Kompas.com, Rabu, 27 Agustus 2008 | 10:26 WIB
JAKARTA, RABU - Ketidaksetujuan terhadap langkah Pertamina yang
menaikkan harga elpiji 12 Kg dan 50 Kg kembali muncul. Kali ini dari
Badan Pusat Statistik (BPS) yang menilai momen kenaikan tersebut
salah, karena berbarengan dengan menjelang bulan puasa serta hari raya
sehingga inflasi pada Agustus berpotensi melebihi inflasi bulan
sebelumnya dan mengancam target inflasi keseluruhan tahun, 11-12
persen.

"Kalau kenaikan secara gradualnya memang pengaruhnya tidak besar,
tetapi itu kan teorinya karena  multiplier effect-nya yang tidak dapat
dipastikan," kata Kepala BPS Rusman Heriawan di Jakarta, Rabu (27/8).

Apalagi, tambahnya, sebelum kenaikan dipastikan harga sudah liar
sehingga harga patokan dari Pertamina menjadi tidak jelas di pasaran,
terutama di wilayah luar Jawa. BPS mencatat inflasi bulanan pada Juli
sebesar 1,37 persen, sedangkan inflasi tahun kalender (Januari-Juli)
tercatat sebesar 8,85 persen dan inflasi year on year 11,9 persen.

Dia mengingatkan, bobot elpiji bersama minyak tanah sebagai bahan
bakar konsumsi rumah tangga dalam perhitungan baki inflasi adalah
sebesar 2,15 persen, belum lagi efek jangka panjangnya yang dipastikan
terjadi pada industri makanan jadi. "Kalau bobot makanan jadi bersama
minuman dan rokok adalah 10,5 persen," katanya.

Ditambahkannya, jika Pertamina ingin kembali menaikkan harga elpiji
ukuran 12 kg dan 50 kg, maka hendaknya jangan dilakukan pada dua bulan
mendatang, yaitu September dan Oktober, mengingat ekspektasi inflasi
yang sangat tinggi pada dua bulan tersebut. "Mungkin bisa ditunda
dulu, jika ingin menaikkan harga elpiji setiap bulannya," tambahnya.

Kekhawatiran terbesar BPS, ujar Rusman, adalah kenaikan tersebut akan
membuyarkan kebijakan pengalihan minyak tanah ke elpiji yang saat ini
tengah digencarkan pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM. "Konsumen
yang biasa menggunakan elpiji 12 kg akan mengalihkan sumber bahan
bakarnya pada elpiji 3 kg yang disubsidi pemerintah. Nantinya ini akan
menimbulkan kelangkaan baru yaitu tabung elpiji 3 kg," katanya.

Jika itu yang terjadi, tambah Rusman, Pertamina dipastikan tidak akan
memperoleh tambahan penerimaan dari kenaikan harga elpiji tersebut.
"Masyarakat miskin juga akan semakin sulit, terutama yang di Jawa,
karena pasokan minyak tanah sudah sangat dikurangi," jelasnya.

Pada Senin kemarin (25/8), PT Pertamina menaikkan harga elpiji kemasan
12 kilogram dan 50 kilogram. Elpiji 12 kilogram naik dari Rp 63.000
per tabung menjadi Rp 69.000 per tabung, sedangkan elpiji 50 kilogram
dari Rp 343.900 per tabung menjadi Rp 362.750 per tabung.

Padahal sebelumnya, harga elpiji kemasan 12 kilogram telah naik dari
Rp 4.250 per kilogram menjadi Rp 5.250 per kilogram pada 1 Juli 2008.
Sedangkan elpiji 3 kg yang disubsidi pemerintah hanya dijual Rp15.000
per tabung.

Hal senada juga diamini oleh pengamat ekonomi dari Institute for
Development of Economy and Finance (Indef) M. Fadhil Hasan yang
memperkirakan laju inflasi bulan Agustus berpotensi melonjak lebih
tinggi dibanding inflasi bulan sebelumnya, terutama akibat kenaikan
harga bahan bakar elpiji menjelang bulan puasa "Inflasi Agustus,
karena bertepatan menjelang puasa, ditambah lagi kemarin baru dinaikan
harga elpiji. Maka saya kira, semuanya bakal berpengaruh pada laju
inflasi bulan Agustus yang bisa lebih tinggi dari sebelumnya," ujar
Fadhil.

Menurut Fadhil, kenaikan laju inflasi menjelang bulan puasa merupakan
kenaikan yang bersifat rutin. Sebab pada bulan tersebut diperkirakan
terjadi lonjakan permintaan (demand), melebihi rata-rata bulan lain.
"Jadi, dengan melihat rutinitas kenaikannya (inflasi, red), kenaikan
harga elpiji tidak dalam momen yang tepat," paparnya.


EDJ
Sumber : Ant

Kirim email ke