Assalamualaikum wr.wb:
Rasa senang , Itulah yang selayaknya ada pada setiap dada seorang muslim, manakala 
menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Betapa tidak, karena pada bulan yang penuh berkah 
itulah, Allah SWT menurunkan anugerah bagi siapa saja yang ingin meraihnya. Karenanya, 
apabila Dia memberi kita kesempatan untuk "berjumpa" dengan bulan Ramadhan, itulah 
wujud dari suatu anugerah yang besar bagi kita dari Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha 
Penyayang. 
Persoalannya kemudian adalah, akankah anugerah yang besar itu kita manfaatkan dengan 
sebaik-baiknya? Atau kita sikapi dengan biasa-biasa saja, sehingga kualitas ketakwaan 
kita hanya "jalan di tempat"? 
Keseriusan yang dikobarkan oleh keimanan kita dalam meraih derajat ketakwaan yang 
tinggi melalui Ramadhan, tentu dipengaruhi oleh kejernihan niat dan ilmu yang kita 
miliki. Dua ayat Alquran yang dikutip berikut ini, jelas mengisyaratkan betapa 
pentingnya keikhlasan dalam beribadah (niat yang jernih) dan ilmu yang memadai. 
Jangan sampai kita berpuasa, atau melakukan suatu jenis ibadah tertentu pada bulan 
yang mulia itu, ternyata dikotori oleh niat yang melenceng. Misalnya, puasa karena 
ingin menguruskan badan, atau keinginan-keinginan lainnya yang tidak sesuai dengan 
tuntunan. Padahal, tujuan berpuasa sudah jelas, yakni agar kita bertakwa (Q.S. 2: 
183). Karena itulah, betapa pentingnya menjaga kejernihan niat ini. "Maka sembahlah 
Allah dengan memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya semata," (Q.S. az-Zumar [39]: 2). 
"Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang 
tidak berilmu pengetahuan," (Q.S. Hud [11]: 46. Peringatan Allah SWT dalam hal ini 
tentu layak kita perhatikan dengan sungguh-sungguh. Sehingga dengan pengetahuan yang 
memadai mengenai ibadah puasa, keistimewaan bulan yang penuh berkah itu dapat kita 
manfaatkan secara maksimal untuk meraih ridho-Nya. 
Betapa indahnya apabila seseorang yang beriman, berpuasa dengan rasa ridho, penuh 
cinta kepada Khaliqnya. Karena ia menyadari betapa perintah dan larangan-Nya, 
hakikatnya adalah wujud dari rasa cinta sang Khaliq kepada dirinya. Begitu pula 
perintah berupuasa di bulan Ramadhan. Dengan demikian, puasa di bulan Ramadhan tidak 
semata-mata dipandang sebagai suatu beban perintah (wajib), namun sekaligus sebagai 
wujud kasih sayang dari Tuhannya. 
Sebagaimana dikutip dari ayat di atas, di dada orang beriman selalu ada rasa cinta 
yang membara kepada khaliqnya, "Adapun orang-orang beriman, amat sangat cintanya 
kepada Allah," (Q.S. al-Baqarah [2]: 165). Sehingga wajar saja, manakala menyambut 
seruan khaliqnya, maka seruan itu akan disongsongnya dengan penuh cinta pula. 
Tentunya termasuk seruan agar berpuasa di bulan Ramadhan yang direspons dengan rasa 
senang. Sedangkan perasaan senang dalam menyambut datangnya Ramadhan itu, menurut 
Rasulullah SAW akan diberi imbalan yang sedemikian tinggi nilainya, yakni terbebas 
dari api neraka, "Barangsiapa yang di hatinya ada rasa senang menyambut Ramadhan, maka 
diharamkan jasadnya disentuh api neraka". 
Mereka yang menyambut Ramadhan dengan rasa senang, tentu akan senang (ridho) pula 
dalam melaksanakan ibadah puasa sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Allah dan 
Rasul-Nya. 
Jadi, ada apa dengan puasa kita selama ini? Adakah sudah kita laksanakan dengan rasa 
senang dan dengan penuh rasa cinta kepada Allah? Sudahkah berbuah ketakwaan? Kalau 
jawabannya sudah, maka tinggal kita memohon kepada-Nya agar kualitas puasa kita tahun 
ini semakin membaik, lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Jika dua pertanyaan itu 
jawabnya adalah "belum", maka kinilah saatnya untuk menata hati, menjernihkan niat, 
sebelum kita memasuki bulan yang penuh berkah dan, pada sisi lain, juga penuh cinta 
itu. 
Suatu hal yang tidak kalah pentingnya untuk dicermati adalah, adakah sebelas bulan 
berikutnya setelah kita menunaikan puasa, selama ini "stamina" ketakwaan kita cukup 
bagus, atau hanya "menyala" di bulan Ramadhan saja? Sebagaimana sering terjadi, saat 
Ramadhan, masjid dan musholla kita penuh sesak dengan jamaah, namun pada sebelas bulan 
berikutnya, gairah memakmurkan masjid itu malah melorot. 
Betapapun, keberhasilan puasa seseorang tidak bisa diukur hanya di saat sedang 
berpuasa saja. Berbuah tidaknya puasa seseorang, justru akan terlihat pada sebelas 
bulan berikutnya. Apabila "stamina" memakmurkan masjid kemudian melorot, manakala 
kepedulian terhadap fakir miskin, ternyata anjlok seusai bulan Ramadhan, maka 
yakinlah, puasa yang dilakukan sebenarnya belum berbuah (ketakwaan) sebagaimana yang 
diharapkan. 
Mudah-mudahan, buah puasa kita tahun ini tetap bisa dipetik dan dinikmati selepas 
bulan Ramadhan kelak, sehingga buah itu tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, juga 
berguna bagi sesama dan bagi negeri tercinta ini.

 

Wassalam : H . Zul Amry Piliang


                
---------------------------------
Do you Yahoo!?
vote.yahoo.com - Register online to vote today!
____________________________________________________

Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke