serta tidak suka melihat anak lain merengek. Jadi tak salah
bila orang tua mengajarkan nilai empati kepada anak seperti ini.
Misalnya untuk anak di bawah 7 tahun, "Kalau Adit ingin mainan Bino,
minta baik-baik, jangan direbut. Tuh, lihat Bino, dia jadi sedih."
Sedangkan bagi anak usia di atas 7 tahun, katakan seperti ini, "Coba
deh, kalau kamu diejek teman, rasanya kesal bukan? Begitu juga kalau
temanmu diejek."
4. Tipe melankolis
Anak sangat sensitif dan berperasaan
halus, cenderung pendiam dan tertutup. Namun, ia kurang bisa
mengekspresikan perasaannya. Kelebihannya, dalam bekerja anak bertempe
ramen seperti ini termasuk perfeksionis. Orang tua mesti pandai-pandai menjaga perasaannya. Jangan sampai menyinggung dan membuat hatinya terluka. Bila ia berbuat salah, tegur dengan
halus dan terfokus pada kesalahan yang dilakukannya. Hindari cara-cara
kasar, seperti membentak-bentak atau melabelinya dengan predikat
negatif, seperti, "Kamu memang nakal!" Hal ini akan membekas pada
benaknya dan anak menganggap apa yang dikatakan orang tua merupakan hal
yang sesungguhnya, yaitu bahwa dirinya memang anak nakal. Kalau sudah
begitu, anak cenderung tambah tertutup.
Namun jika cara penanganannya tepat,
dalam arti orang tua selalu menggunakan bahasa yang baik dan halus saat
berkomunikasi dengannya, maka anak pun bisa menjalin komunikasi yang
terbuka dan merasa dekat dengan orang tua.
KEMATANGAN BERPIKIR
Setiap komunikasi verbal pasti
melibatkan kemampuan kognitif. Bukankah kemampuan berbahasa berkembang
seiring dengan kemampuan kognitif atau berpikir anak? Nah, kemampuan
berpikir ini sejalan dengan meningkatnya usia. Menurut Jean Piaget,
seorang tokoh psikologi perkembangan, kemampuan berpikir anak 7 tahun
ke bawah dengan 7 tahun ke atas memiliki perbedaan nyata. Anak di bawah
7 tahun ada dalam tahap berpikir praoperasional. Maksudnya dalam
memahami sesuatu anak masih berpikir konkret atau belum dapat berpikir
secara abstrak. Kemampuan berbahasanya pun masih terbatas.
Sementara kemampuan berpikir anak di
atas 7 sudah berada pada tahap operasional. Ia sudah dapat memahami
hal-hal yang abstrak. Pergaulan mereka semakin kompleks, tak hanya
sebatas lingkungan keluarga tetapi juga teman bermain di luar
keluarganya atau peer group, dan sering membuat kendala komunikasi
(jarak) dengan orang tua. Di usia ini pada umumnya mereka lebih senang
mencurahkan isi hatinya pada teman ketimbang pada orang tuanya.
Oleh karena itu, lanjut Vera, orang
tua mesti memiliki siasat komunikasi berdasarkan temperamen dan
kematangan berpikir anak. Bedakan kala berkomunikasi dengan si adik
yang berusia masih berusia 6 tahun dengan cara berbicara dengan si
kakak yang sudah berusia 9 tahun misalnya. Pada anak usia 6 tahun,
orang tua bisa berkata, "Kalau Adek mengambil barang Nino, nanti Nino
jadi sedih." Sedangkan untuk anak 9 tahun, orang tua bisa bicara dengan
lebih abstrak, "Kamu enggak boleh mengambil uang Bunda tanpa izin. Itu
namanya mencuri, dan mencuri adalah perbuatan dosa."
KOMUNIKASI YANG EFEKTIF
Walau begitu, kata wanita yang akrab
disapa Vera, berkomunikasi efektif tidak bisa dirumuskan secara eksak.
Bagaimanapun juga, setiap anak memiliki karakteristik berbeda-beda yang
membutuhkan pendekatan berbeda-beda pula. Jadi, orang tualah yang lebih
tahu rumusan berkomunikasi efektif dengan anaknya. Sekadar sebagai
petunjuk, inilah beberapa hal yang dapat dijadikan patokan atau
bahan-bahas dasar dalam sebuah resep berkomunikasi efektif. Tentu saja
orang tua harus menambahkan bumbu tersendiri yang disesuaikan dengan
kepribadian anaknya.
