Makasih mbak vivin

 

From: milis-nakita@news.gramedia-majalah.com
[mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of VIVIN WINDARI
Sent: Monday, July 21, 2008 8:30 PM
To: milis-nakita@news.gramedia-majalah.com
Subject: [milis-nakita] info] say no to puyer {01}

 

From: milis-nakita@news.gramedia-majalah.com
[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Diani Najwa
[EMAIL PROTECTED]
Sent: Thursday, May 08, 2008 12:10 PM
To: milis-nakita List Member
Subject: [milis-nakita] Fwd:[info] say no to puyer {01}

Dear all...semoga bermanfaat

---------- Forwarded message ----------
From: Eva Julia 
Date: 7 Mei 2008 03:17

 Subject: Say NO to Puyer!!

May 5, '08 10:20 AM

Say NO to Puyer!


Sabtu kemarin, tanggal 3 Mei 2008, aku
ikut seminar kesehatan, dengan tema : Seminar dan Diskusi Pakar :
Puyer,
Quo Vadis? Sepintas, nggak ada yang aneh sama judulnya.. kelihatannya
cuma
'oohh tentang puyer'. Siapa sih nggak kenal puyer? Dari jaman kita
masih kecil, sampe sekarang kita punya anak, dokter kan sering
meresepkan
puyer buat kita. Jadi, kenapa musti dibuat seminar khusus??


Menilik para pembicara... hmmm...

1. Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudi,  <http://sp.fk/> Sp.FK
(Departemen Farmakologi FKUI)

2. Dra. Ida Z. Hafiz, Apt. Msi (Departemen
Farmasi FKUI)

3. Dr. Moh Shahjahan (WHO)

4. dr, Purnamawati S. Pujiarto, Sp.A(K),
MMPed (Yayasan Orang Tua Peduli)

Kemudian ada diskusi yang diikuti para
panelis dari YLKI, IDI Jakarta, Pembicara, Majelis Kode Etik
Kedokteran, Dirjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes.

Jelas ini seminar penting. Pesertanya
lumayan banyak, ada dari mahasiswa FKUI, dokter2, apoteker2, dan juga
masyarakat awam. Pesertanya sekitar 300 orang. Makin penasaran, hal yang
begitu
biasa diseminarkan, dengan dihadiri para ahli pula??

Dari seminar ini, aku lumayan terhenyak
dengan penjelasan dari Prof Rianto. Sebenernya aku udah tau sih, puyer
itu polifarmasi, yang akan meningkatkan efek samping obat, yang
dosisnya jadi nggak jelas, yang meningkatkan risiko interaksi obat, de el
el.
Tapi penjelasan Prof Rianto lebih membuka mata terhadap risiko puyer yang
nggak main-main. Apa aja sih risiko pemberian puyer itu :

1. Menurunnya kestabilan obat - kenapa?
karena obat-obatan yang dicampur tersebut punya kemungkinan
berinteraksi satu sama lain.

2. Bisa jadi obatnya sudah rusak sebelum mencapai sasaran krn proses
penggerusan. Ada obat yang sedemikian rupa dibuat, karena obat tersebut akan
hancur
oleh asam lambung. Karena misalnya, obat itu ditujukan untuk infeksi
saluran pernapasan atas, maka obat tersebut harus dibuat sehingga terlindung
dari asam lambung. Nah, kalo digerus jadi puyer, ya obat itu akan segera
hancur kena asam lambung. Lebih buruk, obat itu bisa jadi malah akan melukai
lambung.

3. Dosis yang berlebihan - dokter kan nggak mungkin apal sama setiap
merek obat. Jadi akan ada kemungkinan dokter meresepkan 2 merek obat yang
berbeda, namun kandungan aktifnya sama.

4. Sulitnya mendeteksi obat mana yang menimbulkan efek samping - karena
berbagai obat digerus jadi satu (Prof Rianto menyebutkan, ada dokter
yang meresepkan sampai 57 obat dalam 1 puyer!!!), dan terjadi reaksi efek
samping terhadap pasien, akan sulit untuk melacak obat mana yang menimbulkan
reaksi, lha wong obatnya dicampur semua...

