Halo, C-Phone Jalan Terus 
Polisi ngotot menjerat pejabat Telkom Divre V Jawa Timur 
A. Reza Rohadian, Cipto Wahyana, Yus Santos (Surabaya)

Kendati bukti-buktinya lemah, Polwiltabes Surabaya pantang mundur untuk
menyeret dua pejabat Telkom Divre V Jawa Timur ke meja hijau. Konon, kasus
ini sengaja dijadikan komoditas oleh sebuah partai besar di Jawa Timur untuk
memeras Telkom.  

Maksud hati mengembangkan bisnis, yang ada kini PT Telkom Divisi Regional
(Divre) V Jawa Timur harus berurusan dengan aparat hukum. Gara-gara getol
memasarkan penggunaan C-Phone, Kepala Divre V Sumilan dan Deputi Divre V
Ermadi Dahlan terancam meringkuk di bui. Polwiltabes Surabaya yakin, PT
Telkom Divre V telah menyalahgunakan frekuensi 1.800 yang dimanfaatkan
melalui teknologi CDMA (Code Division Multiple Access) untuk C-Phone. "Itu
pelanggaran hukum," ujar salah seorang penyidik kasus ini, Inspektur Satu
Sumarsono kepada KONTAN. Menurutnya, berkas tersangka Sumilan dan Ermadi
Dahlan akan dilimpahkan ke kejaksaan dalam waktu dekat.  
C-Phone yang diluncurkan pertama kali tanggal 31 Juli 1999 untuk menunjang
PON 2000 pada prinsipnya sama dengan telepon seluler. Keunggulannya, tarif
C-Phone lebih murah. Jika tarif telepon seluler Rp 325 per menit (termasuk
tarif airtime), tarif C-Phone cuma Rp 175 per 1,5 menit. Namun, daya jangkau
C-Phone hanya terbatas pada satu kode area. Jadi, untuk para pengguna di
Surabaya, telepon itu cuma efektif di area 031 (kode area Surabaya). Dibawa
ke daerah lain tentu tidak bisa. Kendati begitu, peminat C-Phone terus
meningkat. Saat ini jumlah pelanggannya diperkirakan mencapai 3.000 orang.
Toh, pemerintah tak berkenan dengan "bisnis sampingan" Telkom ini.  
Di mata Dirjen Postel Sasmito Dirdjo, pengoperasian C-Phone tak ubahnya
telepon selular. Karena itu, ia memberikan waktu beberapa bulan kepada
Telkom untuk menghentikan C-Phone. Sikap Sasmito sempat ditentang Dirut
Telkom A.A. Nasution. Ia berpendapat teknologi yang dikembangkan BUMN
tersebut sebetulnya tak bisa dikategorikan sebagai teknologi selular seperti
GSM atau sistem analog yang ada saat ini. Menurutnya, C-Phone merupakan
pengembangan teknologi wireless local loop (WLL) yang bisa diakses pelanggan
bergerak. Sistemnya sama dengan cordless phone yang ada selama ini. Bedanya,
"Kalau cordless phone jangkauannya paling hanya 100 meter, jangkauan C-Phone
dibuat jauh lebih besar lagi."  
A.A. Nasution boleh bilang begitu. Dan dengan alasan mengamankan investasi
yang telanjur ditanamkan, pemerintah pun akhirnya memperbolehkan PT Telkom
meneruskan proyek telepon bergerak itu. Syaratnya, C-Phone hanya boleh
beroperasi di Jawa Timur dengan jumlah pelanggan yang ada sekarang.  
Tapi, polisi tidak mau tahu. Akibat sempat terlontar pernyataan bahwa Telkom
Divre V telah menyalahgunakan frekuensi 1.800, polisi lantas menetapkan
Sumilan dan Ermadi Dahlan sebagai tersangka. Menurut Kanit Tindak Pidana
Tertentu Polwiltabes Surabaya Inspektur Satu Sudarmono, Telkom Divre V
melanggar kesepakatan peminjaman frekuensi 1.800. Sesuai perjanjian, tutur
Sudarmono, alokasi frekuensi itu akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan
telepon baru. Nyatanya, Telkom Divre V memanfaatkannya untuk layanan
komersil telepon bergerak.  
Sumilan dan Ermadi jelas ogah menyerah begitu saja. Mereka menuding tuduhan
polisi salah sasaran. Pasalnya, dalam perjanjian tiga tahun (1999-2002)
antara PT Telkom dengan Deparpostel disebutkan bahwa penggunaan frekuensi
1.800 bisa digunakan dalam golongan II tarif lokal dengan jangkauan radius
20 km-30 km. Telkom sendiri baru memanfaatkan saluran yang dipinjamkan
pemerintah pada 1998 itu per Februari 1999.  
Tak lupa Sumilan mengungkapkan bahwa pada 1 November 2000 pihaknya mendapat
izin baru perpanjangan frekuensi 1.800 untuk C-Phone. Izin itu berlaku
hingga tahun 2003. Atas dasar itu, Sumilan tak habis pikir dengan sikap
polisi yang berteguh menetapkan dirinya selaku tersangka. Ia lalu
menunjukkan secarik tagihan pemerintah terhadap Telkom Divre V menyangkut
frekuensi yang dipinjam Telkom tersebut. "Kami ini bekerja untuk pemerintah.
Penggunaan frekuensi ini juga menjalankan beban yang ditugaskan kepada
kami," tuturnya.  

