Wah kalo itu saya setuju banget!!! Soalnya INCO jual Nickel matte ke induknya 
sendiri di proses jadi Ferronickel di New Calidonia. Kita jadinya susah ceknya 
apa dia jual harga pasar atau di bawah harga pasar (soalnya jual ke induknya), 
harga bijih nickel nggak diatur pasar model nickel batangan yg di LME.
   
  Dgn adanya UU Minerba, memaksa semua perusahaan jual bentuk batang dan 
pastinya mau nggak mau di harga pasar. Harga Matte kan jauh lebih murah dari yg 
batangan.
   
  Tapi awal2nya gimana nih kegeruskan EPS, apa harus dihentikan penambangan 
mattenya? Kalo harus berhenti jualan matte....jelas EPS kegerus banyak. Jangka 
panjang bagus utk ANTM, INCO, TINS. Paling bagus utk ANTM, proporsi nickel 
batangan sesudah FENI III , 80% dari total nickel.
   
  UU Minerba juga ngatur penambangan di hutan lindung, bagus utk INCO.

Jimmy Gunawan <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
            kayaknya berita  ini yg menyebabkan harga INCO kemarin turun 
tajam... kalau yg berita produksi turun karena low reservoir sptnya udah basi.
  Bung Eka, kira2 efeknya thd future EPS INCO gimana ya kalo memang RUU ini 
jadi diberlakukan pada INCO ?
   
  JG
  



Ekspor bijih tambang dilarang
 
JAKARTA: Pemerintah akan melarang ekspor konsentrat dan bijih tambang sesuai 
isi RUU Pertambangan Mineral dan Batubara. Pengesahan RUU itu menjadi UU 
diperkirakan Maret mendatang. 
Dengan kebijakan itu, seluruh konsentrat hasil pertambangan mineral-seperti 
yang selama ini diproduksi oleh PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa 
Tenggara, dan PT International Nickel Indonesia-wajib dimurnikan dan diolah 
menjadi logam di dalam negeri sebelum diekspor. 
"Jadi, perusahaan tambang mineral tidak diperbolehkan langsung mengekspor 
konsentrat dan bijih," ujar Dirjen Mineral, Batubara dan Panas Bumi pada 
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Simon Felix Sembiring, kemarin. 
"Semua harus diolah dan dimurnikan di Indonesia hingga bentuk logam. Kalau 
mereka [perusahaan tambang] ingin mendirikan smelter [pabrik pengolahan 
konsentrat] untuk pengolahan dan pemurnian, silakan. Tapi harus di Indonesia." 
Menurut dia, dengan kewajiban tersebut, maka pemerintah akan mendapatkan nilai 
tambah dengan tidak lagi mengizinkan ekspor produk mentah, namun produk jadi. 
Kebijakan itu diyakini akan mendorong investasi baru di bidang pengolahan dan 
pemurnian konsentrat. 
Perusahaan tambang yang ingin investasi, kata Simon, bisa langsung membangun 
industri yang terintegrasi mulai dari hulu, penambangan mineral, hingga hilir 
yaitu pengolahan menjadi logam. 
Konsep tambang nikel terintegrasi sebenarnya telah diajukan oleh Rio Tinto 
dalam kontrak karya untuk proyek Lasamphala dengan investasi US$2 miliar. 
Namun, pemerintah hingga saat ini belum menyetujui kontrak karya tersebut. 
"Perusahaan lain yang ingin investasi pembangunan di pengolahan dan pemurnian 
juga terbuka peluangnya setelah RUU itu disahkan." 
Simon mengatakan pemerintah dan DPR sepakat mengesahkan RUU Pertambangan 
Mineral dan Batu bara menjadi UU pada Maret ini karena persoalan prinsip dalam 
RUU itu sudah disepakati antara pemerintah dan DPR. 
Namun, kata dia, belum diketahui apakah kewajiban itu juga akan berlaku kepada 
Freeport Indonesia, Inco, dan Newmont yang telah melakukan kontrak sebelum RUU 
tersebut disahkan. 
Terikat kontrak 
Menanggapi kewajiban itu, Public Relation Manager PT Newmont Nusa Tenggara 
Kasan Muljono mengatakan pihaknya terikat kontrak dengan pembeli dari Jepang 
untuk jangka panjang sejak perusahaan akan mengembangkan tambang tembaga di 
Batu Hijau, Sumbawa. 
Kontrak tersebut, kata dia, dibuat dengan pihak Jepang sebagai salah satu mitra 
kerja yang juga terlibat dalam investasi saat proyek tersebut akan dikerjakan. 
Sebanyak 90% produk Newmont Nusa Tenggara berupa konsentrat tembaga beserta 
emas yang merupakan produk mineral ikutan dalam konsentrat tersebut dan 
langsung diekspor ke Jepang. 
Menurut dia, pihaknya akan menjelaskan ke pemerintah, terutama tentang kondisi 
Newmont Nusa Tenggara yang terikat kontrak dengan pembeli untuk jangka panjang. 
"Sebab ada konsekuensi yang harus ditanggung. Kami mendukung jika ada smelter 
yang memadai, tapi kita juga terikat kontrak jangka panjang," tuturnya. (dwi. 
[EMAIL PROTECTED]) 
Oleh Bambang Dwi Djanuarto
Bisnis Indonesia 



----- Original Message ----- 
From: EKA SUWANDANA 
To: obrolan-bandar@yahoogroups.com 
Sent: Wednesday, January 03, 2007 11:59 AM
Subject: [obrolan-bandar] INCO Statement!




Indonesia's Inco cuts weekly nickel output by 130 T

Tue Jan 2, 2007 7:07 AM ET


JAKARTA, Jan 2 (Reuters) - The Indonesia unit of Canadian nickel producer Inco 
Ltd <N.TO> said it had cut weekly output by around 130 tonnes (300,000 pounds) 
as dry weather had caused low reservoir levels at its hydro-electric power 
plant.
"Production cuts came three to four days earlier than we had predicted ... 
Rainfall is not sufficient to increase water level(s)," Rajeshnagara Sutedja, 
Inco's spokesman, told Reuters.
PT International Nickel Indonesia Tbk <INCO.JK> produces between 1,400 and 
1,500 tonnes of nickel-in-matte each week.
The company said in mid-December that it might have to cut nickel matte 
production from Dec. 20 due to low reservoir levels.
"We won't be able to meet original output target. But we have stockpile of 
unprocessed nickel ore, which will be used to narrow the gap in output," 
Sutedja said.
PT Inco, which is owned by Brazil's Companhia Vale do Rio Doce 
<VALE5.SA><RIO.N> through Canada's Inco Ltd, had initially set a production 
target for 2006 of about 71,000 tonnes of nickel-in-matte.
The company said it was not possible to estimate the likely impact of the 
unusually dry weather on 2007 production.
Nickel-in-matte is an intermediate smelter product that must be further refined 
to make pure metal.
London Metal Exchange three-months nickel <MNI3> hit a new high of $34,950 per 
tonne on Dec. 15, and was quoted around $33,350 on Tuesday.
(Reporting by Fitri Wulandari, editing by Bernard Halloran; Reuters 
Messaging:[EMAIL PROTECTED];Tel +6221 3846364) 

  

         

Kirim email ke