Senin, 30/06/2008 10:38 WIB

Gejala overheating & aturan tender offer
oleh : Mirza Adityaswara (Analis perbankan & pasar modal)

Cetak Kirim ke Teman Komentar
Dalam kondisi situasi pasar modal global yang sedang lesu seperti
sekarang ini, tidak mudah meyakinkan investor untuk menambah
investasinya di Indonesia.

Berhubung khawatir akan dampak inflasi dan kenaikan suku bunga, banyak
investor yang sudah menjual saham-sahamnya di sektor perbankan, semen,
otomotif, properti, dan perusahaan perdagangan ritel.

Investor beranggapan bahwa sektor domestik (nonekspor, nonkomoditas)
pasti akan melambat berhubung kenaikan harga bahan bakar minyak dan
meningkatnya suku bunga Bank Indonesia.

Yang masih banyak tersisa adalah investasi mereka di saham sektor
pertambangan, batu bara dan minyak kelapa sawit, berhubung harga
minyak bumi yang bertengger semakin tinggi, bahkan sempat menyentuh
US$142 per barel pada akhir minggu lalu.

Ekonomi luar Jawa

Apakah betul sektor domestik (non ekspor, nonkomoditas) semuanya
sedang lesu? Data sampai dengan bulan Mei dan indikasi bulan Juni
tampaknya belum menunjukkan kecenderungan demikian.

Contohnya, penjualan sepeda motor pada Mei 2008 stabil, hanya turun
0,1% dibandingkan dengan penjualan bulan April 2008. Jadi, penjualan
sepeda motor kumulatif sampai dengan Mei tahun ini tumbuh 44%
dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2007. Ini fantastis.

Percakapan saya dengan pimpinan salah satu perusahaan pembiayaan
sepeda motor menyimpulkan bahwa penjualan sepeda motor pada bulan Juni
masih cukup kuat.

Penjualan semen dan penjualan ritel Ramayana Department Store pada
bulan Mei juga mengherankan, tumbuh pesat di luar dugaan. Penjualan
semen di seluruh Indonesia tumbuh 16% dibandingkan dengan bulan April
2008. Beberapa orang mengatakan bahwa terjadi panic buying sebelum
harga BBM naik. Tapi saya tidak yakin dengan analisis ini.

Yang pasti, terjadi peningkatan pendapatan masyarakat di luar Jawa
berhubung tingginya harga komoditas, termasuk kelapa sawit dan batu
bara. Pertumbuhan 'luar Jawa' sedang menjadi topik pembicaraan para
investor.

Contohnya, penjualan semen di Jawa pada tahun 2007 hanya tumbuh 2%,
sedangkan di Sumatra tumbuh 15% dan di Kalimantan tumbuh 18%.

Pada 2008, sampai dengan Mei, penjualan semen di Pulau Jawa tumbuh 15%
(suatu peningkatan yang pesat), tetapi di Sumatra tumbuh 19%, di
Kalimantan dan Sulawesi bahkan tumbuh masing-masing 32%. Demikian pula
penjualan sepeda motor di Jawa pada tahun 2007 tumbuh di bawah 1%,
tetapi di Sumatra tumbuh 14% dan di Kalimantan tumbuh 11%.

Berdasarkan pertumbuhan ekonomi di luar Jawa yang pesat tersebut,
investor menanyakan kepada saya, apakah inflasi yang tinggi di
Indonesia saat ini tidak hanya disebabkan oleh kenaikan biaya (bahan
pangan dan harga minyak) tetapi juga disebabkan oleh overheating
(pemanasan berlebihan) di sisi permintaan domestik (aggregate demand)?

Pertanyaan investor selanjutnya, apakah Bank Indonesia behind the
curve (terlambat) dalam menyikapi inflasi di Indonesia?

Dilihat dari pertumbuhan impor nonmigas yang fantastis (tumbuh 97%
pada kuartal I/2008), tampaknya kita memang menunjukkan gejala
overheating. Aneh juga, pertumbuhan ekonomi 6,3% tetapi sudah
overheating.

Untuk mengatasinya, Bank Indonesia sebaiknya menyerap uang beredar
lebih banyak, misalnya dengan instrumen secondary liquidity reserve
requirement dan atau Giro Wajib Minimum.

Secondary liquidity reserve requirement adalah mewajibkan bank membeli
surat utang negara, lalu pemerintah mengendapkan dana tersebut di
rekening Bank Indonesia, sampai benar-benar diperlukan. Semakin cepat
BI menentukan arah kebijakan Giro Wajib Minimum itu, semakin memberi
kepastian kepada pelaku pasar keuangan.