Dedeh Kurniasih. Foto: Ferdi/nakita
KOMUNIKASI EFEKTIF TERHADAP ANAK 7 TAHUN KE BAWAH: * Gunakan bahasa yang singkat,
sederhana dan tidak panjang lebar
Orang dewasa saja terkadang bingung
jika mendengar pembicaran yang panjang lebar, apalagi anak. Lantaran
itu, gunakan komunikasi yang to the point sehingga maksud orang tua
dapat lebih mudah dipahami. Misalnya, "Dek, buang kertasnya di
keranjang sampah dong."
* Gunakan bahasa sekonkret mungkin
Ketimbang berkata, "Kamu tidak boleh
egois terhadap teman." Lebih baik katakan, "Rara dikasih kuenya, ya
sayang. Kan, enak kalau makan sama-sama."
* Orang tua jangan jadi peramal
Sering orang tua meramalkan suatu
kejadian yang belum terjadi atau sesuatu yang tidak nyata mengenai
anaknya. "Kamu jangan panjat-panjat teralis itu nanti kalau jatuh
kakimu bisa patah. Lalu Adek dibawa ke dokter terus dioperasi."
Sebaiknya katakan saja, "Hati-hati, ya kalau memanjat teralis itu."
* Pahami bahasa tubuh anak
Seringkali pada anak yang lebih kecil,
bahasa tubuh orang tua yang bersifat nonverbal bisa mengomunikasikan
sesuatu karena kemampuan bahasanya memang masih terbatas. Misalnya, si
kecil yang berusia 2 tahun tampak diam di suatu pojokan dan wajahnya
menegang. Orang tua hendaknya memancing anak untuk bicara, "Kenapa Dek,
kamu pup, ya?"
* Tidak dengan nada yang cepat atau
terburu-buru
Saat berkomunikasi perhatikan intonasi
dan nada suara. Intonasi yang tidak jelas dengan nada terburu-buru bisa
membuat anak jadi tidak ngeh dengan apa yang dibicarakan.
KOMUNIKASI EFEKTIF TERHADAP ANAK 7 TAHUN KE ATAS: * Tumbuhkan sikap saling terbuka dan
saling menghargai.
Anak sudah lancar berbicara, lancar
berbahasa, bisa mengekspresikan perasaan dan pikiran serta ide-idenya,
maka diperlukan sikap terbuka dan menghargai yang lebih nyata dari
orang tua.
* Lebih banyak mendengarkan
Hanya saja, terhadap anak berusia di
atas 7 tahun, peran orang tua lebih banyak sebagai pendengar dan
sedikit berbicara. Dengan lebih banyak mendengarkan anak, orang tua
jadi dapat mengetahui kebutuhannya, apa yang diinginkan, dirasakan,
diharapkan atau lainnya. Namun, bukan berarti orang tua lantas pasif.
Yang benar adalah bersikaplah proaktif. Saat melihat anak lemas
sepulang sekolah, orang tua bisa bertanya, "Ada apa, sayang. Kok tumben
lemes?" Perhatian seperti ini akan mendorong anak untuk mau bercerita
mengenai keadaannya kepada orang tua.
GAYA KOMUNIKASI MENYIMPANG Elly Risman, Psi., dari Yayasan Kita
dan Buah Hati, menyatakan ada 12 gaya komunikasi yang populer dilakukan
orang tua. Walau disebut populer tapi belum tentu gaya komunikasi
tersebut benar. Elly malah menyebutnya sebagai GKM alias gaya
komunikasi menyimpang. Ia memberi contoh kasus, seorang ibu yang
melarang anaknya bermain di ruang tamu karena baru membeli guci yang
harganya "selangit". "Coba, ya Kakak sama Adik jangan main-main di
situ. Tahu enggak, guci Mama itu baru. Harganya mahal banget. Nanti
kalau kesenggol kan bisa pecah. Sana, mainnya di tempat lain. "
Namun, namanya anak-anak, maklum saja
kalau mereka tetap bermain di situ. Sampai tiba-tiba si Kakak terdengar
menangis keras. Si ibu pun berlari tergopoh-gopoh. Ia menghela napas
lega kala gucinya masih aman-aman saja di tempatnya. Namun, ia
terperanjat saat kaki anaknya terluka karena terjatuh. Lalu mulailah
sang ibu mengeluarkan 12 GKM tadi, yaitu:
1. "Tuh, kan tadi Mama bilang juga
apa. Enggak denger, sih!" (Menyalahkan)
2. "Sudah, diam, jangan nangis!"
(Memerintah)
3. "Katanya jagoan tapi kok nangis."