Jerat polisi tidak ada yang ampuh 

Rupanya, unek-unek Sumilan tadi cukup ampuh membuat polisi berpikir dua
kali. Namun, mereka tak kehabisan akal. Jerat penyalahgunaan frekuensi tak
mempan, polisi lalu siap-siap menjerat Telkom Divre V dengan tuduhan
pelanggaran peraturan pelaksanaan C-Phone dalam kurun waktu sebelum izin
diterbitkan. Tapi, saat berkunjung ke Jakarta untuk meminta bantuan saksi
ahli ke Ditjen Postel, polisi lagi-lagi dibuat bingung. Jerat baru yang
diajukan itu ternyata juga tak bisa dipakai. Dari seorang pejabat Ditjen
postel, petugas Polwiltabes Surabaya itu mendapat penjelasan bahwa waktu itu
UU telekomunikasinya masih yang lama (belum UU No. 36/1999). Jadi,
berdasarkan UU lama Telkom masih mempunyai hak eksklusivitas. Nah, "Karena
mempunyai hak eksklusivitas, biasanya Telkom tinggal pakai saja," kata
pejabat Ditjen Postel itu kepada KONTAN.  
Mendapat penjelasan seperti itu, polisi lantas membelokkan tuduhannya dengan
pasal penipuan. Alasannya, Telkom Divre V tidak mengumumkan bahwa izin
pelaksanaan C-Phone akan berakhir tahun 2002. Namun, bagi pejabat Ditjen
Postel tadi, tuduhan itu sangat lemah. Soalnya, segala kerugian pelanggan
C-Phone sejak Februari 2002 akan ditanggung Telkom.  
Kok, polisi pantang mundur? Bisik-bisik mengatakan kasus ini sengaja
dimainkan oleh sebuah partai besar di Jawa Timur untuk memeras Telkom.
Kabarnya Sumilan dijanjikan akan bebas dari penyidikan dengan syarat Telkom
menyediakan sejumlah uang dan peralatan telekomunikasi. Ini jelas tak
gampang. "Telkom kan sudah go public, kami tidak bisa sembarangan
mengeluarkan uang," kata sebuah sumber.

KONTAN EDISI 21/V Tanggal 19 Februari 2001
http://www.kontan-online.com/05/21/hukum/huk3.htm





_______________________________________________________
Send a cool gift with your E-Card
http://www.bluemountain.com/giftcenter/


Kirim email ke