Merokok telah menjadi gaya dan bagian hidup dari sebagian besar Masyarakat 
Indonesia. Padahal bahaya merokok sangat besar apalagi bagi perokok pasif. 
Artikel bermanfaat di bawah ini dimuat di Kompas hari ini hal 6.
Mudah-mudahan kesadaran dan komitmen untuk memulai dan menjalani Hidup secara 
sehat, dan upaya menghargai hak-hak orang yang tidak merokok dapat lebih 
terwujud di Indonesia.


Perang Rokok RI-AS
Sabtu, 27 Juni 2009 | 05:25 WIB
Kartono Mohamad
Sejak tahun 1970-an, konsumsi rokok di Amerika Serikat menurun drastis karena 
meningkatnya kesadaran akan kesehatan.
Jumlah perokok yang semula mencapai 46 persen dari penduduk AS pada tahun 1950 
turun menjadi 21 persen tahun 2004. Penurunan jumlah perokok itu juga diikuti 
jumlah penderita kanker paru sejak tahun 1960.
Penurunan konsumsi rokok itu meresahkan industri rokok. Maka, sejak 1975 mereka 
membuka pasar luar negeri, terutama negara-negara yang belum sadar akan bahaya 
rokok bagi kesehatan. Ekspor Philip Morris, RJ Reynolds, dan Brown Williamson 
meningkat tiga kali lipat tahun 1994 dibandingkan tahun 1975, dari 50 miliar 
dollar AS menjadi 220 miliar dollar AS.
Upaya mereka itu mendapat dukungan Pemerintah AS yang melakukan negosiasi 
dengan negara lain berdasarkan perjanjian GATT. Di antara empat negara Asia 
yang dibujuk untuk mengimpor rokok AS, hanya Thailand yang berani menolak atas 
alasan melindungi kesehatan rakyat yang sah menurut GATT.
Indonesia menyerah tanpa syarat kepada tekanan AS dan membuka pintu 
seluas-luasnya industri rokok AS ke Indonesia. Mereka bebas mengiklankan rokok 
tanpa ada batasan meski di negaranya banyak dibatasi.
 
UU baru
Pembatasan pemasaran rokok di AS sudah banyak dilakukan oleh negara-negara 
bagian. Tetapi, sebegitu jauh belum ada undang-undang federal yang dapat 
digunakan untuk membatasi konsumsi rokok secara menyeluruh. Beberapa waktu 
lalu, Presiden Obama menandatangani UU berjudul Family Smoking Protection and 
Tobacco Control Act. Dalam pidatonya, Obama mengatakan, ”Setelah berpuluh tahun 
kita berjuang untuk melindungi anak-anak kita dari dampak rokok, akhirnya kini 
kita menang. Telah lama kita mengetahui bahwa rokok adalah adiktif, berbahaya, 
dan mematikan. Setiap tahun, orang Amerika membayar 100 miliar dollar tambahan 
untuk membiayai penyakit akibat tembakau. Tiap hari sekitar 1.000 remaja 
menjadi pencandu rokok. Undang-undang ini akan menyelamatkan jiwa rakyat 
Amerika.”
Dengan UU itu kini FDA berwenang mengatur peredaran produk tembakau di Amerika 
Serikat. Ada beberapa langkah yang diamanatkan UU itu, yaitu pertama, dalam 
tiga bulan setelah UU ini berlaku, FDA akan mengharuskan industri rokok 
menyerahkan daftar isi kandungan rokok secara lengkap kepada Pusat Pengendalian 
Produk Tembakau yang akan dibentuk. Kelak semua rokok yang dijual di AS harus 
mencantumkan semua zat kimia yang terkandung di dalam sebatang rokok.
Kedua, juga dalam waktu tiga bulan, FDA akan mengeluarkan larangan produk 
tembakau diberi tambahan rasa.
Ketiga, dalam waktu satu tahun, FDA akan melarang pemasaran dan penjualan rokok 
kepada anak-anak, melarang penggunaan kata light, mild, dan low tar pada rokok 
serta memperbesar peringatan kesehatan pada kemasan rokok dari 30 persen 
menjadi 50 persen.
Mengenai istilah mild, light, dan low tar, sebelumnya telah keluar keputusan 
pengadilan tinggi Washington DC yang menyatakan, pabrik rokok telah melakukan 
pembohongan publik dengan kata-kata itu.
 
Kretek
Dikabarkan, dalam zat yang akan dilarang dicampurkan ke rokok adalah cengkeh. 
Keputusan ini akan memukul ekspor kretek dari Indonesia ke AS yang kini 
bernilai sekitar 100 juta dollar AS per tahun. Khawatir bahwa UU AS yang baru 
itu akan merugikan Indonesia, Dubes Indonesia di AS Sudjadnan Parnohadiningrat 
mengirim surat keberatan dan mengancam akan membawa masalah ini ke WTO.
Sebaliknya, pihak AS membantah bahwa ketentuan pelarangan cengkeh dalam rokok 
itu bertentangan dengan WTO karena tujuan peraturan itu bukan untuk melindungi 
industri rokok dalam negeri, tetapi untuk melindungi kesehatan rakyat. Untuk 
itu AS mempunyai bukti berupa hasil penelitian Pusat Pengendalian Penyakit 
(CDC) yang menunjukkan, cengkeh dalam rokok membuat lebih banyak lagi nikotin, 
karbon monoksida, dan tar yang masuk paru-paru dibandingkan rokok biasa. Alasan 
itu dapat menyanggah tuduhan Indonesia bahwa AS telah melakukan diskriminasi 
yang melanggar WTO, kata Claude Barfield dari American Enterprise Institute.
Jika WTO meluluskan alasan itu, sekali lagi Indonesia kalah dalam perang rokok 
melawan AS. Thailand berhasil menggunakan alasan melindungi kesehatan rakyatnya 
dalam menolak tekanan AS. Kini AS menggunakan dalih yang sama dalam melawan 
tekanan Pemerintah RI.
Sebaliknya, selama ini Pemerintah Indonesia lebih memilih melindungi industri 
rokok daripada kesehatan rakyat. Pemerintah, antara lain, menolak 
menandatangani FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) dari WHO dan 
menolak membuat undang-undang pengendalian dampak tembakau. Semua itu demi 
melindungi industri rokok. Jika negara lain, termasuk AS, memilih melindungi 
kesehatan rakyat dari dampak rokok, Pemerintah Indonesia memilih tidak peduli 
terhadap hal itu.
Kini masalah diperparah dengan diakuisisinya 85 persen kepemilikan Bentoel oleh 
BAT (British American Tobacco). Mungkin kita mengira hal itu akan membuka 
peluang kerja lebih besar bagi buruh Indonesia. Suatu hal yang belum tentu jika 
ada mekanisasi pembuatan rokok. Yang pasti BAT akan meneruskan produksi kretek 
sebagai andalan Bentoel selama ini dan pemasarannya pasti dipusatkan di dalam 
negeri karena ekspor kretek akan kian sulit. Dengan kata lain, dengan PM dan 
BAT menguasai saham terbesar industri rokok di Indonesia, berarti sebagian 
besar keuntungan akan dibawa ke luar negeri. Yang ditinggalkan di Indonesia 
hanya penyakit akibat rokok. Jika itu terjadi, Indonesia tiga kali kalah dalam 
perang rokok ini.
 
Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia


      

Kirim email ke