(Mengeritik)
4. "Benar, kan. Ini akibat kamu enggak
mendengarkan mama. Lain kali kalau Mama bilang, nurut ya." (Menasehati)
5. "Nakal, sih, enggak bisa diam."
(Melabel/Mencap)
6. "Coba sini Mama lihat lukanya. Ah,
kayak begini aja masa sakit." (Meremehkan)
7. "Adik aja waktu lukanya menganga
enggak sampai nangis begitu." (Membandingkan)
8. "Ya, sudah, besok pasti sembuh."
(padahal umumnya 3 hari baru sembuh) (Membohongi)
9. "Sudahlah, jangan dirasa-rasain.
Nonton TV atau baca buku sajalah sana." (Menghibur)
10. "Awas, ya kalau lain kali Mama
bilang enggak nurut." (Mengancam)
11. "Coba pikir, kenapa sampai
terjatuh? Kan kamu enggak dengerin Mama? Kamu dorong-dorongan sama
adik?" (Menganalisa), sambil terus mencecar kesalahan anak.
12. "Lain kali main dorong-dorongan
lagi saja. Kan enak...!" (menyindir)
DAMPAK GKM Padahal jika 12 GKM tadi terus-menerus
dilakukan, menurut Elly, tak sedikit dampak yang diakibatkan. Di
antaranya kepercayaan diri anak bisa hilang, anak merasa tidak punya
harga diri, perasaan anak selalu tertekan, emosinya tak tersalurkan,
dan komunikasi antara anak dan orang tua sesungguhnya tak pernah
berjalan. Jelas saja jika akhirnya anak akhirnya frustrasi terhadap
orang tua. Bahkan beberapa kasus salah komunikasi seperti itu, bisa
berakibat fatal karena anak memutuskan menghabisi dirinya sendiri,
seperti yang kini banyak terjadi.
Elly melanjutkan, 12 GKM tak hanya
akan
berdampak pada sisi kejiwaan anak, tapi juga akan mempengaruhi perkembangan otaknya. Menurutnya, komunikasi-komunikasi menyimpang tadi, yang berlangsung terus-menerus akan mengganggu sirkuit otak anak. Pasalnya, anak yang selalu dalam keadaan terancam tidak akan pernah bisa berpikir panjang apalagi belajar memecahkan masalah yang dihadapinya. Ini berkaitan dengan bagian otak yang bernama korteks yang merupakan pusat logika. Berarti di korteks inilah pusat kemampuan berpikir, kemampuan menganalisa, kemampuan memecahkan masalah hingga kemampuan mengambil keputusan. Namun, korteks hanya dapat
"dijalankan" kalau emosi anak dalam keadaan tenang. Bila tidak, atau
saat anak dalam keadaan tertekan karena kerap dimarahi, tidak disayang,
merasa tidak dibutuhkan, maka segala stimulus yang masuk hanya sampai
di batang otak saja. Kalau sudah begitu, cara berpikir anak tak berbeda
dengan cara berpikir binatang yang hanya menggunakan instink. Ya,
seperti dikatakan tadi anak jadi tidak bisa berpikir panjang. "Tak
heran kalau ada anak yang tidak dibelikan duren oleh orang tuanya
lantas bunuh diri karena dia tidak bisa berpikir panjang," tambah Elly.
Oleh karena itu, dalam berkomunikasi
dengan anak, orang tua harus memperhatikan pula cara sirkuit otak
bekerja. Apa pun kondisi orang tua, apakah sedang capek, letih lesu,
sakit, tetaplah berusaha menjaga komunikasi yang tidak menyimpang
dengan anak.
Dalam contoh kasus tadi, saat orang
tua tahu anaknya terjatuh padahal sudah dilarang bermain di tempat itu,
yang pertama mesti dilakukan adalah kendalikan diri jangan langsung
bereaksi. Ini juga berlaku pada semua kasus.
Jika orang tua bisa mengendalikan diri
berarti dia juga bisa mengendalikan emosinya sehingga otaknya memiliki
waktu untuk berpikir, apakah perkataan yang dikeluarkan akan
menyakitkan anak atau tidak. Dengan emosi yang terkendali sangat
mungkin orang tua akan berkata, "Jatuh ya sayang. Sini Mama obatin.
Lain kali enggak usah main dorong-dorongan lagi ya!"
=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+ Mailing List Nakita milis-nakita@news.gramedia-majalah.com Arsip http://www.mail-archive.com/milis-nakita@news.gramedia-majalah.com/ ------------------------------------------------ untuk berlangganan kirim mail kosong ke : [EMAIL PROTECTED] untuk berhenti berlangganan kirim mail kosong ke: [EMAIL PROTECTED] |