http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/01/11/06144950/Baca.Pakai.Hati.I

Senin, 11 Januari 2010 | 06:14 WIB, FAISAL BASRI ,
KOMPAS.com - Walaupun laju pertumbuhan ekonomi melorot dari 6,1 persen
pada tahun 2008 menjadi sekitar 4,5 persen saja pada tahun 2009, angka
pengangguran terbuka ternyata turun cukup signifikan, dari 8,4 persen
pada Agustus 2008 menjadi 7,9 persen pada Agustus 2009.

Dengan logika sederhana, jika target pertumbuhan tahun depan sebesar
minimal 5,5 persen tercapai, angka pengangguran bisa turun lebih tajam
lagi, bahkan bisa di bawah 7 persen.

Sepintas lalu, sekalipun di tengah krisis finansial global, situasi
ketenagakerjaan kita menunjukkan perbaikan. Persentase setengah
penganggur (bekerja di bawah 35 jam seminggu) turun dari 30,3 persen
pada Agustus 2008 menjadi 30,1 persen.

Pada periode yang sama, pekerja di sektor informal (berusaha sendiri,
berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas di pertanian,
pekerja bebas di nonpertanian, dan pekerja keluarga) juga turun tipis,
dari 69,6 persen menjadi 69,4 persen.

Ada pula yang cukup ”menakjubkan”. Sekalipun pertumbuhan sektor
industri manufaktur terus melorot, dari 3,7 persen tahun 2008 ke titik
terendah 1,4 persen tahun 2009 (Januari-September), penyerapan tenaga
kerja sektor ini justru naik dari 12,55 juta menjadi 12,84 juta.

Sehebat itukah kemampuan kita di tengah terpaan krisis global? Ya,
memang, kita akan berdecak kagum kalau berhenti di permukaan.
Indonesia merupakan satu dari segelintir negara di dunia yang masih
membukukan pertumbuhan ekonomi positif tahun 2009.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)—jika dihitung dalam dollar AS—sejak
31 Desember 2008 telah naik sebesar 126 persen, tertinggi keempat di
dunia setelah indeks saham Brasil, China, dan Rusia.

Nilai tukar rupiah juga perkasa. Sejak Maret 2009 rupiah telah
mengalami apresiasi sekitar 25 persen. Kini rupiah bertengger di
kisaran Rp 9.200 per dollar AS. Bandingkan dengan posisi Maret 2009
yang sekitar Rp 12.000 per dollar AS.

Tak lengkap kiranya kalau tidak menyertakan kehebatan perbankan kita.
Indonesia merupakan satu-satunya negara yang mengalami kenaikan
tingkat suku bunga pinjaman dan deposito secara bersamaan selama
periode Juni 2008 hingga Juni 2009.

Laba industri perbankan terus naik walaupun pertumbuhan kredit anjlok
dari 32 persen tahun 2008 menjadi hanya 6 persen saja tahun 2009. Luar
biasa!

Di pengujung 2008, banyak ekonom mengumandangkan nada pesimisme.
Bahkan beberapa di antara mereka menengarai kita sedang berada di
tepian krisis baru. Pesimisme juga didengungkan oleh lembaga-lembaga
internasional.

Gelombang pesimisme

Tak kurang dari Economist Intelligence Unit yang berpusat di London
pada April 2009 masih memprediksi ekonomi Indonesia tahun 2009 akan
mengalami kontraksi sebesar 1,4 persen.

Dihadapkan pada gelombang pesimisme di seantero dunia, pemerintah dan
Bank Indonesia pun goyah sehingga berkali-kali mengoreksi turun target
pertumbuhan ekonomi. Pada APBN-P 2009, target pertumbuhan diturunkan
menjadi 4,3 persen, dari 6,0 persen (APBN).

Lantas, bagaimana kita menjelaskan kecenderungan umum yang memburuk
ini dengan tren perbaikan di sektor keuangan? Jika ditelusuri lebih
mendalam, kita patut masih prihatin. Pertama, kenaikan indeks saham
dan penguatan rupiah sebetulnya belum setara dengan kemerosotan yang
terjadi tahun 2008 hingga triwulan pertama 2009.

Kala itu sebetulnya kita mengalami tekanan yang tergolong paling
berat, baik dalam hal nilai tukar maupun indeks harga saham.

Kedua, makin nyata terjadi lepas kaitan antara perkembangan sektor
keuangan dan sektor riil, khususnya sektor tradable, atau sektor
penghasil barang, lebih khusus lagi sektor industri manufaktur.

Jika perkembangan ketenagakerjaan yang membaik sebagaimana diutarakan
di muka betul-betul berkualitas, sudah barang tentu tak akan muncul
desakan bertubi-tubi untuk menunda penerapan hampir penuh Perjanjian
Perdagangan Bebas ASEAN-China tahun 2010. Tak akan pula muncul
keprihatinan atas kualitas pertumbuhan kita yang terus merosot.

Pengakuan bahwa kualitas pertumbuhan yang belum memadai—atau bahkan
jauh dari memadai—untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara
berarti tecermin dari data ketenagakerjaan yang lebih rinci.

Jika pertumbuhan ekonomi sehat adanya, sudah barang tentu akan semakin
banyak porsi pekerja dengan kontrak permanen dan pekerja kontrak
dengan jangka tetap. Jumlah kedua kelompok ini ternyata masing-masing
hanya 3 persen.

Ditambah dengan jumlah majikan sebanyak 2 persen, jumlah pekerja
formal hanya 8 persen. Selebihnya, sebanyak 92 persen, adalah pekerja
sektor informal di sektor pertanian (sekitar 27 persen), di sektor
nonpertanian (sekitar 27 persen), dan pekerja tanpa kontrak yang
menjadi mayoritas (38 persen). Lihat: Bank Dunia, Indonesia Economic
Quarterly: Back on Track?, Desember 2009, halaman 32.

Oleh karena itu, penciptaan lapangan kerja yang lebih berkualitas
merupakan tantangan terbesar yang segera harus ditangani dengan
saksama, karena merupakan kunci untuk mengentaskan penduduk miskin dan
meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan.

Menambah alokasi puluhan triliun untuk subsidi kebutuhan pokok seperti
pupuk, beras, minyak goreng, dan gula bukanlah solusi jitu, melainkan
temporer belaka, sangat jangka pendek.

Untuk membantu mayoritas penduduk yang pendapatannya sangat marjinal,
cara yang lebih ampuh adalah cash transfer semacam bantuan langsung
tunai yang penataannya terus-menerus disempurnakan.

Untuk itu, sudah saatnya melaksanakan secara konsekuen sistem jaminan
sosial nasional sebagaimana telah diamanatkan di dalam Undang-Undang
Sistem Jaminan Sosial Nasional Tahun 2004 yang paling lambat terwujud
tahun 2009.

Sistem jaminan sosial yang kokoh dan berkelanjutan sangat bergantung
pada struktur ekonomi yang sehat, yang ditandai oleh pola pertumbuhan
dan hubungan yang serasi antara sektor tradable dan sektor
nontradable.

Sekali lagi, pilar utamanya adalah industri manufaktur. Sektor inilah
yang akan menumbuhkan lapisan kelas menengah yang tangguh, yang
memiliki ideology of progress. Selain juga, tentu saja, memperkokoh
struktur perekonomian.

Industrialisasi pada jalur yang benar sudah menjadi keharusan. Bukan
sekadar memperbanyak onggokan pabrik semata, melainkan merupakan upaya
totalitas di dalam jalinan sistem hingga memunculkan budaya
industrial.

Editor: jimbon


------------------------------------

+ +
+ + + + +
Mohon saat meREPLY posting, text dari posting lama dihapus 
kecuali diperlukan agar CONTEXTnya jelas.
+ + + + +
+ +Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/obrolan-bandar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/obrolan-bandar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    obrolan-bandar-dig...@yahoogroups.com 
    obrolan-bandar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    obrolan-bandar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke