JK harusnya berbesar hati dan menjadi negarawan dari pada dipermalukan begini
lebih baik lepas kutum Golkar, apalagi Golkar gagal mempertahankan suara
di Pileg.
          
          

                
                
                
                
                

         Jakarta
- Apes benar nasib Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla (JK).
Setelah beramai-ramai didorong pada posisi sulit sebagai capres,
beramai-ramai pula para pendorong itu meninggalkannya. Sebabnya, kans
JK sebagai capres sangat kecil dan susah menang.

Sumber detikcom
di DPP Golkar menjelaskan bahwa JK saat ini sedang marah besar kepada
para pendukungnya yang main di dua kaki. JK pun akan mengunakan
kewenangannya untuk mendisiplinkan kader-kader Golkar yang tidak patuh
kepada pimpinan dan hasil Rapimnassus 23 April lalu.

"Beliau
marah dengan ulah DPD-DPD yang dulu mendukung capres, kok sekarang mau
mencabut. Ini bagian dari upaya mendorong JK masuk jurang," kata sumber
tersebut kepada detikcom, Selasa (28/4/2009).

Dalam konteks
kemarahan itulah, lanjut sumber itu, JK mengatakan secara
terang-terangan ada pihak tertentu baik perorangan atau kelompok yang
memecah belah parpol-parpol demi kepentingan politiknya termasuk
Golkar. 

Konflik di tubuh internal PAN, PPP dan Golkar
merupakan bukti konkret akan tudingan JK itu. Lantas siap yang dimaksud
JK? Memang JK tidak menjawab secara langsung siapa yang dimaksud,
tetapi arahnya jelas, pemecah belah itu adalah orang kuat yang memiliki
kekuasaan.

Lalu siapa yang dimanfaatkan, di internal Golkar,
dari awal sudah terpecah belah dalam faksi-faksi kuat. Sebut saja untuk
lebih mudahnya, ada faksi JK, Faksi Surya Paloh, Faksi Sultan Hamengku
Buwono X. 

Faksi-faksi ini makin terpolarisasi mendekati pemilu
presiden. Kelompok yang dulu berada di belakang JK seperti Agung
Laksono, Muladi dan tokoh lainnya, belakangan terlihat mulai berani
'melawan' JK. 

Pernyataan Muladi yang keras soal kemungkinan
koalisi Golkar dan Demokrat menjadi bukti lebih kuat bahwa barisan
pendukung JK makin kocar-kacir. Hal sama juga di lakukan Wakil Ketua
Umum DPP Golkar Agung Laksono. Meski Rapimnassus Golkar sudah
memutuskan mendukung JK sebagai capres, Agung tetap berkeyakinan
koalisi Golkar-PD akan tetap bisa tejadi.    

"Pak JK sudah
mulai ditinggalkan para sekutunya. Tidak hanya di DPP, DPD yang semula
mendukung juga sudah mulai goyah, buktinya mereka menggalang kekuatan
untuk mengusulkan agar mempertimbangkan kembali koalisi dengan PD,"
paparnya.

Sampai saat ini JK memang masih memegang kendali penuh
Partai Golkar. Soemarsono, Burhanudin Napitupulu, Priyo Budi Santoso,
Syamsul Muarif dan sejumlah pengurus DPP lainnya memang masih solid di
belakang JK. Namun, bukan tidak mungkin jika peta berubah soliditas ini
akan runtuh juga.

Akankah JK mengalami nasib seperti Akbar
Tandjung? Dikerubuti para orang dekatnya, tetapi ramai-ramai
'dikhianati' saat kekuasaan itu menjauh dari tangannya. 



      

Kirim email ke