Aturan tender offer

Selain pertumbuhan ekonomi di luar Jawa, topik yang menarik perhatian
investor adalah rencana perubahan aturan penawaran tender (tender
offer). Pemberitaan mengenai hal itu menyebabkan saham beberapa
perusahaan yang sedang dalam tahap diakuisisi seperti Indosat dan BII
harganya turun.

Banyak investor minoritas dari reksa dana, asuransi dan dana pensiun
serta investor asing bertanya; mengapa Indonesia akan menaikkan
batasan kewajiban melakukan tender offer dari semula kepemilikan 25%
menjadi 50%?

Untunglah regulator bersedia mendengar masukan dari pelaku pasar
sehingga tidak mencampur aturan tender offer dengan aturan free float
(saham beredar).

Semangat dari aturan tender offer adalah memberikan persamaan
perlakuan kepada investor minoritas, seperti yang diterima oleh
pemegang saham pengendali.

Peraturan yang lama mengatakan, jika perusahaan A, harga sahamnya di
pasar Rp5.000, kemudian pemegang saham pengendali (25% saham) mendapat
penawaran sahamnya dibeli oleh institusi B pada harga Rp8.000, para
pemegang saham minoritas (75% saham) harus juga berhak untuk menjual
sahamnya kepada perusahaan B pada harga yang sama, Rp8.000. Jika
institusi B tidak mempunyai dukungan dana besar, akan kesulitan untuk
harus membeli 25% plus seluruh 75% saham.

Akan tetapi jika institusi B adalah investor besar, hanya dengan
membeli 25% saham milik pengendali dia akan memperoleh kesempatan
membeli 75% saham sisanya dari investor minoritas.

Memang belum tentu akuisisi 100% saham akan terjadi. Investor
minoritas memiliki hak untuk menjual sahamnya pada harga Rp8000,
tetapi bisa juga menyimpan saham tersebut dengan keyakinan bahwa
pemilik baru mampu memperbaiki kinerja perusahaan tersebut sehingga
harga sahamnya bisa naik di atas Rp8.000.

Ternyata regulator pasar modal memandang batasan 25% itu terlalu
rendah, artinya terlalu mudah untuk terjadinya tender offer. Mungkin
dianggap ada risiko investor besar atau asing menguasai perusahaan
blue chip di negara ini dan kemudian go private atau keluar dari bursa
saham Indonesia.

Mungkin ada kekhawatiran investor besar atau asing bisa secara mudah
menguasai 100% saham sebuah perusahaan strategis, misalnya perusahaan
telekomunikasi. Karena itu, pada aturan yang baru, batasan 25%
dinaikkan menjadi 50%.

Akan tetapi di sisi lain, akibat kenaikan batas tersebut, biaya
menguasai perusahaan publik di Indonesia menjadi lebih murah.

Menguasai perusahaan tidak perlu harus memiliki 80% hingga 100% saham.
Dengan membeli 47% saham dari pemilik lama plus 4% saham dari pasar,
maka seorang investor sudah bisa menguasai 51% saham tanpa harus
tender offer.

Saham beredar

Bagaimana dengan kewajiban free float'dalam waktu dua tahun setelah
tender offer? Kewajiban mempertahankan saham beredar (free float)
sebesar 20% adalah penting untuk kelangsungan pasar modal Indonesia.

Jika perusahaan publik Malaysia mengakuisisi dan tender offer
perusahaan publik di Indonesia, lebih nyaman bagi induk perusahaan
apabila cukup satu saja yang dipertahankan sebagai perusahaan publik,
yaitu yang di Malaysia.

Untuk mencegah hal tersebut, maka harus ada kewajiban dan insentif
agar emiten bersedia mempertahankan bahkan memperbesar jumlah saham
beredar di Indonesia.

Perlu diketahui, semakin banyak perusahaan bagus (blue chip) dengan
saham beredar yang tinggi, maka bobot Indonesia di MSCI akan semakin
besar. MSCI adalah indeks yang diikuti oleh investor institusi asing.

Sebenarnya insentif menambah saham beredar sudah disediakan oleh
pemerintah, yaitu tarif pajak yang lebih rendah (5%lebih rendah
daripada perusahaan biasa) jika memiliki saham beredar di atas 40%.

Kelonggaran waktu dua tahun adalah untuk memberikan waktu yang cukup
bagi pemilik baru untuk membenahi perusahaan sehingga 20% saham free
float nantinya bisa dijual dengan harga lebih tinggi daripada harga
tender offer.

Kirim email ke