5. Kesalahan dalam peracikan obat - bisa jadi tulisan dokter bisa jadi
nggak kebaca sama apoteker, sehingga bisa membuat salah peracikan (Prof
Rianto mencontohkan pasien asma diberi obat diabetes karena apoteker
salah baca tulisan dokter. Alhasil pasien seketika pingsan, dan saat sadar,
fungsi otaknya sudah tidak bisa kembali seperti semula).

6. Pembuatan puyer dengan cara digerus atau diblender, sehingga akan
ada sisa obat yg menempel di alatnya. Berarti, puyer yang diberikan ke
pasien, dosisnya sudah berubah - jadi.. kalo yang diresepin itu AB, tetep
akan
ada kemungkinan resistensi dong ya, kan dosisnya udah di bawah dari
yang diresepin dokter?

7. Proses pembuatan obat itu kan harus steril, istilahnya harus dibuat
dalam ruangan yang jumlah kumannya sudah disterilkan (istilah kerennya
sterile room) - lha waktu proses pembuatan puyer di apotek... hmmm di
dalem sterile room kah? Apotekernya pake sarung tangan kah? Sisa obat lain
yang
sebelumnya digerus, sudah dibersihkan dengan benarkah? Kalo itu semua
jawabannya tidak (atau salah satu aja jawabannya tidak), means, obat yang
digerus
sudah tercemar.

Yang paling mengerikan : ada obat yang sengaja dibuat slow release,
artinya dalam 1 tablet yang diminum, itu akan larut sedikit demi
sedikit di dalam tubuh. Kalo sudah digerus jadi puyer, obat itu akan
seketika
larut. Kebayang kan, berarti akan ada efek dumping... mampukah tubuh kita
menahan efek itu? Sementara, yang biasa dikasih puyer kan bayi dan
anak-anak...
mampukah tubuh kecil mereka menahan efek ini..??

Lebih terhenyak lagi, saat Dr. Moh Shahjahan
dari WHO menceritakan bawa untuk Asian Region, cuma Indonesia yang
masih pake puyer. Even Bangladesh, yang miskin itu, sudah lama meninggalkan
puyer, karena dinilai terlalu banyak risks nya ketimbang benefitnya.

Sayang, dari seminar tersebut, para
dokter sendiri masih pro dan kontra mengenai puyer. Kebanyakan yang pro
puyer, hanya menyoroti soal murah dan mudah (kan pasien kecil susah
minum obat)... tapi kalo sudah membahayakan jiwa... masihkah bisa berlindung
di balik alasan2 tersebut??

So far, yang bisa dilakukan hanyalah
menyadari konsumen yang bijak. Bukan dokter yang akan menanggung efek
sampingnya...tapi anak-anak kita.. jadi bijaklah dalam memutuskan apapun
yang harus
diminum oleh anak...

dr. Purnamawati menyarankan:

1. tanya diagnosa dalam bahasa medis,
setiap kali kita berkunjung ke dokter (ternyata radang tenggorokan itu
bukan diagnosa, tapi gejala... hiks..), supaya kita bisa browsing di
internet mengenai penyakit tersebut

2. tiap kali diberi obat (atau resep)
tanyakan nama obatnya, kegunaan obat tersebut, dan efek sampingnya.
Usahakan, sebelum ditebus, browsing dulu di internet, supaya kita benar2
tahu apa
kandungan aktif dari obat tersebut dan apa efek sampingnya.

Selama kita masih bisa ke dokter, dan dokter masih sempet nulis resep,
artinya keadaan belum emergency. Jadi sempatkan untuk browsing dan/atau cari
2nd opinion. Kalo keadaan
emergency, pasti dokter gak akan nulis resep, tapi akan segera merujuk ke
RS,
bukan?

Soal obat, aku punya pengalaman, dikasih
obat penahan rasa sakit sama dokter (saat itu aku menderita abses
peritonsillar
- di dokter ke 3 baru berhasil dapetin diagnosa ini, 2 dokter
sebelumnya cuma bilang radang tenggorokan), yang ternyata efek sampingnya :
penurunan kesadaran, halusinasi, pendarahan lambung... Jadi, ndak usah
ditebus
aja lah... masih bisa kok nahan sakit sebentar lagi.

Semoga, berawal dari seminar ini, dunia
kesehatan Indonesia bisa lebih berbenah diri, demi anak-anak Indonesia.

Regards,
Uci mamaKavin+Ija

 

Kirim email ke